Saat Negara Turut Campur Aura Farming Pacu Jalur, Semua Jadi Terasa Cringe dan Nggak Seru Lagi

Pacu Jalur Direcoki Pemerintah Jadi Cringe dan Nggak Seru Lagi MOJOK.CO

Ilustrasi Pacu Jalur Direcoki Pemerintah Jadi Cringe dan Nggak Seru Lagi. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COPemerintah, semoga, nggak cuma pengin ikutan viral dengan mengundang Rayyan Dhika yang viral karena aura farming di budaya Pacu Jalur.

Merayakan suatu pencapaian itu memang perlu dan dapat membuat hidup lebih bermakna. Tapi, kalau merayakannya secara berlebihan, malah membuat sesuatu yang dirayakan justru bergeser dari makna hakikinya.

Belakangan ini, kita sedang gandrung merayakan kehebohan tren tarian anak sedang menari di ujung perahu panjang Pacu Jalur. Warganet mengistilahkan tarian bocah bocah bernama Rayyan Dhika yang bertugas menyemangati para pendayung tersebut sebagai aura farming

Lomba mendayung perahu itu merupakan peristiwa kebudayaan tradisi Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Konon, budaya ini sudah ada sejak abad ke-17 dan diselenggarakan di sepanjang Sungai Kuantan.

Konten ini viral dan menyebar di jagat dunia digital. Bahkan beberapa pesohor disebut meniru gerakan tari Rayyan Dhika di media sosialnya. 

Banyak beredar potongan video pemain sepak bola dianggap melakukan selebrasi gol meniru gaya sang aura farmer Pacu Jalur, Rayya Dhika. Yang terbaru kemarin, di akun X beredar konten tentang Marc Marquez yang merayakan kemenangannya dengan tarian ini di balapan Moto GP Sachsenring, Jerman. Kita juga menyaksikan Rayyan Dhika pentas tariannya di tengah hujan dalam seremoni final sepak bola Piala Presiden, 13 Juli 2025.

Dan, puncak tertinggi sebuah viralitas dari peristiwa-peristiwa di negeri ini adalah ketika pemerintah mulai cawe-cawe ikut ambil bagian di dalamnya. Kita sudah menyaksikan bagaimana Wakil Presiden kita ikutan bikin konten menari aura farming di akun Instagram-nya. 

Rayyan juga telah dipanggil untuk menari di depan Menteri Kebudayaan dan beberapa pejabat negara seperti sedang ikut Pacu Jalur. Pejabat daerah juga tak mau ketinggalan mengundang Rayyan untuk mempraktikkan koreografinya di acara institusi pemerintah. Pemerintah membanjiri Rayyan dengan berbagai penghargaan, salah satunya menjadi duta pariwisata Riau.

Cringe jika negara sudah ikut-ikutan

Beberapa warganet mulai berkomentar di medsos. Yang dilakukan pemerintah ini sudah berlebihan, dan mulai melabeli peristiwa ini cringe. “Sudah nggak asyik.” 

Kalau negara sudah ikut-ikutan merayakan kesenangan rakyat dengan cara berlebihan, maka peristiwa itu lantas dinilai menjadi latah belaka. Pacu Jalur tidak terhindar dari kelatahan negara ini. 

Saya menyetujui pemikiran ini. Setuju bahwa kita (baik rakyat digital biasa maupun pemerintah) sudah terlalu berlebihan merayakan dan memviralkan tarian Pacu Jalur ini. Bahwa viralitas ini saya khawatirkan akan mereduksi (bahkan mengabaikan) makna hakiki dari sebuah peristiwa budaya. 

Sebelum lebih jauh, perlu saya tegaskan bahwa bukan berarti saya tidak setuju dengan populernya Rayyan yang telah membuka mata dunia akan budaya Pacu Jalur di Riau. Berkat konten tarian itu, lomba dayung tradisional itu harus diakui menjadi lebih terkenal.

Baca halaman selanjutnya: Semoga nggak cuma pengin ikut viral.

Kekhawatiran saya setelah tarian Pacu Jalur viral

Tapi, kita perlu tetap eling lan waspada serta tetap harus mempunyai pikiran kritis terhadap suatu gejala kebudayaan. Saya mengkhawatirkan beberapa hal ketika kita terlalu mengeksploitasi koreo Rayyan Dhika. 

Pertama, kita harus belajar dari sejarah dunia digital beberapa waktu belakangan ini. Bahwa sesuatu yang meledak viral dengan sangat cepat di medsos, punya kecenderungan untuk lekas pudar dan ditinggalkan warganet. 

Dengan membludaknya informasi-informasi di sekitar kita melalui internet, terdapat fenomena warganet yang FOMO untuk ikutan bereaksi terhadap sesuatu yang baru di media sosial. 

Saat sebuah kebaruan muncul, warganet cenderung eksploitatif mereproduksi, mendistribusi, dan mengkonsumsinya. Tapi, perlu kita cermati bahwa ada fenomena warganet yang cepat jenuh, bosan, merasa cringe, sehingga konten tersebut dengan segera akan menjadi tidak lagi up to date dan segera digantikan oleh konten viral lainya. 

Begitulah hukum viralitas digital hari ini. Ya mudah meledak dan mudah pula ditinggalkan.

