Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Para Pembersih Video Porno dan Kekerasan yang Ditumbalkan Demi Kita

Mereka seakan ditumbalkan untuk mengalami trauma, depresi dan sejumlah gangguan psikologis lainnya supaya kita tidak.

Suryagama Harinthabima oleh Suryagama Harinthabima
13 Desember 2022
A A
Para Pembersih Video Porno dan Kekerasan yang Ditumbalkan Demi Kita MOJOK.CO

Ilustrasi Para Pembersih Video Porno dan Kekerasan yang Ditumbalkan Demi Kita. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ada segelintir manusia yang direkrut untuk menonton konten atau video porno dan kekerasan di media sosial. Setiap hari. Dan mereka adalah tumbal.

Sepanjang jam kerja, mereka diharuskan mengonsumsi ratusan konten dalam bentuk gambar dan video porno, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, bunuh diri, dan sekian kekerasan lainnya yang dilakukan tidak hanya terhadap orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan binatang.

Mereka adalah content moderator, orang-orang yang dikontrak oleh platform media sosial seperti Facebook, YouTube, Twitter, dan TikTok baik secara langsung maupun melalui perusahaan outsourcing. Tugas mereka adalah menyaring apakah konten unggahan pengguna itu, setelah dilaporkan pengguna yang lain, mengandung unsur yang melanggar ketentuan platform (misal: mis-informasi, pornografi, atau kekerasan). Bila melanggar, konten tersebut akan dihapus supaya tidak dikonsumsi pengguna umum seperti kita.

Kehidupan horor content moderator

Di sebuah video dari Vice yang berjudul “The Horrors of Being a Facebook Moderator,” seorang pria menceritakan pengalaman buruknya saat dulu bekerja sebagai content moderator untuk Facebook.


Awalnya, dia mengaku syok di hari pertama kerja setelah disuguhi video jarak dekat seorang pria yang sedang ber….(sensor). Seiring waktu, dia mengalami desensitisasi. Batas toleransi emosinya terhadap video porno dan kekerasan bertambah tinggi sehingga akhirnya dia tidak merasakan apa-apa ketika menontonnya. Sementara itu, pikiran bawah sadarnya mengakumulasi trauma yang siap meletus kapan saja, serta kehilangan harapan akan kemanusiaan.

Jumlah content moderator diperkirakan mencapai puluhan ribu orang dan tersebar di seluruh dunia dengan Facebook dan TikTok memiliki paling tidak 15 dan 10 ribu orang.

Ini sekalian membenahi pandangan bahwa proses penyaringan konten media sosial itu selama ini tidak dilakukan oleh Artificial Intelligence (AI). Sebaliknya, hasil kerja para moderator ini bisa dijadikan materi untuk melatih AI supaya kelak bisa mengambil alih peran mereka.

Pekerjaan paling buruk di muka bumi

The Wall Street Journal menyebut profesi content moderator sebagai the worst job in technology. Pekerjaan ini, dalam beberapa tahun terakhir, memang disorot media-media internasional dengan pemberitaan negatif, serta mengarah ke eksploitasi tenaga kerja (cek daftar referensi di bawah untuk beberapa contohnya). Bahkan pada 2018, dua orang Jerman membuat sebuah film dokumenter tentang profesi ini, berjudul The Cleaners: The hidden world of content moderators.

Media-media itu mengungkapkan sejumlah perlakuan buruk terhadap content moderator di Amerika Serikat, Portugal, Kenya, Kolombia, Filipina, Malaysia, dan sejumlah negara lainnya. Dalam prosesnya, para moderator yang menjadi narasumber berisiko dituntut secara hukum karena saat direkrut, umumnya mereka harus menandatangani Non-Disclosure Agreement (NDA) dengan pihak pemberi kerja.

Dari pengakuan para narasumber, jumlah konten video porno dan kekerasan yang diproses para moderator setiap harinya bisa mencapai 500 konten untuk Facebook, dan bahkan 900 konten untuk TikTok. Yah, masih mending kalau konten itu hanya “sekadar” mengandung misinformasi. Ini isinya konten gambar atau video porno dan kekerasan.

