MOJOK.CO – Keraton Yogyakarta disentil. Ada pembangunan pagar benteng keraton, tapi rakyat diminta swadaya untuk selamatkan nyawa sendiri-sendiri dari Corona. Weh, kok wani sampean?
Mula-mula sekali ada imbauan Sri Sultan HB X soal jimpitan untuk melawan megakatasrofe virus, lalu merembet ke soal pagar besi mengelilingi Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta.
Soal dana jimpitan melawan raksasa pembunuh massal seperti Covid-19 itu, ya, tentu saja “menyinggung” perasaan warga negara jika yang mengatakan itu adalah Sri Sultan HB X sebagai gubernur.
Jimpitan itu simbol uang yang dikumpulkan dari hasil menjimpit uang 500 sampai 1.000 perak per rumah tiap malam oleh petugas jaga ronda. Angkanya juga tidak seberapa, sebagaimana namanya. Yang sejimpit itu pun diminta semau-mau oleh negara untuk logistik perang akbar.
Rakyat bakal sukarela menyerahkan segala-galanya bila melihat pemangku negara becus mengorganisasi perang ini. Tapi, kan tidak. Paling nggak, semenjana karena dimulai dari sikap denial.
Tentu, Gubernur DIY lebih baik sikapnya saat awal virus ini diumumkan. Alih-alih denial seperti tiga menko Jokowi, Sultan HB IX langsung mengeluarkan “Tujuh Instruksi” waspada pada 3 Maret 2020. Hingga, sampailah kita ke soal jimpitan itu.
Pasal ini pastilah disambut positif dan semangat berkobar jika Sultan HB X sebagai gubernur memulainya dengan pengumuman awal bahwa oke, sebagai upaya welkom PPKM Darurat dari pusat, mari kita lockdown semua pintu masuk Yogya.
Di utara, Turi kita kunci; di barat, Hargomulyo kita close; di timur, Prambanan kita baned dan Rongkop, Ponjong, dan Semin kita semen; sementara, di selatan, Samudra Hindia kita tatap dengan nanar.
Lalu?
Semua dana istimewa atau danais yang diberikan tiap tahun oleh pemerintah pusat lebih kurang 1 triliun itu diarahkan untuk logistik perang.
Semua perusahaan besar yang beroperasi, termasuk 10 kerajaan bisnis yang berafiliasi langsung ke keraton, menjadi sayap utama penyedia logistik untuk rumah sakit dan rumah-rumah rakyat yang seluruh penghuninya sedang sakit, baik lahiriah (ekonomi) maupun batiniah (terkurung).
Pakailah jimpitan, sisa semua kebutuhan tiap RT bakal digelontorkan secepatnya dengan memakai uang negara dan CSR perusahaan.
Adapun isolasi mandiri atau isoman terbaik bagi warga yang terdampak pandemi adalah Royal Ambarrukmo yang dibangun atas inisiatif HB IX.
Ambarrukmo ini luar biasa ideal. Warga miskin yang belum pernah sekalipun nginap di hotel sepanjang hidupnya hingga berusia senja tentu gembira bisa memasuki dan menginap di hotel yang dulunya bernama Ambarrukmo Palace Hotel.
Jika itu dilakukan dalam situasi darurat, ini yang disebut “Tahta untuk Rakyat”. Jika sudah berbicara keselamatan nyawa rakyat, apa pun akan diserahkan keraton. Demi berdirinya era baru yang membebaskan ketertindasan rakyat dari kolonialisme, keraton memberikan semua yang dimilikinya. Istimewa sekali, bukan?
Pikiran seperti itu jauh dari feodalisme yang dikutuk revolusi karena bersekutu dengan kolonialisme mengisap kawula yang tunadaya.
Pikiran seperti itu yang membuat Yogya mau memundaki risiko sebagai ibu kota daruratnya nasib negara baru bernama Indonesia setelah Jakarta dan semua daerah satelitnya direbut dan dibumihanguskan Belanda.
Dengan keterbukaan tangan menerima para pemimpin Republik, para “ekstremis” Jakarta macam Sukarno-Hatta, artinya Yogya dengan segenap kawulanya bersiap menjadi sasaran penghancuran, blokade, dan palagan perang.
Pikiran seperti itu yang menjadikan Yogyakarta berhak menyandang status istimewa. Bukan karena raja dan keluarganya. Bukan karena keratonnya.
Lihat, Surakarta punya keraton, tetapi tidak istimewa. Buton punya kerajaan, walau semenjana, tapi tidak istimewa. Cirebon juga punya, tetapi sekadar simbol budaya dan pusat upacara. Ternate punya juga, tetapi, ya, sekadar museum.
Saat keluarga raja diamuk revolusi sosial di Sumatra dan di Jawa, Keraton Yogyakarta tetap “aman”. Saat aksi sefihak atau aksef menegakkan UU Agraria yang dilakukan gerakan kiri sedang pasang, tanah-tanah raja di Yogya tetap “tidak tersentuh”.
Justru, Klaten yang dijadikan uji coba aksef. Padahal, berapa sih jauhnya Yogya dan Klaten itu. Istimewa sekali, bukan?
Keraton Yogyakarta itu bukan museum bertiket, tetapi monumen keistimewaan. Istana yang hidup dan adaptif dengan kekinian dengan akar: “Tahta untuk Rakyat”.
Maka, sangat jauh dari spirit “tahta untuk rakyat” kalau memagari alun-alun dengan dalih: itu halaman raja. Yang bukan raja dan keluarga, nggak boleh injak Alun-Alun Utara. Ngotot lagi, ajukan izin terlebih dahulu.
