Panduan untuk Mensos Baru Bu Risma dari Filsuf-filsuf Cina

Panduan untuk Mensos Baru Bu Risma dari Filsuf-filsuf Cina

Panduan untuk Mensos Baru Bu Risma dari Filsuf-filsuf Cina

MOJOK.CO Mensos Bu Risma mungkin tahu quote filsuf Cina. Pemimpin adalah perahu, rakyat adalah air. Bisa buat menjalankan, bisa pula menenggelamkan.

Saya mestinya bertemu Bu Tri Rismaharini beberapa bulan lalu untuk menjadi penerjemah beliau saat menemui birokrat Cina yang datang bertamu. Namun pertemuan itu tiba-tiba urung dihelat oleh sebab yang hingga kini saya tak tahu.

“Bu Risma sibuk kampanye, Mas,” kata teman saya yang dosen salah satu perguruan tinggi di Surabaya.

Waktu itu jalanan kota Surabaya yang kami lewati memang cukup ramai dengan iring-iringan pendukung salah satu pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya yang di-endors Bu Risma.

Kawan saya ini menengarai batalnya pertemuan dengan tamu dari negeri panda itu adalah karena Bu Risma sedang mengikuti kampanye tersebut.

It’s okay. Mungkin karena itu adalah penghujung aktivitas politik Bu Risma di Surabaya sehingga beliau merasa berkewajiban tampil all out menyiapkan penerusnya. Kendati, saya masih ingat betul Bu Risma pernah bilang dirinya tidaklah pandai berpolitik.

Itu dinyatakannya, doeloe, tatkala makan malam bersama Wali Kota Xiamen, Liu Keqing.

Apa yang dilakukannya di Surabaya selama ini, terang Bu Risma, tak lebih merupakan bentuk tanggung jawabnya sebagai orang yang kebetulan diberi amanah oleh rakyat untuk menjadi pemimpin mereka.

Jawaban khas politisi, memang. Jangankan masyarakat Indonesia, orang Cina pun pantang percaya terhadap pejabat negaranya yang membawa-bawa nama “rakyat” dalam pembicaraannya.

Saya pernah naik taksi lewat depan kantor DPRD suatu kota indah nan kaya raya di Cina bagian selatan.

“Ini kantor DPR, ya?” tanya saya kepada Pak Sopir.

“Bukan, itu tempat mangkalnya para pembohong!” jawabnya, mantap.

“Pokoknya,” si sopir melanjutkan, “apa-apa yang ada embel-embel ‘rakyat’-nya, itu kedok dan bualan saja. Yang dilakukan mereka, sebaliknya.”

Kami tertawa tanpa merasa berdosa.

Walakin, kita belum melihat Bu Risma menyalahi pengakuannya yang juga menggaungkan asma besar rakyat itu.

Beliau mungkin sadar betul bahwa, seperti diwanti-wantikan filsuf Xun Kuang (310–235 SM) dalam kitab Xunzi, “Pemimpin adalah perahu, rakyat adalah air. Air bisa menjalankan perahu, juga bisa menenggelamkan perahu” (jun zhou ye, ren shui ye. Shui neng zai zhou, yi neng fu zhou).

Sebagai perahu, Bu Risma jelas tidak tenggelam dan bahkan terus berjalan. Paslon wali kota dan wakil wali kota yang dijagokannya pun terpilih dan keterpilihannya itu diakui tidak lepas dari kharisma Bu Risma di mata rakyat Surabaya.

Boleh jadi karena kuatnya dukungan dan hubungan rakyat dengan Bu Risma itu yang menjadi pertimbangan utama Presiden Jokowi memasrahkan jabatan menteri sosial kepadanya.

Ditugaskan dalam kementerian yang kata Gus Dur “mestinya mengayomi rakyat ternyata korupsinya gede-gedean sampai hari ini!” jelas akan jadi tantangan tersendiri bagi Bu Risma.

Saya jadi teringat Hai Rui, PNS era dinasti Ming yang masyhur akan integritas dan kebersihannya di tengah situasi negeri yang teramat korupnya.

Ditugaskan di pos manapun, Hai Rui selalu tampil dengan sikap tanpa komprominya terhadap segala bentuk rasuah. Mau korupsinya itu dilakoni pejabat biasa maupun keluarga istana, dia istikamah trengginas menggilas mereka semua.

Bukannya apa. Di mata Hai Rui, koruptor tak ubahnya parasit yang rakus menghisap darah dan keringat rakyat demi menghidupkan dirinya tapi mematikan rakyat sebagai inangnya. Dengan begitu, tak ada jalan lain mencerabut parasit kecuali dibasmi sampai ke akar-akarnya.

