Pak Moeldoko, Sampean Nggak Usah Sambat kalau Indonesia Nggak Maju-maju

partai demokrat

MOJOK.CO“Ini kita harus mengeksplorasi lagi kenapa bangsa dulu itu peradabannya begitu tinggi. Kok sekarang seperti mundur?” kata Moeldoko.

Setiap kali mendengar kalimat “jatuh-bangun dan maju-mundurnya peradaban”, kepala saya kerap membayangkan peristiwa-peristiwa berdarah yang ditandai dengan konflik dan penggulingan tahta kerajaan yang menyebabkan segala perkara tetek bengek dalam mengurusi rakyat terbengkalai oleh kehendak untuk saling menjatuhkan dan mempertahankan kekuasaan.

Bahkan, saya pernah berbincang dengan seorang kawan yang mengeluhkan pelajaran sejarahnya di sekolah yang isinya terlalu banyak perkelahian. Seolah, peristiwa di abad-abad yang lampau hanya berisi permusuhan.

Anda sekalian pasti ingat dengan pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, yang jika dirampingkan, yang menonjol dari sejarah pasca kenabian (Khulafaur Rasyidin) hanyalah rentetan konflik politik, mulai dari perdebatan soal pengganti Nabi saw, pembangkangan terhadap khalifah Abu Bakar, Perang Jamal, Perang Shiffin, sampai peristiwa terbunuhnya cucu Nabi saw.

Persis ketika melintas di beranda Twitter saya perihal keheranan Pak Moeldoko soal peradaban Indonesia yang kian mundur, kepala saya langsung melacak konflik politik apa yang baru-baru ini terjadi sehingga menyadarkan Pak Moeldoko bahwa kita berjalan membelakangi cita-cita adiluhung bangsa ini.

Dan masih hangat di ingatan anak bangsa yang pendek ini, bahwa perebutan takhta yang belakangan terjadi justru dinahkodai oleh Jendral Moeldoko sendiri.

Bagai seorang Muawiyah yang merampas takhta Ali bin Abi Thalib, Moeldoko merongrong kekuasaan AHY. Bedanya, kalau Muawiyah berhasil, Moeldoko justru gagal telak karena tak direstui Menhumkan dan Menkopolhukam.

Maka, membayangkan ketika Moeldoko ujug-ujug mengomentari kemunduran peradaban, ibarat Sukarno edo tensei yang marah karena Indonesia pernah berada di bawah kediktatoran demokrasi terpimpin, atau Soeharto edo tensei yang murka mengetahui rentetan tragedi HAM, mulai dari Petrus 1981-1985, Tanjung Priok 1984-1987, sampai penghilangan paksa 1997-1998.

Tapi apa lacur, kepala KSP kebanggaan kita itu seolah mendadak kena Genjutsu yang membuat kesadarannya terlempar di suatu medan perang melawan Muawiyah dan beliau berteriak-teriak membangkitkan semangat para pengikut Ali.

“Ini kita harus mengeksplorasi lagi kenapa bangsa dulu itu peradabannya begitu tinggi. Kok sekarang seperti mundur? Bagaimana ceritanya ini?”

Demikian tanya Pak Moeldoko, terheran-heran karena di zaman dahulu, orang-orang meninggalkan warisan semacam Candi Borobudur.

Sebetulnya benar saja apa yang dikatakan Pak Moeldoko. Di masa lalu, Candi Prambanan saja bahkan sanggup dibangun hanya dalam tempo semalam saja. Sementara sekarang, mau bangun kompleks olahraga saja malah mangkrak bertahun-tahun.

Jangankan proyek besar semacam Hambalang, mau bangun rumah ibadah saja bisa dirundung warga karena khawatir menciderai iman umat mayoritas.

Tapi masalahnya, tampak sekali bahwa Pak Moeldoko lupa kalau kemajuan suatu peradaban tidaklah diukur dari artefak yang ditinggalkannya.

