Ramai Orde Baru (Orba) bangkit membuat saya tergelitik untuk menulis. Yang paling lucu adalah bagaimana ia berkait dengan pilkada Jakarta. Pendukung petahana menyerang lawannya dengan menyebut mereka didukung Orba, lalu pendukung si lawan petahana membalas dengan mengatakan partai-partai dan orang kunci pendukung si petahana adalah didikan Orba. So, semua Orba jadinya.
Kalau sudah begitu, artinya tak perlu repot membangkitkan Orba. Misalnya, tak perlu ajak fans Liverpool untuk dukung kebangkitan Orba dengan alasan hanya di masa Orba klub tersebut meraih tropi kampiun liga Inggris. Sungguh percuma. Orba sudah hancur lebur, luluh lantak, jadi abu. Sial, abunya terbawa angin lalu menempel di kulit dan terserap dalam darah seluruh rakyat Indonesia. Lihat saja paragraf pertama tulisan ini.
Saya tak ingin panjang lebar membahas siapa yang paling antek Orba dan siapa yang paling anti-Orba. Saya hanya ingin menulis masing-masing dua hal tentang Orba. Apa yang dirindukan dan apa yang tak layak dikangeni. Saya mulai dari hal yang bikin deg-degan dulu ya: kangen.
1. Lepas dari Belitan Permasalahan Ekonomi di Awal Berkuasa
Orba berkuasa dengan warisan yang tidak main-main: inflasi 650%. Defisit anggaran yang mengerikan ditutup dengan mencetak uang habis-habisan. Lebih dari 60% rakyat dalam kondisi miskin dan rawan pangan. Pendapatan per kapita/tahun pada 1966 hanya US$50. Pajak yang bisa ditarik per tahun hanya Rp13 miliar, setara pendapatan harian saya saat ini #tsaaah. Utang luar negeri yang diwariskan rezim Bung Karno US$2,8 miliar. Kecil kalau dihitung sekarang, namun sangat besar saat itu.
Ekonom-ekonom Orba (tidak usah saya sebut, nanti mereka ge-er) mengubah anggaran moneter (APBN disatukan dengan anggaran kredit dan anggaran devisa) menjadi APBN berimbang dan dinamis. Tujuannya menggerus inflasi dan menertibkan APBN, yang sebelumnya tak teradministrasi dengan rapi sehingga defisit anggarannya membahayakan perekonomian.
Inflasi 650% di tahun 1966 mulai turun pada 1967 menjadi 113%, 1968 85%, 1969 9,9%. Selama Pelita I, II, III, rata-rata pertumbuhan GDP 7%/tahun. Pada Pelita II dan III, inflasi dobel digit terendah 11,79% pada 1978-1979, tertinggi 47,35 tahun 1973-1974.
Ekonom Orba mengubah defisit anggaran, yang ditutup melalui menerbitkan uang baru, dengan membuka ruang utang luar negeri dan menarik investasi. Tentu saja dengan disiplin anggaran agar tidak digunakan untuk kepentingan-kepentingan politis belaka. Para ekonom tersebut meyakinkan negara-negara maju bahwa utang $2,3 miliar warisan Orde lama tetap akan dibayar, dan minta tambahan pinjaman untuk membangun negara yang sedang berantakan.
Di hari-hari itu, pilihan tak banyak, posisi tawar juga sangat rendah. Di sini saya ucap salut. Bahkan ketika disiplin anggaran 1968 membuat BBM harus naik dan ditentang banyak jenderal, Soeharto dengan mengepulkan asap cerutu mengatakan: “Saudara Menteri, saya setuju dengan APBN yang diusulkan, termasuk kenaikan harga-harga BBM. Kepada saudara-saudara yang lain, khususnya Kopkamtib dan Bakin, perintah saya: amankan!” Lalu mereka serentak menjawab, “Siaaap!!!” Lalu hening dan bekerja. Mereka tak sempat posting di FB atau Twitter. Tahun 1968 adalah titik penting APBN dan perekonomian karena menjadi fondasi penting Pelita I yang dimulai 1969/1970.
2. Keberuntungan dan Keberanian
Tak ada yang bisa melawan keberuntungan. Kalau lagi hoki, mau kondisi tak menguntungkan seperti apa pun, tetap saja lolos dari maut. Lihat saja Barcelona yang sukses menghajar PSG 6-1 padahal di leg pertama sudah kalah 4-0. Anda tahu apa alasan keberuntungan Barcelona? Messi? Suarez? Neymar? Bukan. Simpel kok, Barcelona bukan Arsenal. Itu saja.