Makanya, kala menjabat sebagai adipati Kabupaten Chun’an pada tahun 1558, misalnya, Hai Rui langsung melancarkan reformasi agraria lantaran ketimpangan sosial yang terlanjur menganga.

Hatinya memberontak melihat ketidakadilan seperti dilukiskan “dewa puisi” Du Fu (712–770) dalam salah satu sajaknya, “Di rumah si kaya arak dan daging membusuk, di pinggir jalan bergeletakan bangkai si miskin membeku” (zhu men jiu rou chou, lu you dong si gu).

Hai Rui melakukan dakwah bil hal, memberi suri teladan dengan perbuatan. Dia sangat bersahaja. Pakaiannya, makanannya, tempat tinggalnya, semua sederhana. Dan yang terpenting, Hai Rui tidak gila hormat, juga enggan menjilat.

Khusus yang terakhir itu, ada cerita menarik. Suatu hari di tahun 1560, seorang petinggi istana yang menangani hukum namun terkenal suka memeras dan abuse of power, mengabari hendak bertandang ke Chun’an. Namanya Yan Maoqing. Hai Rui mempersilakan.

Yan Maoqing mengira Hai Rui akan menyambutnya dengan gegap gempita seperti pejabat daerah lain yang menerima kunjungannya. Dia pun berangkat dengan membawa serta banyak pengawal.

Tak dinyana, sesampainya di Chun’an, Hai Rui yang menunggu di gerbang kota tidak mengizinkan mereka masuk. Alasannya: jalanan di situ sempit, tidak muat untuk menampung karavan. Yan Maoqing kecele, kena prank.

Tentu Yan Maoqing marah. Hai Rui lantas dimutasi.

Sekalipun dipindahtugaskan berkali-kali karena kebelingannya, Hai Rui tetap berjiwa bonek. Puncaknya terjadi enam warsa kemudian: awal tahun 1566. Tak tanggung-tanggung, yang disasar adalah kaisar!

Syahdan, tanggal 1 Februari 1566, tak ada angin tak ada hujan, Hai Rui membeli peti mati. Keluarganya dia titipkan ke temannya sebelum berangkat ke istana. Bukan, bukan untuk menerima tawaran menjadi menteri, melainkan untuk menyerahkan surat kritik yang diberinya judul Menyelamatkan Negara (Zhi An Shu) kepada kaisar.

Baginda menjanjikan perubahan, tapi tak lama kemudian Baginda sendiri yang mengubah haluan …. Negara ini kaya raya, tapi Baginda tidak peduli bahwa itu semua berasal dari jerih payah rakyat jelata.

Baginda malah menghamburkannya untuk jorjoran membangun infrastruktur yang tidak menyejahterakan mereka. Jual beli jabatan merajalela, pengenaan pasal karet terjadi di mana-mana dengan dalih hukum berlaku untuk semua, premanisme makin menggila, sementara Baginda sibuk bersenang-senang belaka.

Sudah, saya akhiri sampai di situ dulu penerjemahan surat kritik Hai Rui yang ditujukan buat Kaisar Jiajing dinasti Ming itu. Kalau dilanjut, nanti surat kritiknya dikira dibikin untuk pemimpin suatu negeri yang warganya konon tingkat literasinya rendah tapi libido gibahnya tumpah ruah, lagi.

Mendengar kritik tersebut, Kaisar Jiajing sontak naik pitam. Dia awalnya tidak ingin menghukum Hai Rui karena merasa apa yang disampaikan Hai Rui banyak benarnya. Tetapi, para menteri di kanan-kirinya mengomporinya untuk memberi Hai Rui pelajaran. Kaisar terhasut. Hai Rui dijebloskan ke jeruji besi.

Entahlah, orang baik di negeri korup naga-naganya ditakdirkan untuk selalu berakhir tragis. Rakyat memang mencintai mereka, tapi banyak pejabat membencinya dan, karena itu, akan senantiasa mencari cara untuk menggencet atau bahkan mendongkelnya.

Kita tentu mengharapkan Bu Risma bisa seberani tapi tidak senasib umpama Hai Rui. Juga tidak tersandung seperti pendahulunya—yang koar-koar mengatakan korupsi bisa dicegah dengan pendekatan humanis dan pengendalian diri namun ujung-ujungnya kayak kena boomerang yang dia lempar dan kena diri sendiri.

Gara-gara itu, saya jadi ingat wejangan filsuf Xun Kuang yang ini, “Kou yan shan, shen xing e, guo yao ye” (pejabat yang manis perkataannya, tetapi buruk kelakuannya, adalah iblis yang akan membawa malapetaka bagi negara).

Hm. Makjleb juga.

BACA JUGA Mengagumi Jalan Pedang PKS untuk Menjadi Oposisi Sendirian atau tulisan Novi Basuki lainnya.

Exit mobile version