Tidak ada konseling untuk mereka

Karena melakukan pekerjaan yang risikonya begitu besar secara mental, sudah selayaknya mereka difasilitasi dengan konseling dan terapi yang memadai. Tapi, realita di lapangan jauh di bawah harapan. Mereka begitu dikontrol dan ditekan dengan target produktivitas harian, diberikan waktu rehat yang sangat minim, dipersulit jika hendak meminta konseling, dan bahkan jumlah terapis profesional yang disediakan juga tidak mencukupi.

Kondisi psikologis orang-orang ini begitu terisolasi. Gaya bercanda di antara mereka cenderung gelap, di antaranya yakni bernuansa bunuh diri. Berkeluh kesah kepada keluarga pun mereka tidak bisa karena NDA yang sudah mereka tandatangani. 

Akibatnya, banyak dari mereka yang mimpi buruk, mengalami gangguan kecemasan, depresi dan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Bahkan salah satu narasumber film The Cleaners di Filipina dikabarkan melakukan bunuh diri karena merasa sudah tidak kuat.

Disesatkan dan tidak dihargai secara layak

Sebagian dari mereka juga mengaku bahwa saat hendak direkrut, deskripsi pekerjaan yang diberikan menyesatkan. Mereka seakan dijebak dengan diberitahu bahwa konten yang mengandung video porno dan kekerasan itu porsinya hanya sedikit. Setelah syok menjalani hari-hari pertama kerja, barulah mereka sadar bahwa ini adalah rutinitas baru mereka sehari-hari.

Iklan

Kembali ke video Vice tad. Pria itu juga menyebutkan satu rekaman yang memuat komentar dari Mark Zuckerberg selaku pihak manajemen Facebook terhadap kondisi psikologis para moderator yang trauma. Kata Zuck:

“That’s a little bit overdramatic.”

Facebook, pada 2020 lalu, dikabarkan sepakat untuk memberikan kompensasi sebesar USD 52 juta kepada 11.250 content moderator yang mengalami PTSD. Bila kita bandingkan dengan laba bersih Facebook pada 2020, yaitu USD 29 miliar (cek daftar referensi di bawah), maka USD 52 juta ini praktis porsinya hanyalah 0,18% saja. Yah, anggap saja seperti receh.

Lebih jauh lagi, 11.250 moderator itu seluruhnya bekerja atau pernah bekerja untuk Facebook sejak 2015. Jadi, bisa dibilang uang USD 52 juta itu adalah kompensasi untuk periode selama kurang lebih lima tahun. Kiranya sudah jelas mengapa Mark Zuckerberg tidak peduli dengan kesehatan mental para pekerja level bawahnya.

Tujuan mulia para tumbal

Bagi sebagian moderator, bertahan di profesi ini mereka lakukan bukan hanya demi uang, tapi demi tujuan yang lebih mulia. Ketika menyaksikan konten gambar dan video porno atau kekerasan terhadap anak-anak, misalnya, mereka terbayang bahwa hal serupa bisa terjadi kepada anak-anak mereka. Dan seterusnya. 

Mereka tulus ingin mencegah konten semacam ini menyebar. Bagi mereka, menjadi content moderator ini ibarat menjalankan misi untuk menjaga keselamatan umat manusia.

Bila melakukan pencarian di platform atau laman seperti LinkedIn atau JobStreet di Indonesia, sebetulnya tidak sulit menemukan lowongan kerja dengan posisi content moderator. Beberapa perusahaan outsourcing yang mengiklankannya juga turut disebutkan dalam berita-berita yang ditulis tadi (cek referensi di bawah).

Negara berkembang jadi tambang calon pekerja

Trennya memang begitu. Jasa content moderation semakin banyak di-outsource ke negara-negara berkembang. Di luar faktor bahasa dan konten yang sifatnya relevan hanya di negara-negara tersebut, platform media sosial semakin diuntungkan dengan skema ini karena mereka bisa merekrut pekerja dengan upah jauh lebih murah.

