Pelajaran Hidup Setelah Menginjak Jebakan Lem Tikus yang Saya Pasang Sendiri

Pelajaran Hidup Setelah Menginjak Jebakan Lem Tikus yang Saya Pasang Sendiri

Pelajaran Hidup Setelah Menginjak Jebakan Lem Tikus yang Saya Pasang Sendiri

MOJOK.COSetelah melewati perenungan yang agak panjang, petaka menginjak lem tikus dimulai dari saya yang nggak menuruti nasihat ibu. Duh, kena karma.

Pernah kena karma senjata makan tuan? Saya pernah, dan sumprit nggak enak banget! Maksud hati pengin balas dendam sama sang Mickey Mouse yang berani-beraninya victory lap di ruang keluarga, eh malah saya yang keok kena jebakan batman sendiri.

Jadi ceritanya, di suatu senja saya memutuskan untuk membeli lem tikus, di antara pilihan beli kerangkeng perangkap atau racun tikus. Pikiran saya, paling tidak, kalau tikus terjebak, saya tinggal membuangnya beserta papan yang melekat di sana. Praktis, nggak ribet.

Tapi, manusia hanya bisa berencana, Tuhan juga yang menentukan. Yang terjadi, justru saya yang ribet berat gara-gara nginjek jebakan itu sendiri. Kalian yang belum pernah ngalamin, jangan sekali-kali punya niat iseng mau nyobain deh. Plis. Total 1,5 jam waktu yang diperlukan untuk menghilangkan lem tikus di jempol dan telapak kaki saya! Duh.

Saya sempat bingung, mau diapain ini kaki? Coba ditarik langsung lemnya, langsung kebayang Freddy Krueger lagi mengeksekusi jempol saya sampai berdarah-darah. Coba disabunin dan digosok pakai sikat gigi, yang ada bulu-bulu sikat malah naksir jempol saya. Nempel terus susah dipisahin kayak orang baru jadian. Terus kalau nanti tiba-tiba penampakan jempol saya jadi kayak bola berduri, gimana coba?

Tuluuung, kembalikan jempol saya!

Akhirnya, selama 1,5 jam itu saya duduk di kamar mandi sambil coba pelan-pelan narik lem yang menempel dengan bantuan air dan sabun. Selama proses yang sangat lama dan butuh kesabaran luar biasa itu, ternyata saya malah mendapatkan beberapa renungan hidup yang cukup bermakna (selain mengutuk betapa bodohnya saya nginjek lem tikus jebakan sendiri, tentu saja).

Ada risiko dari setiap pilihan hidup   

Akar permasalahannya adalah saya merasa tikus itu “nggak enak” dilihat. Belum lagi kesan bau, kotor, jorok, pemakan segala, bosnya kuman, dan segala predikat negatif yang melekat. Tapi membayangkan sang tikus bakal kita bunuh, kok kasian juga. Sementara saya pernah membaca bahwa setiap makhluk itu ada manfaatnya. Termasuk tikus yang bisa menjadi penyeimbang ekosistem.

Jadi sebenarnya ada dua pilihan. Mau dibunuh karena bikin sepet mata, atau dibiarkan saja sampai blio keluar sendiri? Ketika saya memutuskan menjalankan pilihan pertama, nginjek jebakan lem tikus sendiri menjadi risiko yang harus ditanggung. Sementara kalau saya memutuskan pilihan kedua, bisa jadi barang-barang saya ludes digigit sebelum blio berhasil keluar. Belum lagi risiko “polusi udara” yang harus saya hirup setiap saat.

Jika direnungkan, sering juga kita nggak tegas dalam menentukan pilihan hidup. Contoh paling simpel nih, di antara pilihan move on dari mantan pacar, atau hidup dalam harapan-harapan semu?

Kalau pilihannya move on, ya diniatkan secara kaffah. Foto-foto unyu sudah dihapus, barang kenangan sudah dikubur, tapi setiap hari masih stalking medsosnya.

Begitu dia DM bilang “Hai” saja, satu kata ini sudah cukup bikin hati kamu teledor. Akhirnya bisa ditebak, kamu akan terjerat jebakan “lem masa lalu.” Itu beberes hati nggak cukup 1,5 jam. Percaya, deh.

Nurut kata orang tua

Dari dulu, ibu saya selalu membiasakan anak-anaknya untuk pakai sandal di dalam rumah. Walaupun lantai rumah baru dibersihkan, tetap saja sandal rumah nggak boleh lepas dari kaki.

Buat ibu, pakai sandal di dalam rumah terutama untuk meredam beban tubuh yang harus ditopang oleh kaki. Efek ini biasanya berupa nyeri atau ngilu pada telapak kaki, yang dirasakan oleh orang tua atau orang dengan berat badan berlebih.

Karena merasa nggak masuk ke dalam dua kategori tersebut, biasanya saya pakai sandal rumah supaya nggak ribut aja sama ibu. Dan ketika sedang tidak bersama ibu, otomatis sandal rumah gabut di rak. Padahal saya sendiri sadar betapa sandal punya andil dalam membuat hidup kita lebih nyaman.

Sendal tidak hanya melindungi kaki supaya tetap bersih, tapi juga mengurangi risiko berbahaya seperti ketusuk paku, nendang kecoa telentang, sampai nginjek lem tikus tentunya.

Coba kalau waktu itu saya nurut kata ibu, pakai sandal di rumah. Insiden ini nggak bakal bikin saya semedi 1,5 jam di kamar mandi.

Padahal saya sendiri cukup sering dihukum Tuhan, langsung kejadian setelah saya membantah perkataan ibu. Seperti ketika saya sedang menyupiri ibu, dan kemudian ibu berkata.

“Ngebut amat nyupirnya. Kita kan nggak buru-buru. Hati-hati, nanti ‘nyenggol’ mobil orang.”

Nasihat ibu ini langsung saya jawab, “Ah Ibu, ini cuma ‘lari’ 70 kok. Nanti kalau terlalu pelan malah bikin kagok mobil belakang, terus diklakson-klakson.”

Ibu pun terdiam. Dan tak lama, mobil saya pun serempetan….

Berdamai dengan dendam

Nggak salah memang kata Pak Ustaz, “Jangan pelihara dendam, nanti hidupmu sengsara.” Beneran kejadian deh, betapa sengsaranya narikin lem tikus di jempol!

Perenungan saya pun sampai pada tahap mencoba “berdamai dengan rasa dendam”. Saya coba menganalisis, mengapa saya benci banget dengan sang tikus?

Blio cuma cari makan, yang kebetulan rutenya tertangkap mata saya. Dan karena sudah beberapa hari blio catwalk-an tanpa bisa saya tangkap, kekesalan saya berubah menjadi dendam. Awas ya! Padahal bisa jadi, itu salah saya sendiri yang request friend ke blio tanpa sadar.

Jadi saya pun berusaha mengubah dendam itu menjadi sesuatu yang positif. Misalnya, saya mencoba berpikir bahwa kehadiran mereka bukan sebagai hama, tapi justru alarm pengingat kalau sudah waktunya saya bongkar gudang.

Akhirnya saya malah kebayang, betapa merananya sang tikus kalau beneran kena jebakan lem tikus itu. Jempol yang segede kunyit ini saja susah dibersihkan, gimana kaki-kaki mungil sang tikus? Belum lagi tubuh yang gemetar di papan lem tikus, siap menunggu ajal.

Ah, maafkan saya ya, kus.

BACA JUGA Keluh Kesah Onderdil Mobil yang Mendecit Bagai Tikus Kecil dan tulisan-tulisan lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version