MOJOK.CO – Ketika John Kei kembali lagi ke dunia hitam, hujatan netizen datang berlipat-lipat. Lagian, netizen juga beraninya cuma lewat medsos doang soalnya.
Penyerangan kelompok John Kei terhadap kelompok Nus Kei menyadarkan kita bahwa aksi premanisme masih bisa dilakukan terang-terangan di negeri ini. Hal yang juga bikin kita tak perlu kaget saat kejadian tersebut diberitakan besar-besaran di media nasional.
Nggak perlu nanya juga; kenapa lagi pandemi gini kok sempat-sempatnya berkelahi? Jangan-jangan karena sudah mulai new normal? Soalnya konon tawurnya pakai masker juga.
Kejadian yang ternyata dilatarbelakangi masalah bagi-bagi cuan hasil penjualan tanah tersebut memakan satu korban meninggal dan beberapa luka-luka. Peliknya, kedua kelompok ini bahkan memiliki ikatan persaudaraan.
Yah, kalau sudah masalah uang, hubungan saudara bisa berujung pertumpahan darah. Kalau kamu penonton setia Sinetron Indosiar, keributan macam begini udah jadi kisah biasa aja sih sebenarnya. Beda sama penonton Netflix. Can’t relate.
Padahal John Kei, preman tersohor di ibukota setelah era Hercules ini sejatinya baru menjalani masa pembebasan bersyarat. Namun barangkali akibat efek pandemi yang bikin keadaan ekonomi jadi susah (dunia preman pun ternyata mengalaminya) John Kei dan kelompoknya harus turun gunung nagih jatah pakai kekerasan.
Bila terbukti merencanakan pembunuhan, John Kei bukan tak mungkin dapat dijerat dengan vonis maksimal hukuman mati.
Linimasa Twitter diwarnai hujatan dan sindiran kepada “Godfather of Jakarta” ini. Bukan karena kejamnya, tapi karena di Youtube berseliweran video “hijrah”-nya John Kei.
Ya, seperti yang ada di program KickAndy Show. Ketika Andy F. Noya mendatangi sosok John Kei yang—kelihatannya—udah tobat, dari preman menjadi pendeta. Melihat penyesalannya yang kelihatan beneran itu, banyak dari kita lumayan percaya.
Masalahnya, ketika orang udah bilang tobat terus kembali lagi ke dunia hitam, hujatan netizen bisa datang jadi berlipat-lipat. Lagian toh, netizen juga beraninya cuma lewat medsos doang. Di dunia nyata? Haaa mana berani termasuk saya sendiri.
Premanisme emang udah semacam jadi padanan bagi dunia hitam. Dunia penuh kekerasan, kekejaman, serta dunia yang menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Padahal pada mulanya, kata preman sendiri sebenarnya memiliki arti lumayan positif.
Seperti yang tertera di buku Para Jagoan: dari Ken Arok sampai Kisni Kasdut (terbitan 2012) karya Petrik Matanasi, preman berasal dari kata “vrije man”, bahasa Belanda, yang berarti orang bebas.
Maksud orang bebas adalah tidak bekerja maupun tunduk sebagai militer maupun pegawai sipil pemerintah.
Para preman masa lampau ini dikisahkan membela para pekerja yang disiksa oleh majikan atau tuan tanahnya. Mereka dianggap pahlawan oleh masyarakat bawah. Namun, lambat laun para preman ini justru dipekerjakan oleh tuan-tuan tanah sebagai TPK (Tukang Pukul Keliling).
Lebih parah lagi pada era Orde Baru preman selalu diasosiasikan sebagai pelaku kejahatan, bahkan sebelum betulan melakukan tindak kejahatan. Plus asosiasi rambut gondrong dan tubuh bertato.
Masalahnya, kekerasan, kekejaman, dan menghalalkan semua cara sebenarnya bukan privilese para preman jalanan saja. Ada juga perilaku similar meski tak pernah disebut sebagai tindakan preman. Tindakan yang acap kita jumpai pula sebelum kasus John Kei ini mengemuka.
Lihat saja kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Publik disuguhi dagelan yang menyebutkan peristiwa tersebut sebagai ketidaksengajaan. Hayo sekarang, mana ada yang berani melakukan tindakan brutal itu selain preman kelas atas? Nyiram pada pagi buta di hadapan banyak orang dan di hadapan CCTV lho.
Belum lagi baru-baru ini berita mengenai tiga petani Dayak yang berusaha mempertahankan tanah desa mereka dari para cukong yang ingin mengubah lahan itu menjadi perkebunan sawit. Satu dari antara tiga petani tersebut meninggal, sedang dua lainnya dipenjara. Siapa yang berani melakukan kekejaman tersebut kalau bukan preman tingkat wahid?
Hal serupa di daerah kita saja juga ada kok. Kayak kemarin teman saya baru selesai mendirikan rumah. Eh, tak lama berselang datang sekelompok orang yang meminta jatah uang untuk memperlancar perizinan.
Mereka menyebutnya “uang jalan” atau “uang keamanan”. Bahkan, pungutan liar macam ini juga tak pernah ditindak aparat setempat meski laporan sudah dilayangkan. Coba, siapa yang berani melakukan pungutan ini kalau tidak direstui preman di balik meja?
Dibandingkan preman macam John Kei, preman model begini tidak perlu ilmu silat atau ilmu kebal kayak para jagoan zaman dahulu. Pun mereka tidak butuh senjata pamungkas mematikan.
Preman tingkat wahid cukup punya seperangkat aturan dan segenggam kekuasaan untuk melancarkan aksinya. Mereka tak perlu gondrong, bertato, atau punya wajah seram penuh bekas luka. Cukup dengan kuasa dan koneksinya mereka ini justru lebih mengerikan sekaligus mematikan.
Kita, eh saya ini, sering sekali gampang menghujat perbuatan bejat preman jalanan. Marah sekaligus takut dengan perilaku mereka. Ingin agar mereka segera dijerat pasal berlapis, kalau perlu dihukum seberat-beratnya.
Karena saya percaya kredo “negara tidak boleh kalah dari preman” memang benar adanya. Sayangnya, preman yang mana dulu ini?
Karena kalau preman yang di balik meja sono, kenyataannya kita emang udah kalah. Berkali-kali malah.
BACA JUGA Pengalaman Saya Ikut Geng dan Tawuran di Masa Sekolah atau tulisan ESAI lainnya.