Akan lebih jahat lagi jika mereka sengaja menyasar negara yang regulasi tenaga kerjanya longgar atau sedang mengalami krisis ekonomi. Di masa ketika mencari kerja itu sulit minta ampun, dibayar murah untuk menonton ratusan konten gambar atau video porno dan kekerasan setiap hari tiba-tiba bukanlah pilihan yang buruk.

Gabungkan itu dengan kebijakan bekerja secara remote. Sepintas kedengarannya bagus karena memberikan fleksibilitas untuk bekerja dari mana saja. Tapi di lain pihak, para content moderator bisa semakin sukar mengakses fasilitas konseling dan terapi dari kantor. Saling mendukung secara moral antara satu sama lain pun bisa menjadi sulit karena lokasi kerja yang terpencar.

Lalu, kalau seandainya pihak perusahaan diprotes, ya sudah, tinggal pindah saja lalu merekrut di negara lain. Pekerja yang protes itu kontraknya tidak perlu diperpanjang, atau bahkan dipecat sekalian.

Menjadi tumbal demi kesehatan mental kita semua

Mantan pemeran Spider-man, Andrew Garfield, pernah berkata seperti ini dalam sebuah wawancara:

“… people (are) feeling disposable, and (there’s) a value system that does not place value on the human soul, (it’s) a value system that places value on whether you have economic ability to contribute, or status, power….and what happens to those of us who feel exiled and discarded?” 

Sungguh sebuah pendapat yang semakin relevan seiring waktu berjalan.

Content moderator ini ibarat orang-orang yang dikorbankan untuk menjaga citra positif korporasi media sosial di mata publik, yang pada akhirnya juga menjaga laba mereka. Dari sisi biaya pun, nilai mereka tidak berarti karena mereka dibayar murah. 

Lalu bertolak belakang dengan profesi IT seperti software developer atau engineer dan data scientist yang begitu dibanggakan di era revolusi industri 4.0 ini, keberadaan content moderator seperti “disembunyikan.” Padahal, ketika para engineer dan data scientist itu bekerja dengan tujuan lebih untuk meningkatkan laba korporat, bisa dibilang content moderator bekerja justru lebih untuk kepentingan publik, yaitu menjaga agar konten media sosial kita tetap manusiawi.

Mereka seakan ditumbalkan untuk mengalami trauma, depresi dan sejumlah gangguan psikologis lainnya supaya kita tidak.

BACA JUGA Bikini Sandy Tupai Aja Porno Apalagi Foto Tara Basro, Iya Kan Kominfo? dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Suryagama Harinthabim

Editor: Yamadipati Seno

Terakhir diperbarui pada 13 Desember 2022 oleh

Tags: content moderatorFacebookkonselingkonten kekerasanPTSDtiktoktraumatwittervideo porno
Suryagama Harinthabima

Suryagama Harinthabima

Pekerja lepas.

Artikel Terkait

Kerja jadi relawan Surabaya bikin batin terguncang. (Ega Fansuri/Mojok.co)
Ragam

Kerja Jadi Relawan Surabaya Bukannya Bantu Orang Lain malah Batin Ikut Terguncang, Miris Melihat Kehidupan Warga Kota Pahlawan

22 Juli 2025
Gawai adalah Candu: Cerita Mereka yang Mengalami Brain Rot karena Terlalu Banyak Menonton Konten TikTok.MOJOK.CO
Mendalam

Gawai adalah Candu: Cerita Mereka yang Mengalami Pembusukan Otak karena Terlalu Banyak Menonton Konten TikTok

3 Juli 2025
Ragam

Selamat Datang, Post-Truth: Era di Mana Influencer Problematik Promotor Judol Lebih Dipercaya Ketimbang Ahlinya Ahli

30 Oktober 2024
Sekstorsi Gegerkan Tangerang Selatan: Ketika Seorang Ibu Dipaksa Membuat Video Porno dengan Mencabuli Anak Sendiri MOJOK.CO
Esai

Sekstorsi Gegerkan Tangerang Selatan: Ketika Seorang Ibu Dipaksa Membuat Video Porno dengan Mencabuli Anak Sendiri

12 Juni 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.