Berdasarkan gejala itu, saya khawatir kita akan segera melupakan Rayyan Dhika dan tradisi budaya Pacu Jalur. Ya seperti kita telah mengabaikan hal-hal yang sempat viral lainnya (1000 hari Tragedi Kanjuruhan, polisi menembak Gamma, korupsi Pertamina, koreografi velocity, fenomena film Jumbo, dan seterusnya). 

Jika kelak hal itu terjadi, Pacu Jalur hanya meledak sesaat. Setelah itu akan kembali lagi berada di tempat mulanya, di tepian sungai Kuantan.

Terlalu fokus pada aura farming, bukan Pacu Jalur

Kekhawatiran kedua saya adalah kita terlalu fokus pada tarian aura farming daripada peristiwa tradisi Pacu Jalur. Secara visual, kemunculan konten aura farming Rayyan Dhika memang menarik. 

Dia berdiri dan menari di ujung perahu yang sedang kencang melaju, menggunakan baju adat tradisional plus aksesoris kacamata hitam gemerlapan. Gerakannya yang lucu sekaligus lincah dengan keahlian tinggi untuk tetap stabil di atas perahu menjadikannya pusat perhatian dari acara Pacu Jalur. 

Tapi, dalam berbagai pembahasan tentang viralnya aura farming ini, sedikit sekali saya temukan tulisan yang justru membahas tentang Pacu Jalur serta rencana-rencana pemerintah dalam mengangkat tradisi ini. 

Padahal, jika pemerintah jeli memanfaatkan kondisi ini, akan ada peluang membawa salah satu tradisi budaya anak bangsa ke tempat yang lebih tinggi. Misalnya menjadikannya perlombaan perahu kelas dunia. 

Kita juga belum menemukan kiat negara untuk menyejahterakan para pelaku budaya atlet dayung Pacu Jalur. Popularitas ini juga bisa dijadikan media ungkit untuk  merancang strategi promosi wisata strategis di daerah Riau. Saya terus terang khawatir nasib atlet olahraga dayung tradisional itu justru terabaikan ketika kelak vitalitasnya telah sirna. 

Semoga tidak asal viral

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa nasib para atlet Indonesia acap terkatung-katung digantung pemerintah. Kita juga harus mengakui bahwa pemerintah sering menganakemaskan atlet cabang olahraga tertentu. 

Ingat tentang fenomena atlet sepak bola mendapat hadiah jam tangan mewah? Sementara itu, banyak atlet cabang lain yang mendulang emas justru diperlakukan dengan senjang? 

Lindswell Kwok, salah satu atlet wushu berprestasi di negeri ini, sempat mengunggah protes tentang ironi kesenjangan bonus atlet ini. Sebenarnya hari ini juga ada berita gemerlap di bidang olahraga lain, yaitu Veda Ega Pratama, pembalap dari Gunungkidul Yogyakarta, yang usianya masih 16 tahun tapi telah membuat Indonesia Raya berkumandang di 3 podium MotoGp dalam 2 bulan terakhir ini. 

Tapi, kecemerlangan Veda Ega tak diperbincangkan banyak orang. Kalah dengan viralitas aura farming.

Dalam konteks perlombaan Pacu Jalur, semestinya kita semua bisa berlaku adil terhadap para pegiat tradisi tersebut. Jangan sampai kita justru hanya fokus pada koreografi aura farming. Tapi, setelah itu, berlaku biasa saja terhadap makna peristiwa yang lebih inti, yaitu olahraga tradisionalnya.

Tugas pemerintah

Semoga saja pesimisme tentang pengabaian budaya itu tidaklah terjadi. Semoga pemerintah dengan menteri kebudayaannya yang baru ini tidak terkena gejala “yang penting ikutan viral”. 

Mengingat ada dasar hukum tentang mengenai kewajiban pemerintah untuk memajukan kebudayaan seperti termaktub dalam UU (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Di dalamnya terdapat 10 Objek Kebudayaan yang harus dimajukan. Yaitu: tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. 

Saya belum tahu apakah aktivitas budaya tradisi Pacu Jalur ini dikategorikan sebagai permainan rakyat atau olahraga tradisional. Meski begitu, pemajuannya tetap harus menjadi tugas pemerintah.

Aset dan potensi kebudayaan ini ke depan harus menjadi perhatian pak Menteri Kebudayaan beserta jajarannya. Tidak cuma berhenti di tataran viral media sosial saja, tapi ada langkah serius dan berkelanjutan. 

Semoga saja pak Menteri Kebudayaan masih bisa membagi waktunya untuk tetap memikirkan tradisi Pacu Jalur, mengingat beliau ini tokoh bangsa yang kerjanya sangat padat. Setelah kemarin baru saja sibuk mencanangkan Hari Kebudayaan Nasional yang akan diperingati setiap 17 Oktober yang kebetulan bersamaan dengan hari lahir Bapak Presiden. 

Beliau ini juga sedang dikejar deadline merampungkan proyek untuk menulis ulang  sejarah Indonesia. Sibuk banget.

Yah, intinya, majulah olahraga tradisional Indonesia! Amin.

Penulis: Paksi Raras Alit

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Fadli Zon: Narasi Orde Baru dalam Bayang-Bayang Reformasi dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version