Nggak Semua Alumni Timur Tengah Punya Cerita Kayak Kang Abik

MOJOK.COBanyak yang mengharapkan sekembalinya belajar dari Timur Tengah, pengalaman saya bisa dijadikan novel seperti Kang Abik. Tapi masalahnya, pengalaman saya nggak bombastis-bombastis amat.

Melihat pengumuman dari Mbah Yai Edi Mulyono tentang lomba penulisan novel, membawa kembali memori saya sebelum berangkat merantau ke bumi Nabi. Dulu, oleh beberapa kawan, saya diminta untuk menulis sebuah novel yang intinya berasal dari pengalaman ketika saya belajar di Timur Tengah nanti.

Mereka bilang, supaya saya bisa jadi kayak Kang Abik (Habiburohman el shirozy) katanya. Sang penulis novel best seller diantaranya Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Bumi Cinta, dan lainnya. Bisa jadi ladang dakwah katanya. Bisa mengajak para pemuda untuk hijrah lewat goresan-goresan pena. Sungguh perbuatan yang mulya~

Yaaa, saya sih ngiyain aja. Pasalnya, saya pribadi—sampai saat ini—tidak begitu suka sama yang disebut novel. Apaan sih novel? Buku cerita panjaaang  dan nggak ada gambarnya. Buku nikah aja yang melukiskan cerita perjuangan dua sejoli ada gambar kedua mempelai dan burung garudanya.

Eh emang situ punya buku nikah?

Yaelah gugel aja, Akhiii. Gambar buku nikah di gugel bermuncratan!

Bagi saya, pembicaraan mengenai novel ini sangat memprihatinkan. Apalagi sudah lebih dari setahun berlalu kasus Novel tidak bisa juga diselesaikan? Eeee, mohon maaf, ini maksudnya Novel Baswedan kan? Halo Pak Jokowi, bagaimana kasus Novel Baswedan? Apa kabar penegakan HAM di era Jokowi? #TahunPolitik.

Satu-satunya novel yang berhasil saya tamatkan selama ini adalah The Jactra Secret. Itupun berkisar tentang isu-isu konspirasi yang ada di Jakarta. Selebihnya, karya-karya Kang Abiek semisal AAC, KCB, BPN, atau TKN tidak pernah habis saya baca.

Okelah, anggap saya memang punya minat terhadap yang namanya novel. Tapi sepertinya, tetap saja menulis sebuah novel merupakan hal yang sulit bagi saya pribadi. Ada beberapa faktor yang kurang mendukung jika saya harus menuliskan sebuah novel. Terlebih jika novel tersebut didasari pengalaman saya merantau di negara petrodollar ini. Berikut faktor-faktor yang tidak mendukung saya menulis novel. Hati-hati nomor 212 bakal buat kamu dag dig dug der! Daia!!!

Pertama: Tidak adanya sosok pemanis dalam cerita (w a n i t a)

Sebagaimana sudah saya tulis sebelumnya. Bahwa kampus kami tidak menerima mahasiswi. Satu-satunya sosok betina adalah kucing-kucing yang bertebaran di kawasan kampus. Ada sih kampus lain di Mekkah atau Riyadh, mereka menerima mahasiswi untuk belajar di kampus mereka. Namun mereka membawa persyaratan adanya mahrom. Jadi kebanyakan mahasiswi di negeri ini mereka sudah punya mahrom yang adalah…

…suami mereka sendiri. Eh, bentar, tapi kok, kenapa TKW-TKW bisa ke sana tanpa mahrom?

Eh, situ orang liberal ya? Kok berani-beraninya kritik Saudi?

Sebetulnya ada peluang untuk mendapat jodoh dalam jalur lain. Saya mendengar beberapa kisah di sini, sebagian mahasiswa mendapat jodoh ketika mereka sedang nyambi menjadi guide atau pembimbing umroh dan haji. Tapi setelah direnungi, kok saya malah melihat hal itu lebih cocok untuk jadi cerita FTV ketimbang novel, ya?

