Saya menjalani masa-masa kecil yang teramat sangat indah. Menonton serial Jiban dan Sailormoon di pagi hari sambil ngemil astor dan kacang telor, beradu kelereng dengan kawan-kawan sebaya (walau lebih banyak kalahnya ketimbang menangnya), berlagak mabuk sambil menenggak minuman (padahal yang ditenggak cuma orson), ikut berkumpul dengan ibu-ibu arisan sambil berdiri dan menyanyikan Mars PKK, atau berteriak “montor mabur aku njaluk duite!” dengan penuh kegirangan saat ada pesawat terbang melaju rendah di atas rumah.
Masa kecil saya adalah masa-masa hangat dalam belaian kasih sayang orang tua, dan lingkungan yang sedemikian ramah. Sungguh sebuah kebahagiaan yang akan selalu saya kenang. Kebahagiaan masa kecil yang cukup berwarna untuk mengantarkan saya tumbuh menjadi dewasa dan kemudian mengenalkan saya pada kebahagiaan lain yang bernama jatuh cinta.
Namun ternyata, setelah dewasa, barulah saya menyadari, bahwa ternyata tidak semua anak punya masa kecil yang seindah masa kecil saya. Dan Angeline salah satunya.
Di usia yang masih sangat merah, Angeline harus lepas dari asuhan orang tua kandungnya hanya karena masalah biaya persalinan. Ia kemudian hidup dalam lingkungan yang asing dan psikopat. Dipaksa bekerja memberi makan ayam, diperlakukan tidak senonoh, hingga puncaknya, ia dibunuh dengan cara yang sangat brutal di usianya yang baru delapan tahun. (Dan sialnya, tersangka pembunuh Angeline ternyata punya nama yang sama dengan saya; Agus)
Maka, siapapun pasti akan sangat teriris hatinya kala mengetahui gadis mungil nan cantik ini harus tumbang tak berdaya, tewas di dalam lingkungan yang sepatutnya menjadi lingkaran hangat keluarga. Miris.
Malang nian nasibmu, Angeline. Keluarga yang seharusnya menjadi benteng teraman bagi seorang anak ternyata justru menjadi medan pertempuran paling sengit, dan dipenuhi oleh pembunuh-pembunuh beringas yang sama sekali tak punya hati nurani.
Ooo, tidak, tidak. Saya tidak akan menghujat si pembunuh dengan kata asu ataupun bajingan, karena saya sadar, kata Asu dan Bajingan masih terlalu mulia untuk seorang pembunuh gadis kecil yang tak berdosa. Lagipula, kurang puas rasanya kalau si pembunuh Angeline hanya dihujat. Lebih dari itu, ia harusnya disiksa.
Andai dunia ini adalah drama silat klasik, dan saya yang jadi pendekarnya, tentu ingin sekali saya turun tangan menyiksa si pembunuh Angeline dengan luka yang seperih-perihnya, semata untuk membalaskan dendam Angeline. Tapi agaknya itu pun tak mungkin, karena saya percaya, gadis manis sekecil dan sepolos Angeline, pasti tak pernah punya dendam.
Dan pada akhirnya saya percaya, Agus hanyalah seorang eksekutor. Sedangkan pelaku pembunuhan terhadap Angeline yang asli adalah kita. Ya, kita. Kita yang kurang peka dan selalu bersikap terlalu biasa pada tindak kekerasan terhadap anak. Kita, bagian dari Indonesia yang katanya kaya-raya, tapi untuk menjamin biaya persalinan para ibu pun kita tak berdaya.
Ya, kita semua yang telah membunuh Angeline. Sekali lagi, pembunuh Angeline adalah kita.
Selamat jalan, Dek Angeline. Selamat Jalan. Agaknya langit memang taman bermain terbaik untuk dirimu. Semoga di langit ada prosotan dan jungkat-jungkit. Kami semua berharap, semoga pelukan manis dari Tuhan senantiasa menghangatkan hari-harimu di sana.
Oh, ya… Titip salam untuk Bung Karno di sana ya, Dek. Tolong bilang sama beliau, biaya persalinan di Indonesia sekarang mahal.