MOJOK.CO – Notifikasi whatsapp istri di pelupuk hape tak tampak, teman tongkrongan di seberang angkringan tampak. Ealah, Pak, Pak.
Kalau melihat bapak-bapak yang sampai tengah malam masih kumpul-kumpul ngobrol cantik dengan sesamanya di pengkolan atau di angkringan pinggir jalan, sambil udad udud gemes dan terbahak lepas, kadang batin saya sering bertanya-tanya.
Bukan mempertanyakan apa yang mereka obrolkan. Melainkan kepo akan isi whatsapp mereka.
Akankah terdapat sebaris whatsapp istri di sana?
“Pulang nggak usah lewat pintu! Itu genteng udah kubolongin satu, tinggal manjat.”
Atau kalau rasa geregetan sudah memuncaki ubun-ubun, bisa-bisa hak asasi para bapak yang paling asasi pun ikut dipapras.
“Nggak usah pulang sekalian, tidur aja sana di musala, sekalian pendalaman iman.”
Untung bapak-bapak ini menikahi perempuan yang tinggi kesabarannya meski tahu whatsapp istri nggak ada yang centang biru berjam-jam. Nggak tahu juga sih kalau di belakang layar terjadi pertempuran akbar. Tapi nyatanya selang beberapa hari kemudian, si bapak masih saja menekuni hobi keluyurannya sambil cuekin whatsapp istrinya.
Dan tentu saja saya tidak bisa menebak, apa isi whatsapp istri mereka untuk selanjutnya.
Kenapa lelaki masih suka keluyuran malam meski sudah menikah? Padahal di rumah ada anak istri yang menunggu. Jika tanpa tujuan jelas, mbok ya mending bapak-bapak yang sudah berkeluarga ini di rumah saja. Menghabiskan waktunya di rumah, bersama anak dan istri.
Kecuali jika si bapak memang keluar malam untuk urusan pekerjaan lho ya. Misalnya pekerja yang sesekali dapat shift malam atau kerja lembur. Itu ya artinya berada di luar area pembahasan ini.
Okelah, mari sejenak kita menghitung. Berapa banyak sih laki-laki yang sudah menikah itu memberikan waktu mereka untuk keluarga? Apalagi yang tinggal di Ibukota dengan keluhan utama berupa waktu yang habis di jalan.
Katakanlah keluar dari rumah jam 6 pagi, lalu sampai rumah jam 6 petang. Makan, mandi, tahu-tahu sudah pukul 9 malam, waktunya memeluk guling sambil memadamkan lampu. Itu pun kalau pulangnya tepat waktu lho ya.
Dari hitung-hitungan kasar ini, berarti waktu untuk anak istri cuma 3 jam per hari. Masa tega sih, waktu yang cuma tiga jam ini pun masih terenggut untuk agenda kongkow-kongkow?
Sewot aja sih kamu, Mbak. Kan masih ada weekend?
Lhaaa… ini masalahnya. Setelah saya perhatikan, bapak-bapak pegiat kehidupan malam ini kalau weekend waktunya ya tetap habis untuk hobi mereka.
Kalau bukan mancing, touring, golf, bongkar pasang spion, lap-lap mobil, panjat tebing, atau tidur seharian dengan alasan di hari kerja sudah sibuk banting tulang.
Dengan fakta seperti ini gimana barisan istri-istri nggak tambah menjerit coba? Kalau waktu luang yang dimiliki selalu diberikan untuk pihak ketiga yang bernama hobi, kenapa dulu nggak dikawinin sekalian aja itu hobi. Ya kan?
Kembali ke alasan mengapa bapak-bapak masih saja suka keluyuran tanpa alasan jelas? Berdasarkan hasil penyelidikan dan wawancara mendalam, saya setidaknya menemukan empat jawaban besar.
Pertama, bosan di rumah. Kedua, cari angin. Ketiga, nggak enak sama teman. Keempat, sejak muda memang senang kongkow dan sulit menghentikan kebiasaan ini.
Pertama, bosan di rumah. Seorang lelaki yang senang sekali kumpul di warung HIK sampai tengah malam, sebut saja namanya Ali, mengaku angkringan dan perkumpulan para pria ini bisa mengobati kebosanannya di rumah.
