MOJOK.CO – Di sebuah daerah, di perbatasan Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin, saya menyaksikan sendiri party-nya orang Palembang. Absurd!
Aroma citrus menyembur dari balik jaket kulit yang dipakai Reza. Rambut klimisnya sama lurus dengan skinny jeans hitam, membalut kakinya yang ramping. Rapi keseluruhan tanpa kusut sedikit saja. Malam minggu itu dia siap bertandang ke sebuah hajatan di sebuah daerah di Palembang.
Belum separuh tubuhnya keluar dari pintu mobil, dia berteriak memanggil saya yang masih tergeletak di sekretariat UKM kampus kami. Dia memaksa saya untuk ikut.
Empat ajakan sebelumnya sudah saya tolak. Ini kali kelima dia ingin saya menyaksikan sendiri bagaimana party-nya orang Palembang. Malam itu sekret memang lebih sepi dari biasanya. Daripada melewati malam yang bosan, ikut Reza mungkin ide bagus.
Party favorit masyarakat Sumatera
Reza mendapatkan info perhelatan akbar itu dari status Facebook. Musik jedag-jedug akan memeriahkan sebuah acara pernikahan. Siapa yang menikah? Tentu Reza tidak tahu. Selama unit musik ini menyampaikan kabar kedatangannya, masyarakat akan berduyun menagih hiburan.
Genre EDM dengan remix lagu-lagu populer memang jadi favorit masyarakat Sumatera kebanyakan, salah satunya Palembang. Skena ini sudah terbentuk sejak lama dan melebarkan penikmatnya hingga lintas usia. Remaja, dewasa, orang tua, hingga anak-anak tak jarang terlihat di lantai dansa. Seperti koplo dan biduannya di Jawa, Sumatera punya house music dan female disk jockey atau sering disingkat FDJ.
Persiapan matang sebelum berpesta
Pukul 20:00 WIB kami membelah Jl. Kolonel H. Barlian yang padat. Waktu itu jalur LRT yang membentang dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin hingga ke kompleks olahraga Jakabaring sedang dibangun. Reza tak mampu menutupi raut gelisahnya. Ingin segera sampai ke lokasi karena khawatir jika melewatkan acara puncak.
Kegelisahan itu juga dipengaruhi oleh whisky KW berbotol gepeng yang sedikit dia tenggak sebelum berangkat. Reza memang selalu mempersiapkan segala sesuatunya untuk malam seperti ini. Stamina yang fit, tampilan yang rapi, mobil bersih plus bensin yang penuh, dan pil yang dia telan sesampainya kami di lokasi parkir hajatan. Hajatan itu ada di daerah perbatasan Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin.
Basa-basi dia menawarkan pil merah jambu bergambar Mickey Mouse itu pada saya. Basa-basi saja karena dia sudah tahu bahwa saya akan menolak. Lagipula niat Reza mengajak saya karena ia butuh orang dengan kesadaran penuh. Tentu untuk menjaganya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Entah itu potensi konflik dengan pengunjung lain, atau dari dirinya sendiri yang tidak bisa dikontrol. Bahaya kalau terlalu “tinggi”.
Obat yang akrab disebut inex atau pil koplo ini adalah kandungan senyawa kimia bernama metilendioksimetamfetamin. Euforia dan rasa percaya diri tinggi akan dirasakan si pemakai dalam 3-4 jam setelah mengkonsumsinya.
Di jam-jam itu, detak jantung dan pernapasannya melesat, hingga mengatupkan rahangnya dan menggertakan gigi. Terasa kesemutan dan nyeri otot di bagian tertentu. Makanya, minyak angin atau Freshcare jadi starterpack wajib. Ini dibutuhkan untuk mengoles leher mereka yang akan bergeleng sepanjang malam.
Wangi citrus Reza sudah bercampur Freshcare bahkan sejak kami berjalan menuju kerumunan. Musik sudah menghentak dengan tempo dan volume tinggi.
Dunia gemerlap sekaligus gelap
Acara itu dihelat di halaman berukuran 1/3 lapangan sepak bola. Tepat di sebelah rumah pemilik hajat yang pagi tadi menggelar akad dan resepsi. Sebuah lahan datar di lingkungan permukiman, tidak jauh dari rumah-rumah warga lainnya. Selain tenda, kursi, dan dan panggung yang biasa kita temukan di sebuah perayaan pernikahan, terlihat juga lapak alkohol berjejer di sekitaran lokasi.
Benar saja. Golongan usia remaja, dewasa, orang tua, hingga anak-anak mengisi daftar ratusan pengunjung. Beberapa dari mereka hanya menyaksikan dari sudut. Yang lainnya sudah oleh hanyut oleh irama house music. Tidak bisa diganggu.
MC yang sesekali mengiringi vokal dan memandu acara sebetulnya cukup mengganggu. Kalau nonton dangdut koplo dan menemukan penabuh simbal yang kerap nyeletuk di tengah lagu dan memberi pesan-pesan lucu, nah peran MC di hajatan Palembang kurang lebih sama. Namun dengan porsi nyeletuk yang lebih sering dengan candaan yang garing.
Kalau mengetik kata kunci “DJ Palembang” di kolom pencarian TikTok, kalian akan menyaksikan pemandangan yang kurang lebih ada di depan mata saya malam itu. Bass mengentak dari speaker full-range yang berbaris di sebelah panggung. Pendar lampu spotlight yang berputar ke segala penjuru. Juga ratusan kepala yang tidak berhenti bergerak mengikuti tempo lagu. Entah cuma digerakan oleh musik atau zat kimia yang mungkin mereka konsumsi.