Kalau begitu modelnya, bukankah negara-negara maju akan berlomba-lomba membangun kuil, candi, hingga gereja ketimbang mendorong kemajuan sains dan teknologi?

Kita tahu, kemajuan peradaban Islam yang dibangga-banggakan dulu itu tidaklah diukur dari pembangunan masjid seperti yang terjadi di Indonesia hari ini, melainkan berkat penemuan-penemuan dan perkembangan sains dan teknologi yang terus digerakkan.

Pemikiran soal artefak sebagai tolak ukur kemajuan sangatlah berbahaya. Serupa membangun tugu anti korupsi untuk menyepakati musnahnya praktik korupsi. Mengabaikan bahwa anggaran tugu tersebut justru telah dikorupsi. Ini semacam metode menyelesaikan masalah dengan menghindari pokok persoalannya.

Model berpikir di atas memang menjadikan segala hal lebih praktis dan mudah diselesaikan. Maka tak heran bila ada pejabat BUMN ujug-ujug ngidam pengen “meng-Kochiyose no Jutsu” Silicon Valley untuk menyelesaikan mangkraknya perkembangan sains di Indonesia, mengabaikan serentetan aspek dan proses panjang yang mesti dilalui.

Bahkan, untuk perkara sains saja, mereka membayangkan sedang membangun Candi Prambanan.

Dan tentu saja, model berpikir ini pula yang dipakai para pemberontak untuk merebut kekuasaan. Atau yang dipakai Moeldoko tatkala hampir menjadi ketua umum Partai Demokrat. Dikiranya, sebuah partai akan lebih baik jika beliau saja yang memimpin.

Jika sosok semacam Moeldoko tiba-tiba memiliki firasat bahwa Indonesia mengalami kemunduran, lantas makhluk semacam apa “kemunduran” yang beliau bayangkan? Apalagi Pak Moeldoko juga sebetulnya belum terlihat pernah mengambil langkah kemajuan. Eh.

Kita tahu, beliau salah satu sosok yang amat mendukung revisi UU KPK yang berakibat pada sekaratnya KPK hari ini. Selain itu, beliau juga menjadi pembela penuh waktu Omnibus Law.

Padahal, dua kebijakan itu merupakan langkah kontra bagi reformasi dan cita-cita konstitusi, yang menandakan bahwa, bangsa ini dilempar satu abad ke belakang. Dan Pak Moeldoko, justru menjadi bagian dari keterlemparan itu.

Tak ada angin tak ada hujan, tak berselang lama setelah ia mengaduk-aduk partai politik milik orang lain, orang yang sama justru terheran-heran dengan kemunduran Indonesia. Padahal, kita membayangkan mumpung masih Ramadan, Pak Moeldoko tengah menyesali sedalam-dalamnya segala perbuatannya selama ini.

Atau jangan-jangan, Pak Moeldoko yang heran dengan kemunduran bangsanya adalah sosok berbeda dari Pak Moeldoko yang kemarin diangkat sebagai Ketum Partai Demokrat versi KLB?

Jangan-jangan, Pak Moeldoko yang sekarang adalah versi edo tensei yang juga bakalan kaget ketika diberi tahu kalau Jendral Moeldoko di masa lalu pernah hampir “mengkudeta” Partai Demokrat dan ikut berbahagia saat revisi UU KPK dan Omnibus Law disahkan?

Kalau begitu, jika Pak Moeldoko edo tensei minta diceritakan soal kemunduran peradaban Indonesia. Saya yakin, sosok yang paling otoritatif untuk menjelaskan seluk beluk kenapa bangsa ini belakangan terlihat mundur ya sosok itu adalah dirinya sendiri.

BACA JUGA Gaj Ahmada dan Majapahit dalam Pusaran Tragedi Pertanyaan ‘Kapan Kawin?’ dan tulisan Ang Rijal Amin lainnya.

Exit mobile version