“Lha gimana. Saya nikah udah bertahun-tahun tapi belum punya anak. Di rumah juga jadi bingung mau ngobrol apa sama istri. Ya daripada saya kumpul sama cewek, mending ke angkringan to, Mbak? Karuan cowok semua.”
Ini barangkali sedikit bisa dimaklumi. Bapak ini mati gaya di rumahnya sendiri dan merasa kesepian, meskipun tidak bisa dibenarkan juga. Emangnya istri di rumah tidak kesepian juga, Pak?
Lha tapi kalau sudah punya anak serenteng kok masih doyan kumpul-kumpul malam? Celakanya, justru keberadaan anak ini yang jadi alasan utama kebosanan.
“Waah… mumet, Mbak. Anak-anak di rumah pada smackdown, berantem jerit-jeritan seperti Perang Teluk berulang. Saya di kantor udah stres, di rumah tambah stres.”
Kesimpulan: ada atau tidak ada anak, bapak-bapak tetap bisa menjadikan kebosanan sebagai sebuah alasan untuk kumpul-kumpul malam.
Alasan berikutnya. Kedua, cari angin. Jawaban cari angin adalah jawaban paling pendek dan cepat untuk dilontarkan saat dihadapkan pada pertanyaan, “Mau ke mana?”
Padahal ini adalah alasan paling konyol. Angin kok dicari. Ketika orang lain menabung agar bisa membeli kipas angin untuk mendinginkan kamar mereka, justru bapak-bapak ini keluar rumah untuk mencari angin yang sebenarnya bisa mereka ciptakan dari rumah. Bisa dibilang jawaban ini muncul karena sebenarnya ya… emang nggak ada alasan aja untuk keluar rumah.
Ketiga, nggak enak sama teman.
Oke, alasan ini masuk akal jika keluar malam cuma dilakukan sesekali. Misalnya sebulan sekali, dan itu pun karena ajakan teman dan memang waktunya sudah dijadwalkan.
Menjadi rancu ketika alasan nggak enak sama teman ini dipakai untuk keluar rutin setiap malam. Itu sih bukan nggak enak sama teman, tapi saking enaknya sama teman.
Keempat, kongkow sebagai hobi. Banyak pemuda yang kecanduan kumpul malam semasa muda sulit menghentikan kebiasaan ini setelah menikah. Kalau nggak keluar malam, maka insomnia melanda. Gelisah jiwa raga.
Dan alasan keempat ini adalah alasan paling ndableg dan sulit dihentikan meski istri jejeritan sekali pun. Butuh tekad kuat untuk bisa lepas dari hobi yang satu ini. Dan masalahnya, jarang ada suami yang punya tekad kayak begitu.
Kabar buruknya adalah, sebenarnya istri pun sangat beralasan juga memiliki keempat masalah itu. Terutama yang nomor satu. Hah! Dikira berada di rumah selama 24 jam dengan teriakan anak dan gunjingan tetangga itu tidak membosankan?
Sebenarnya kalau mau impas-impasan, para istri bisa saja kok melakukan ini. keluar rumah untuk keempat alasan tadi.
Tapi rata-rata istri punya alasan kuat untuk tidak melakukan itu. Dan alasan itu ada pada kata: tanggung jawab.
Mikir anak yang ditinggal sendirian, mikir suami yang tidak terurus kalau dia sering ke luar rumah, mikir kepatutan, dan lain sebagainya.
Setelah menikah, mau tidak mau, senang tidak senang, seorang perempuan sudah berubah statusnya. Dan perubahan status ini membawa konsekuensi berupa tambahan porsi tanggung jawab.
Yang mana, sebenarnya, suami dan istri punya porsi yang sama besar untuk bertanggung jawab terhadap perjalanan rumah tangga, juga kebahagiaan seluruh penghuninya.
Jadi, apa nih solusinya?
Ya boleh aja sih nongkrong, boleh kok, tapi ya mbok dibatasi. Dua pekan sekali cukup lah kalau alasannya karena ingin menjaga kerukunan pertemanan dengan sesama lelaki.
Selebihnya, mungkin suami ini bisa menekuni hobi baru, yakni membantu istri melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Kalau dikalkulasi, hobi baru ini selain bisa menekan pengeluaran, juga menambah keharmonisan rumah tangga.
Kalau udah begitu, suami kan jadi nggak perlu sering-sering harus cek notifikasi whatsapp istri. Ya kali whatsapp segala, kan si istri tinggal teriak aja.