MOJOK.CO – Perbedaan antara buruh dan kuli adalah pada pengakuan untuk menegosiasikan hak-hak pekerja ke pemilik modal secara kolektif.
Saya berani mengatakan bahwa tidak ada banyak buruh di Indonesia. Mayoritas yang disebut buruh itu sebenarnya adalah kuli.
Ada perbedaan besar antara buruh dan kuli. Buruh adalah orang yang bekerja, mendapat upah, dan segala macam hak seperti misalnya hak atas kesehatan, hak atas cuti, hak atas liburan, hak atas pensiunan, dan lain sebagainya.
Kuli adalah orang yang bekerja, mendapat upah, namun tidak mendapatkan hak-hak apapun juga. Memang, seperti dalam kasus kuli kontrak di sabuk perkebunan di Sumatra Utara pada akhir abad ke-19 dan awal abad-20, para kuli punya akses ke klinik dan libur sehari seminggu. Namun itu tidak membuatnya menjadi buruh.
Perbedaan antara buruh dan kuli adalah pada pengakuan untuk menegosiasikan hak-hak tersebut secara kolektif.
Kalau Anda kuli, Anda tidak punya hak berunding secara kolektif ini. Jadi, apa yang sekarang dinamakan sebagai “buruh outsource” itu sebenarnya adalah kuli. Mereka tidak punya hak-hak tawar secara kolektif (collective bargaining rights).
Begitu juga bila Anda pengemudi ojek online dalam sistem yang katanya “sharing economy”, Anda bukan buruh. Anda hanyalah “private contractor”, seorang kontrakan yang tidak memiliki hak apapun karena hubungan Anda dengan perusahan hanyalah hubungan kontrak.
Anda menyewakan properti Anda (sepeda motor, mobil, dan rumah) secara temporer kepada konsumen lewat perusahan.
Lalu apa bedanya dengan karyawan?
Istilah ini dilahirkan oleh militer. Pada awalnya istilah ini muncul untuk menyaingi istilah “buruh” yang dipakai serikat-serikat buruh kiri seperti Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI).
Militer menciptakan SOKSI yang kepanjangan dari Serikat Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia pada tahun 1961. Singkatan ini kemudian diubah menjadi Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia.
SOKSI dalam perkembangannya menjadi salah satu dari tujuh kelompok induk organisasi (kino) yang membentuk Golongan Karya (Golkar) pada tahun 1971. Golkar adalah mesin politik yang dipakai Soeharto untuk menang dalam setiap pemilu dari 1971 hingga 1997.
Karyawan adalah sebuah eufemisme, sebuah penghalusan semantik atau pasemon. Tujuannya adalah menghilangkan konotasi buruh, sebagai sebuah kolektif yang mampu bernegosiasi atas hak-haknya.
Dengan demikian buruh disamakan dengan pegawai atau orang upahan tanpa hak-hak yang bisa diperjuangkan secara kolektif sebagaimana layaknya organisasi buruh di seluruh dunia.
Penghalusan semantik ini juga menurunkan makna buruh. Saat ini buruh menjadi sebutan yang sangat derogatif (merendahkan). Hampir tidak ada beda antara kuli dan buruh. Konotasinya adalah orang yang menjual tenaga fisik—tanpa punya keinginan, tanpa punya hak, dan lebih rendah dari orang kebanyakan.
Di banyak negara, buruh merupakan kekuatan politik yang dijelmakan ke dalam Partai Buruh (Labour Party). Itu tidak saja terjadi dalam negara-negara sosialis tetapi juga di negara-negara kapitalis dan demokratis seperti di Inggris dan Australia.
Buruh juga mewakili sebuah kekuatan ide—baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Ada sebuah landasan filosofis yang kuat di balik ide-ide perburuhan.
Ia mewakili sebuah ide tentang bagaimana menata ekonomi yang lebih adil, yang lebih mengutamakan manusia di atas modal, yang menjamin bahwa setiap orang bekerja berhak atas upah yang setara dengan biaya hidupnya, dan pengurangan ketimpangan antara kaya dan miskin.
Ide ini mungkin bisa dijelaskan secara singkat seperti ini: jika buruh mendapat upah yang adil, sesuai dengan kebutuhannya untuk hidup, maka buruh akan bisa hidup dengan layak. Hidup layak berarti ia mampu memiliki rumah atau memiliki akses terhadap kesehatan yang layak. Mobilitasnya terjamin karena sanggup membayar sarana transportasi.
Jika buruh memiliki upah hidup layak, ia memiliki keluarga yang stabil. Dengan begitu ia bisa memberikan gizi yang baik untuk keluarganya, menyekolahkan anaknya, mengamankan generasi mendatang yang baik untuk masa depan masyarakat dan negara.
Jika buruh memiliki upah yang layak, ia memiliki uang untuk ia belanjakan. Pada akhirnya buruh akan menciptakan putaran ekonomi untuk orang lain. Contoh sederhananya, buruh mampu membeli produk petani, misalnya. Dengan begitu buruh mampu membeli inovasi dan kreasi dari pelaku ekonomi lain.
Nah, karena buruh sangat melekat dengan ide, maka ada sesuatu yang sangat intelektual di dalamnya. Jika sampai ada seorang profesor yang mengatakan (di Twitter beberapa waktu lalu) bahwa “intelektual” yang berdemo itu menurunkan derajatnya menjadi buruh, maka profesor itu sendiri kurang baca. Saya menangkapnya sebagai “arrogance of the ignorant”.
Buruh memang bukan kuli. Namun, setiap kuli seharusnya diperlakukan sebagai buruh dengan hak-hak berunding secara kolektif untuk menentukan upah dan kesejahteraannya.
Setiap karyawan juga seharusnya adalah buruh. Juga dengan hak-hak berunding secara kolektif untuk menentukan upah dan kesejahteraannya.
Kuli maupun karyawan adalah buruh yang diingkari hak-hak kolektifnya dan dijamin untuk menerima upah yang layak untuk hidupnya (living wages).
Tidak ada yang rendah dari buruh. Di banyak negara, kelas buruh adalah tiang yang membangun negara. Merekalah yang membawa negara dan masyarakat ke arah kemakmuran.
Jika Anda ingin negara makmur, kuat, tertib, dan sejahtera, berikanlah hak-hak kepada buruh untuk bisa hidup secara layak. Bukan memberikan karpet merah kepada tuan-tuan mahakaya dan membuat buruh hanya mendapat remah-remahnya. Buruh-buruh inilah yang membuat tuan-tuan itu menjadi kaya. Bukan sebaliknya.
Buruh-buruh inilah juga yang memberi makan tentara, polisi, dan pegawai negeri lewat pajak yang mereka bayarkan. Tentu kalau mereka hidup dengan upah hidup layak (living wages).
BACA JUGA Apakah Buruh dan Karyawan Itu Berbeda? dan tulisan menarik Made Supriatma lainnya.