Mewakili penggemar film akut, yang juga penonton (terpaksa setia) televisi, saya makin gelisah. Kegelian, eh, kegelisahan ini tentunya juga dirasakan para pecandu film dan tayangan televisi lainnya. Lha gimana, kegemaran fetishisme visual saya semakin lama semakin dikebiri secara sistematis.
Sekarang ini, susah banget nonton belahan tetek di layar kaca. Bahkan belahan tetek film kartun aja di-blur. Jangan-jangan nanti hewan-hewan di acara dokumenter juga diblur gara-gara pamer aurat? Apalagi iklan susu sapi—yang teteknya banyak?
Jujur aja sih, selalu ada sensasi tersendiri kalau nonton aurat di televisi. (Meskipun udah punya donlotan JAV)
Meski begitu, saya mencoba mencari hikmah di balik brutalnya pem-bluran tayangan itu. Saya maklum jika KPI berusaha melindungi moral generasi muda.
Anak-anak emang belum boleh lihat gituan. Kalau tidak di-blur, anak-anak nanti jadi bisa lihat barang jorok. Sedangkan kalau di-blur, paling tidak imajinasi anak akan terlatih. Nah, katanya kan imajinasi lebih penting daripada pengetahuan?
Selain itu, saya melihat ada peluang industri kreatif di sini.
Maraknya pem-bluran aurat, akan memberi lapangan pekerjaan baru bagi pekerja editing televisi. Saya usul, sebaiknya mereka dibayar per pixel. Mustinya serikat editor video untuk televisi (segera bikin, gih!) berani menyuarakan tuntutan itu.
Tapi, bikin blur sebuah gambar sih terlalu gampang dan kurang nyeni. Saya malah mikir gimana kalo merekrut animator 3D? 3D atau CGI (Computer Graphic Imagery) yang sudah menjadi teknik yang lazim di dunia industri film dan video. Kalian tahu film Iron Man? Itu kebanyakan efeknya pakai CGI. Saya bahkan curiga, belahan teteknya Scarlett Johansson juga hasil CGI. Bikin teteknya Hulk yang gede dan ijo aja bisa, masak buat Scarlett Johansson nggak bisa?
Nah, animator CGI inilah nanti yang sebaiknya direkrut untuk bikin animasi baju, hijab atau apapun yang bisa nutup aurat. Kalo di-blur gitu kan nanggung.
Dengan demikian, animator CGI berbakat kita nggak perlu lari ke luar negeri. Apalagi kalau sampai mereka menggarap film-film Hollywood yang sama sekali nggak mengusung nilai-nilai kesantunan Pancasila dan UUD 45.
Dan malahan, kalau kita menerapkan de-auratisasi lewat CGI tadi, film-film olahraga Maria Ozawa bisa tayang di televisi. (Horeeee… Dengkulmu!). Tentu saja suara desahannya nanti harus di-dubbing, diganti dengan ucapan-ucapan yang jauh lebih bermoral, misalnya: Oh, yes, Mojok media fitnah, oh, no, Mojok media zionis.
Anda pikir saya lebay dan konyol? FYI, konsep usulan saya ini sudah ada sejak zaman baheula, tahun 80-an. Dulu komik-komik Jepang yang (secara ilegal) diterbitkan di sini, selalu dicorat-coret ulang oleh tim penerbitnya untuk menutupi aurat tertentu. Sekarang, kenapa nggak kita terapkan cara ini untuk tayangan-tayangan televisi?
Tidak hanya untuk kasus belahan tetek, teknik ini bisa juga diterapkan untuk adegan merokok, menodong, menjambak dan lain-lain. Kita bisa menggantinya dengan animasi CGI yang lebih bermoral. Misalnya orang merokok diganti animasi ngemut permen, menodongkan pistol diganti dengan animasi menyodorkan kopi (kopi belum dilarang, kan?).
Belahan tetek juga bisa diganti belahan ketiak cowok, misalnya… (Ketiak cowok bukan aurat, kan?)
Ini akan menyerap banyak tenaga kerja kreatif terutama lulusan Desain Komunikasi Visual, Pertelevisian dan Film serta Animasi.
Tentu saja semua itu perlu sinergi yang kuat dengan KPI. Karena merekalah yang mengendalikan banyaknya blur di layar kaca kita. Come on, Guys! Dukungan terhadap industri kreatif ini salah satu janji kampanye Pak Jokowi yang paling sering diulang-ulang. Maka inilah saatnya mengaih janji.
Bayangkan! Kalau ini sukses, tenaga pembluran kita bisa diekspor ke negara-negara yang sensornya ketat macam Malaysia, Arab Saudi, Cina dan lain-lain. (Di sana belahan tetek dilarang nggak, sih?)
BACA JUGA Tips Bikin Film yang Tidak Menyudutkan Islam dan tulisan Gugun Ekalaya lainnya.