Keberuntungan yang sama juga menaungi Orba. Ketika Pelita I dimulai pada 1969/1970, harga minyak naik tinggi. Pendapatan negara mengalir deras. Produksi minyak Indonesia 1970-1980 selalu di atas 1,2 juta barrel per day (bpd). Bahkan pernah di atas 1,6 juta bpd. Konsumsi nasional hanya 200-400 ribu bpd. Pendapatan kotor dalam hitungan barel bisa mencapai 1 juta barel. Sumber uang yang serasa tak akan ada habisnya.
Ketika oil boom era berakhir di awal 1980, pendapatan minyak turun. Produksi juga relatif turun. Di saat itu Orba sukses membuka hutan industri untuk membuka pendapatan baru sekaligus menggerakkan perekonomian: usaha kayu lapis. Resesi 1984 sukses dihadapi.
Keberanian berikutnya adalah liberalisasi perbankan dengan keluarnya Pakto 88. Ini tidak ada hubungannya dengan Densus 88. Kalau mau tahu lebih banyak, googling saja. Pendek kata, Pakto 88 (terbit 1988) memudahkan orang untuk membuat bank dan menarik dana publik menjadi dana pihak ketiga bank. Cukup dengan Rp10 miliar, seseorang bisa membuka bank.
September 1988, jumlah bank nasional hanya 108 bank umum, terdiri dari enam bank pemerintah, 64 bank swasta, 27 BPD, 11 bank campuran. Pada 1994, jumlah bank swasta 166 unit, bank campuran 40 unit, dan BPR 9.196 unit. Meroket jumlahnya. Bank menarik dana publik, menyalurkannya menjadi kredit. Perekonomian kembali tumbuh pesat dengan industri keuangan sebagai salah satu pilar penyangganya.
Cukup dengan kangen-kangenannya. Tulisan di Mojok space-nya terbatas. Saya akan melanjutkan tulisan dengan apa yang seharusnya tidak kita rindukan.
3. Lemah Terhadap Kroni dan Keluarga
Inilah titik terlemah Orba. Soeharto menjadi satu-satunya pengambil keputusan strategis. Memang ada legislatif, yudikatif, dan juga militer, tapi sekali beliau bersabda, yang lain mengikuti. Taklid buta kepada sang jenderal besar.
Soeharto menua, anak-anaknya kian dewasa, kroni yang dipiara di birokrasi dan swasta kian rakus. Semua lepas kendali. Seperti ketua mafia yang tak lagi memberikan hukuman kejam kepada bawahannya yang bertindak keterlaluan atau membahayakan. Kepada anak cucunya pun demikian.
Dimulai dengan Pertamina yang lepas kendali dan penuh korupsi. Semasa oil boom era, Pertamina bukannya berinvestasi habis-habisan di core business mereka, yaitu minyak dan gas, tapi malah investasi tanah, bahkan membangun hotel berikut rumah sakit. Saking banyaknya lahan Pertamina, pada suatu masa, ketika kita melemparkan batu sekuat mungkin ke segala arah di Jakarta, jatuhnya akan di lahan Pertamina. Edan. Eksekutifnya juga berpesta pora dengan bebas. Lihat kondisi hari ini. Petronas yang dulu “diketawain” Pertamina sudah terbang tinggi sebagai flag carrier Malaysia.
Berikutnya kroni swasta. Pakto 88 dimanfaatkan konglomerat untuk membuat bank lalu menarik dana masyarakat dan membiayai proyek-proyek jangka panjang milik sendiri yang harganya mereka gelembungkan sendiri. Tak cukup dengan itu, swasta juga membuka utang luar negeri dengan alasan bunga lebih rendah dari dalam negeri. Otoritas yang seharusnya mengingatkan bahayanya dana jangka pendek untuk proyek jangka panjang bungkam semua. Bahkan ketika utang swasta dalam bentuk mata uang asing jumlahnya kian mengkhawatirkan, tak ada yang sungguh-sungguh ingatkan Soeharto. Mungkin takut atau tak didengar. Semuanya terakumulasi pada krisis 1998.
Kebijakan menguntungkan keluarga? Salah satu yang paling terkenal adalah kisah Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang bermaksud memonopoli perdagangan cengkeh dalam negeri. Entah ada ribuan atau jutaan petani cengkeh yang bercucuran air mata ketika menebang pohon cengkeh mereka karena harganya hancur lebur. Upaya di atas kertas menata komoditas ternyata kenyataannya menindas.