Pesta jadi salah satu media penyebaran narkoba?
Saya bukan pemakai inex dan semacamnya. Tapi dari teman-teman macam Reza saya mampu membedakan. Mana orang yang bergoyang karena musik plus alkohol atau narkoba, dan mana yang bergoyang cuma karena musik. Tidak dalam pengaruh apa pun. Alias polosan.
Mulut Reza mulai tak bisa berhenti berbicara karena efek pil. Kami sibuk membincangkan seorang anak-anak yang jaraknya tidak jauh dari kami. Seorang bocah umur sekitar 12-14 tahun. Dengan posisinya duduk di kursi, badan tegak sambil bergeleng, wajah memerah, dan rahangnya mengeras. Tidak salah lagi, sudah pasti mengonsumsi narkoba.
Saya heran, entah dari mana barang itu didapatkan anak SD atau SMP. Tapi seketika sadar bahwa tanah yang saya pijak adalah Palembang. Saya jadi teringat kisah dari sebuah desa di kabupaten lain.
Di sana, hidup warga amat bergantung dengan sabu-sabu. Kristal putih itu sudah melekat ke sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Tidak ada hari tanpa “menggoreng” metamfetamin. Bapak dan anaknya yang masih sekolah sudah terbiasa join barang haram ini sehari-hari. Sebuah kisah epik plus gaya parenting yang unik. Jadi wajar kalau sekadar pil warna-warni bergambar kartun mudah didistribusikan ke berbagai golongan usia.
Tapi saya pikir, datang ke sini bukan untuk jadi polisi moral buat bocah yang sedang asyik itu, kok. Biarkan mereka menikmati musik dengan kesadarannya yang lepas landas. Bersama anak-anak ini, saya cuma perlu optimis menyambut Indonesia Emas 2045.
Masyarakat Palembang dan hiburannya yang dipaksa berpisah
Akhirnya, polisi membuat gebrakan. Tepatnya di Agustus 2023. Kapolrestabes Palembang mengeluarkan surat larangan memainkan house music di semua hajatan.
Skena musik satu ini dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Katanya. “Larangan memainkan musik remix ini upaya untuk menekan peredaran narkoba di wilayah Sumsel,” lanjut Pak Kapolres lagi.
Bagi yang melanggar aturan akan dipidana kurungan 3 bulan dan denda sebesar 5 juta rupiah. Wow. Apakah sudah saatnya kita ucapkan “Bravo Kepolisian Indonesia”? Tentu saja belum. Tidak usah.
Nyatanya, penyebaran narkoba, khususnya ekstasi di Palembang belum mampu ditekan sepenuhnya. Melarang musik remix di hajatan demi menekan peredaran narkoba sama saja dengan mengambil segenggam salju dari gunung es yang hanya muncul di permukaan.
Terus, apa solusi yang tepat? Ya ndak tahu. Harusnya sih polisi dan BNN paling paham soal ini. Dalam upaya memberantas peredaran narkoba, mereka punya sumber daya paling mumpuni. Namun, menuding musik sebagai faktor utama distribusi narkoba adalah bentuk kemalasan berpikir.
Pengalaman seru di Palembang yang cukup dirasakan sekali
Di sini, seluruh lapisan masyarakat melebur. Menanggalkan semua masalah hidupnya di rumah. Tidak ada tekanan kerja dari kantor. Lupakan hasil panen yang kurang memuaskan. Jangan ingat gebetan yang tak kunjung memberi kepastian.
Sudah dua jam berlalu. Orang-orang datang dan pergi, kerumunan masih padat. Efek obat pada Reza sudah bekerja penuh.
Sepertinya dia sudah lupa bahwa ada saya yang menemaninya. Saya yang cuma menenggak whisky palsu berusaha menikmati suasana juga. Memerhatikan visual dari panggung dan efek psikedelik dari lampu-lampu yang berputar. Perempuan di balik alat DJ juga terlihat piawai me-remix lagu. Entah dia remix sendiri di panggung itu atau cuma memainkan lagu yang sudah diracik sebelumnya.
Ketika saya ikut menyanyikan satu lagu hits Indonesia berjudul “Separuh Aku” dari Noah, terjadi sedikit gesekan dari penonton. Beruntung, konflik itu tidak mengganggu jalannya pesta. Langsung cepat ditangani centeng lokal. Keributan macam ini memang sering terjadi di banyak hajatan. Tidak sedikit yang keos sampai harus menyetop jalannya hajatan.
Tapi Reza masih belum peduli dengan sekitarnya. Hingga pukul 23:30 dia terlihat sedikit kepayahan. Nafasnya tersengal, lebih cepat dari sebelumnya. Tanda-tanda kalau efek si kecil merah jambu itu akan turun.
Tapi Reza sudah cakap dalam urusan seperti ini. Yang ia butuhkan cuma menjauh dari kerumunan, sebab emosinya akan sulit dikontrol.
Saya menuntunnya berjalan ke mobil lalu mengambil alih stir. Dalam perjalanan, kondisi Reza sudah membaik. Pengaruh pil hampir sepenuhnya berhenti. Kami tertawa sepanjang jalan membahas bocah “tinggi” tadi. Dan sudah saya sampaikan ke Reza, tidak ingin menyaksikan pemandangan itu lagi.
Penulis: Razi Andika
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kuliner Palembang di Jogja yang Menjinakkan Lidah Jawa dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.