Pelonggaran Prokes Covid-19 Adalah Kabar Bahagia, tapi Tidak Buat Saya Penderita Diabetes

Karena diabetes ini, saya bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru. Penyintas Covid-19 yang membuktikan bahwa meskipun punya diabetes, mereka bisa hidup normal dan bermutu.

Pelonggaran Prokes Covid-19 Adalah Kabar Bahagia, tapi Tidak Buat Saya Penderita Diabetes

Ilustrasi Olahraga(Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKabar bahagia. Prokes Covid-19 dilonggarkan. Kabar bahagia, tapi bukan saya, sebagai komorbid, penderita diabetes.

Saya berusaha mencari kutipan gemilang tentang duka dan menyintas dari penyakit berat seperti Covid-19. Sementara kata-kata yang ada di Goodreads, Tumblr, atau Wikipedia terlalu anyep dan snob untuk bisa mewakili perasaan saya.

Kemudian saya ingat bahwa, nasib terbaik manusia itu mati muda. Sementara mereka yang menua antara hidup dengan penyesalan atau disiksa segala penyakit yang merangsek tubuhnya adalah yang terburuk. Lalu hidup terasa tak terlalu berat lagi.

Saya masih sakit, tapi setidaknya hidup ini tidak buruk-buruk amat untuk dijalani. Tapi saya ingat, ini Indonesia, sehari saja pemerintah tak bikin susah atau menderitakan rakyatnya, mereka pasti merasa gatal-gatal seperti kudisan. Membaca berita tentang sikap penguasa untuk melonggarkan prokes Covid-19 bikin saya cemas luar biasa.

Saat Jogja, kota tempat saya tinggal menerapkan PPKM Level 4, pemerintah pusat berencana mencabut aturan antigen untuk mereka yang hendak berpergian dan tak melarang penumpang duduk berdempetan di kereta. Prokes dilonggarkan, saya yang tertekan.

Pada 15 Februari, sehari setelah Valentine, saya masuk rumah sakit. Berhari-hari sakit, memaksa saya memeriksakan diri. Setelah dokter memeriksa di IGD, saya positif Covid-19. Tapi ada penyakit lain yang ternyata ditemukan, pemeriksaan darah saya menunjukkan kadar HbA1c mencapai 9,4. Saya divonis diabetes melitus tipe dua.

Keesokan harinya, setelah dinyatakan diabetes, pada 16 Februari, dokter meminta saya menyuntik insulin sebelum makan. Gula darah saya naik dan turun. Tertinggi mencapai 284 dan paling rendah 175.

Fluktuasi ini membuat saya harus menyuntik insulin di perut tiga kali sehari. Sekali setiap makan. Saya belum bisa mencerna dengan baik, begitu kabar dari dokter. Dia hanya menjelaskan bahwa hidup tidak berakhir. “Anda masih bisa hidup normal dengan insulin,” katanya singkat.

Kalimat pendek itu membuat saya sadar. Saya akan hidup selamanya, di tengah pelonggaran prokes Covid-19, dengan diabetes dan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Kebutaan, gagal ginjal, dan amputasi berkelebatan dalam benak saya.

Saya jadi ingat, bertahun lalu, nenek mengalami kebutaan karena diabetes. Kakinya membengkak serta tak mampu mengerjakan hal-hal sepele seperti buang air dan makan. Di kepala saya, diabetes adalah monster mengerikan yang merebut mutu hidup seseorang.

Di sela-sela ketakutan dan kecemasan itu, saya menelepon ibu. Dia memberikan semangat. Berjanji mengirimkan ramuan jamu untuk pengobatan dan menghibur bahwa penyakit adalah upaya Tuhan mencabut dosa.

Saya tidak takut mati. Kematian adalah hal yang wajar. Saya takut jadi invalid dan menyusahkan orang lain, apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang nyata ini. Saya ingat betapa repot dan susah ibu saat merawat nenek yang buta karena diabetes.

Covid-19 tak hanya membuat seseorang terkapar karena virus yang menyerang sistem pernafasan. Beberapa riset menunjukkan bahwa virus ini juga menyerang organ-organ lain. Dalam kasus saya, pankreas dihajar sehingga tak mampu membuat kerja insulin jadi baik.

Di kasus lain, ada banyak orang yang kehilangan indra perasa dan penciuman secara permanen. Kami hidup dengan dampak ini seumur hidup. Jika sial, menyusahkan orang yang kamu sayangi, terutama setelah prokes dilonggarkan.

Menyusahkan orang lain itu beban. Ia akan membuatmu merasa tak berguna dan harus terus-menerus bergantung pada orang lain.

Dulu, seseorang kenalan pernah berkata bahwa, harapan adalah disiplin. Disiplin akan memberimu kekuatan, kesempatan, dan waktu untuk hidup lebih lama. Disiplin adalah konsistensi. Kamu tak bisa berharap olahraga sehari, diet sehari, akan membuatmu langsung sehat. Perjuangan sebenarnya adalah ketika kamu sendirian, saat lapar, saat lemah, saat tak tahu harus berbuat apa.

Karena diabetes ini, saya bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru. Penyintas Covid-19 yang membuktikan bahwa meskipun punya diabetes, mereka bisa hidup layak, hidup normal, dan bermutu. Mereka memberikan tips, cerita, dan saran bagaimana supaya bisa hidup dengan diabetes dan tetap bahagia. Kuncinya masih pada disiplin gaya hidup dan olahraga teratur di tengah prokes yang lebih longgar.

Saya divonis diabetes di usia 35 tahun. Dokter memberikan saran bahwa saya harus benar-benar mengontrol diet supaya bisa hidup lebih lama. Di tengah wabah Covid-19, ancaman perang dunia, dan juga keruntuhan ekosistem global kok mau hidup lama?

Emang apa yang mau dicari?

Belakangan saya merasa bingung. Apa yang sebenarnya dicari dalam hidup jika masa depan terasa sangat suram?

Pelonggaran prokes Covid-19 oleh pemerintah jelas membuat saya was-was. Ada ancaman bahwa saya bisa terinfeksi lagi dan membuat diabetes menjadi komorbid yang berbahaya.

Saya harus ekstra hati-hati, sementara orang lain sudah tak sabar ingin segalanya kembali seperti semula. Mereka ingin konser, ingin lepas masker, ingin jalan-jalan. Semua “merayakan” pelonggaran prokes. Sementara itu, banyak orang seperti saya yang komorbid harus ekstra hati-hati.

Barangkali hidup seperti itu. Kamu tak tahu apa yang akan terjadi.

Sudah disiplin menjaga diri, eh ditulari wabah tanpa gejala oleh orang yang tak percaya adanya virus ini. Tapi saya menolak untuk berduka, menolak untuk merasa kalah. Hidup ini indah dan kadang cuma ini yang bisa kita lakukan: bertahan hidup sebisanya sembari banyak tertawa.

Ada banyak hal yang membuat saya bersyukur. Teman yang baik. Makanan yang enak. Musik yang menyentuh perasaan. Film yang menggugah. Cerita yang membawa air mata. Lelucon yang membuat gelak tawa.

Justru saat saya merasa hidup sudah berakhir karena diabetes, Tuhan memberikan saya perasaan baru. Perasaan yang lebih tenang. Yang lebih utuh.

BACA JUGA Mengobati Diabetes Bersama Hasil Alam Indonesia dan kisah menyentuh lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Arman Dhani

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version