Menggunakan anggaran untuk menyubsidi swasta yang jadi kroni Orba juga dilakukan. Yang paling mencolok adalah subsidi gandum untuk industri tepung terigu yang diserahkan monopolinya kepada konglomerat #ahsudahlah. Konglomerat yang kemudian menguasai pasar tepung terigu mengambil alih pabrik-pabrik mi instan yang sebelumnya sudah berdiri dengan memainkan posisi tawarnya sebagai supplier terigu dalam negeri. Saya tak menyebut nama, ya. Kalau penasaran googling saja.
4. Nafsu Mengendalikan Stabilitas nan Lebay
Stabilitas adalah kata kunci di awal rezim Orba berdiri. Saya mencoba berdamai dengan ini. Lima sampai sepuluh tahun pertama adalah masa yang sulit, stabilitas mutlak diperlukan untuk menata ulang perekonomian hari itu.
Namun, nikmatnya kekuasaan membuat terlena. Kebebasan berekspresi, pers yang kritis dan suara-suara berbeda dibungkam. Upaya-upaya mengejar keadilan bagi masyarakat yang dirugikan birokrasi atas pembangunan infrastruktur atau kebijakan-kebijakan lainnya akan berhadapan dengan moncong senjata atau dilabeli PKI, gerombolan pengacau keamanan, hingga aliran sesat.
Legislatif yang diharapkan bisa menyuarakan kepentingan rakyat malah kerap dikutip sebagai “sumber anggota legislatif ini tak mau disebut namanya”. Jalur ABG (ABRI, Birokrat, Golkar) menguasai DPR-MPR. Pengawal setia setiap kebijakan Orba.
Media massa? Menjadi pemred era Orba sungguh melelahkan. Litsus, bahkan kerap ditanya tentara besok cetak apa. Saya pernah mendengar ilustrasi kengerian meja redaksi era Orba dari seorang petinggi media. Dia menulis betapa Soeharto tertawa terbahak-bahak atas suatu kejadian yang menggelikan. Besoknya seorang aparat memarahinya: bisa-bisanya kamu menulis Soeharto tertawa terbahak-bahak? Kamu kira Soeharto itu semacam buto? Nah, apalagi menulis hal-hal investigatif yang ngeri-ngeri sedap.
Kampus juga “dimandulkan” melalui program NKK/BKK. Diskusi-diskusi Kiri tidak diperbolehkan. Buku-buku Pramoedya, Tan Malaka tak boleh dicetak dan dijual. Saya membaca Madilog di kampus setelah merayu seorang pemilik buku untuk saya copy. Hasilnya, saya tidak mengerti isi buku ini apaan.
Ya, demikianlah yang terjadi. Akumulasi bara api kekesalan, disparitas miskin-kaya, pembangunan yang tak merata hingga El Nino yang mengakibatkan krisis beras 1997, utang swasta dan pemerintah yang tak terkendali, anggaran yang mulai tak disiplin, berujung peristiwa 1998. Ada atau tidak ada peran CIA, sama sekali saya tidak tahu. Sumpah!
Saya ikut serta berdemo sekali dua kali pada 1998. Tidak terlalu sering karena saya sibuk membagi waktu kuliah dengan syuting sinetron. Tapi, saya bukan tipe pembenci yang menyeluruh, termasuk kepada Orba. Yang baik kita sempurnakan, yang buruk tinggalkan tapi jangan dilupakan. Program dan nilai-nilai yang ada di Orba dan Orla layak digali lebih dalam filosofi berikut teknis aplikasinya di masa kini. Tak bisa di-gebyah uyah bahwa sebuah rezim jauh lebih baik dari rezim yang lain hanya berbekal favoritisme.
Saya percaya, setiap generasi berhak menorehkan tinta sejarahnya masing-masing. Jika suatu saat generasi ingin membangkitkan kembali Orba, itu sah dan haknya sebagai warga negara. Juga kepada yang berteriak kencang untuk mendirikan khilafah menurut saya tetap harus dihormati. Mau itu semua dogmatis, hanya ikut-ikutan, atau nurut buta pada senior, itu adalah pilihan. Bagi yang mengedepankan logic, bottomline, dan siap dengan perbedaan, wajib untuk tidak diam. Beradulah logika agar apa pun yang terjadi di masa depan didasari logika kuat untuk kemenangan dan kejayaan bersama. Bukan karena diplokoto politisi atau tekanan sektarian.
Oke, Orba boleh bangkit, ide khilafah harus dihormati. Kalau Sosialisme-Komunisme? Maaf space tulisan saya habis. Lain kali aja ya dibahasnya.