Kalau nggak sabaran dan mau main sepeda dan nyari cilok enak atau kue leker, kalian ke belakang saja, kalian ke Alun-Alun Selatan, kalian ke Alkid.
Bagi raja dan keluarga, Alkid atau Alun-Alun Kidul adalah lapangan luas bukan untuk sesuatu yang hidup. Bagi raja, “tabu” hadir di Alkid karena itu adalah gerbang pertama mengeluarkan jasad setelah ditinggal terbang sukma.
Posisi Alkid ini sesungguhnya anomali. Bagi rakyat, Alkid satu-satunya ruang publik luas yang tersisa yang berisi kegembiraan dengan lampu warna-warni jika malam. Namun, bagi raja, itu adalah lapangan kematian di mana rakyat berkumpul membawa jenazah rajanya ke peraduan terakhirnya di Imogiri.
Jadi, saat kamu naik sepeda berwarna-warni malam hari atau main petak umpet berbayar untuk bisa menembus dua pohon beringin, sesungguhnya kamu sedang bermain di lapangan yang wingit, di belakang rumah yang di sana—pinjam makhluk pencabut nyawa ciptaan J.K. Rowling—Dementor terbang berkitar-kitar di wuwungan istana.
Jadi, jika Alkid ramai, itu bukan simbol hidup. Yang menyimbolkan “tahta untuk rakyat” itu adalah Alun-Alun Utara, halaman depan istana.
Jika di Alkid kawula atau rakyat menyambut jenazah rajanya, di Alor atau Alun-Alun Lor sang raja memangku rakyatnya. Sang raja mendengarkan keluhan rakyatnya.
Macam-macam gaya mengeluh itu. Ada lewat cara diam, tapa pepe. Ada juga dengan cara aksi. Alor pun menjadi saksi aksi-aksi massa besar sejak masa kemerdekaan. Untuk konsolidasi pertempuran Surabaya ’45 yang berdarah-darah itu, rakyat Yogya ngumpulnya di Alor.
Tempat paling favorit untuk kampanye politik sejak 1955 sampai sekarang, ya, di Alor. Seruan kembali ke UUD ’45 pada 1959, rapat umumnya, ya, di Alor.
Lalu, rapat raksasa legendaris di bulan terakhir 1961 yang menjadi rangkaian perjuangan merebut Irian Barat diselenggarakan di Alor. Ingat seruan Tritura yang selalu muncul di buku pelajaran sejarah? Di rapat raksasa Alor-lah dibacakan teks Tri Komando Rakyat atau Tritura itu. Di sini juga sukwan/sukwati Irian Barat dilepas Sukarno.
Bahkan, “Pisowanan Ageng” sehari sebelum Jenderal Besar Harto turun tahta pada 21 Mei 1998 saat rakyat berbondong-bondong mengadukan derita sudah di leher kepada raja, ya, di Alor.
Jadi, Alor itu, Alun-Alun Utara itu, menjadi landmark bagi semua aspirasi semua lapisan masyarakat. Sebab, keraton berada di atas seluruh kepentingan kawulanya yang berbeda-beda, tetapi mencintai kotanya.
Yang komunis yang kiri, ya, diajeni, pelukis-pelukisnya dikasih tempat di sisi kanan Alun-Alun Utara (sekarang, Jogja Gallery). Yang Tionghoa kiri, Baperki, dikasih gedung yang kemudian menjadi sekretariat KONI dan kini Museum Sonobudoyo.
Kawula yang religius dipangku di bagian barat, Kauman. Kauman pun dengan Masjid Gedhe menjadi porosnya menjadi spirit seabad lebih Muhammadiyah beramal membangun kota dan umat.
Manusia semacam D.N. Aidit, ya, diterima memberikan ceramah politik di dalam keraton, sebagaimana mubalig Muhammadiyah yang juga pengurus teras Masyumi bisa leluasa memberikan tausiyah keislaman.
Jadi, apa semiotika pagar Alun-Alun Utara saat ini? Pagar itu pemisah. Pemisah antara privat dan publik. Padahal, pemisah itu “dibabat” Sultan HB IX yang membuat Keraton Yogyakarta menjadi istimewa dalam banyak aspek. Sultan kaping IX ingin bilang, tak ada rakyat, tak ada raja.
Dan, Yogya berbulan-bulan berduka saat raja humanis penghubung yang “lama-baru” ini mangkat. Alun-Alun Kidul menjadi lautan manusia mengantarkan jenazah rajanya. Koran-koran menempatkan berita duka ini selama berhari-hari di halaman depan.
Tempo, misalnya, tiga pekan menurunkan segala cerita soal HB IX. Majalah keluarga Sarinah dan Kartini menampilkan berhalaman-halaman foto sehingga nyaris menjadi majalah foto.
Setelah berita duka itu reda dan semua bahan sudah habis dituliskan para jurnalis, barulah scene beralih ke pergantian tahta. Editor, majalah yang dibreidel bersama Tempo dan Detik, menurunkan cover story: “HB X: Raja dan Pengusaha”.
Secara semiotika, sampul dan headline Editor edisi No. 28, Mei 1989, itu ganjil dan tentu saja ngganjal. Seganjil jimpitan dan se-ngganjal pagar alun-alun. Itu.
BACA JUGA Kisah Rumah yang Nyempil Sendirian di Halaman Hotel Hyatt Jogja atau tulisan Muhidin M. Dahlan lainnya.