Misalnya dikasih judul, Dari Guide Umroh Jadi Jodoh atau GGS: Guide Ganteng Syar’i atau Pembimbing Umrohku Pembimbing Hidupku. Eh, ada saran judul yang lain?

Kedua: Tidak adanya pemandangan alam yang memorable

Ada satu dialog di Ayat-Ayat Cinta yang sampai sekarang masih saya ingat betul kisahnya. Saat itu Fahri dan Maria sedang berduaan di tepi sungai Nil,

Fahri: “Sebelum aku ke sini, sebenarnya ada 2 hal yang bikin aku kagum sama Mesir. Yaitu Al Azhar dan Sungai Nil, karena tanpa sungai Nil, tidak ada Mesir, dan tidak ada AL Azhar.”

Maria: “Aku juga suka sungai Nil. Kalau tidak ada sungai Nil, pasti tidak ada Mesir, tidak ada peradaban, yang ada hanya gurun pasir. Kamu percaya pada jodoh, Fahri?”

Nah, luar biasa kan? Dari topik sungai nil bergeser menjadi topik jodoh. Sayangnya, di bumi Madinah tidak ada sungai Nil. Yang disebut ‘sungai’ di sini hanya ada dan muncul ketika hujan turun. Selama hujan tidak turun apalagi di musim panas, maka daerah yang dianggap ‘sungai’ ini hanya seperti jalur pasir biasa yang di dalamnya terdapat bebatuan.

Secara umum kondisi Madinah adalah bebatuan serta pasir diselimuti nuansa kering, panas, dan tidak ada pemandangan alam yang ‘memanjakan mata’. Tapi belakangan ini, bumi Madinah menghijau. Namun ketika suasana menjadi menghijau, bukannya memunculkan nuansa romantis justru menimbulkan nuansa tanda-tanda kiamat sebagaimana yang netizen gegerkan.

Mungkin di Madinah hanya Masjid Nabawi yang sangat memorable secara sejarah dan pemandangannya. Tapi, masak ya kita berduaan sebagaimana Fahri dan Maria di sana? Bukannya dapat kisah romantis, yang ada malah keburu diciduk polisi syariah di sini.

Ketiga: Kurangnya drama konflik.

Fahri di AAC, Azzam di KCB, Ayyas di Bumi Cinta, tokoh-tokoh tersebut menghadapi konflik yang kompleks karena interaksi mereka dengan lingkungan sekitar. Sedangkan saya yang sudah beberapa tahun tinggal di sini, tidak punya pengalaman konflik yang seru dan dramatis.

Kami yang mahasiswa, akan tinggal di asrama. Kecuali yang membawa keluarganya tinggal di sini, biasanya mereka akan mengontrak dengan tinggal di luar lingkungan asrama. Selama di asrama, tentu saja kami hanya berinteraksi sesama mahasiswa yang berasal dari berbagai negara.

Drama di asrama kami hanya berkisar pada tataran yang betul-betul remeh. Saya misalnya, setiap hari mungkin hanya mendapati konflik batin mengenai keputusan: apakah hari ini mandi atau tidak? Terlebih pada saat musim dingin.

Konflik lain yang lebih serius, mungkin hanya mentok pada masalah sebagian penghuni asrama yang ‘kelupaan’ memencet tombol flush WC selepas BAB. Entah karena di negara mereka tidak mengenal teknologi bernama tombol flush atau mereka mempunyai mahzab, ‘Lu yang mau pakek, ya elu yang urus.’ Konflik-konflik yang terjadi, palingan cuma sebatas itu. Kalau saya ceritain, tentu nggak menarik-menarik amat.

Nah, kalau sudah begini, tampaknya memang sulit buat saya menulis novel yang sarat akan pesan moral serta hikmah. Jadi, daripada waktu terbuang percuma memikirkan untuk membangun konflik yang ada. Akan lebih baik waktunya dipakai untuk memikirkan membangun rumah tangga bersama kamu yang di sana~

Exit mobile version