Negara Madura Harga Mati!

Negara Madura Harga Mati!

Negara Madura Harga Mati!

Ketika sebagian orang Madura menuntut berdirinya provinsi tersendiri yang terpisah dari Provinsi Jawa Timur, orang-orang Madura yang tinggal di berbagai kota di Arab Saudi melangkah lebih jauh: menuntut berdirinya Republik Islam Madura yang mereka singkat “RIM”. Di negara itu, jumlah mereka cukup banyak dengan bisnis yang juga lumayan berpengaruh: bisnis loak, buku nikah palsu, jasa mencium Hajar Aswad, berjualan soto, dan lain-lain.

Maka pada suatu pagi, berdatanganlah sekelompok orang Madura ke KBRI Riyadh di Jalan Ibn Shamil-Safarat untuk berdemonstrasi menuntut berdirinya negara Madura. Mereka meletakkan paspor Republik Indonesia di trotoar di luar pagar KBRI sambil berteriak dan mengacung-acungkan aneka poster yang bertuliskan bermacam tuntutan yang sungguh serius untuk dilakukan orang-orang Madura.

“RIM Harga Mati, Dik”, “Merdekakan Madura Sekarang Juga Tak Iye”, “Malaikat dan Ulama Mendukung Negara Madura”, “NU juga Mendukung”, dan sebagainya.

Polisi Arab Saudi yang berjaga di luar pagar KBRI agak kewalahan mengatasi mereka. Para polisi itu tahu, yang berdemonstrasi adalah orang-orang Madura, orang-orang yang banyak membantu Arab Saudi di musim haji dan umrah. Komandan polisi karena itu memerintahkan pasukannya untuk berhati-hati menghadapi situasi pelik semacam itu. Salah penanganan, bisa-bisa seluruh Mekkah penuh tumpukan botol minuman mineral dan plastik karena tidak ada lagi orang-orang yang mengangkut atau mengumpulkannya. Bisnis mencium Hajar Aswad atau jasa tawaf pun bisa sepi.

“Ente tahu, Bro, kalau orang Madura protes dan berdoa, malaikat saja ketar-ketir. Bisa-bisa Mekkah dan Madinah jadi sepi tanpa mereka. Makanya ente harus hati-hati. Diawasi saja. Tak usah main kekerasan ya?!”

Begitulah pesan komandan polisi Arab Saudi kepada pasukannya yang berjaga di luar pagar KBRI Riyadh. Pasukannya manggut-manggut. Mereka paham dengan instruksi komandan mereka. Orang Madura di mata mereka, bukan semata urusan memungut botol minuman mineral atau plastik dari pelataran Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah, atau doa yang dikabulkan; melainkan lebih dari itu: mereka adalah pemasok ramuan dan tongkat Madura yang terkenal itu. Dan hal itu jelas lebih penting bagi mereka, karena sampai sekarang belum ada yang mampu membuat ramuan dan tongkat ajaib, serupa yang dibuat oleh orang-orang Madura.

Kalau demonstrasi orang-orang Madura di depan KBRI Riyadh disikapi dengan keras, bisa-bisa mereka memboikot untuk tidak lagi memasok ramuan dan tongkat Madura ke Arab Saudi. Dan kalau itu terjadi, dunia bisa kiamat sebelum waktunya, dan tentu saja mereka tidak mau hal itu terjadi.

Bagi mereka, ramuan dan tongkat Madura bukan saja harga mati melainkan harga kiamat. Istri-istri mereka lebih percaya diri di tempat tidur, berkat meminum ramuan dan menggunakan tongkat Madura. Dan tentu saja, itu berarti kenikmatan tanpa tanding bagi mereka.

Ketika orang-orang Madura terus berjalan mondar-mondir di luar pagar KBRI Riyadh, para polisi itu membiarkan saja. Setelah 30 menit berlalu, orang-orang yang kebetulan lewat di Jalan Ibn Shamil mulai banyak yang memperhatikan kerumunan orang-orang Madura. Mereka menonton aksi orang-orang Madura, terutama karena ingin tahu benda yang diacung-acungkan oleh para perempuan Madura yang ikut berdemonstasi.

What is that Sir? Seorang wanita blonda bertanya kepada ketua aksi demonstrasi.

That’s sticks.”

Sticks..?

Yes, just sticks.

Do you mean something like wand in Harry Potter?

Of course, that’s good for helicopter style.”

Masalah mulai muncul setelah demonstrasi mereka berlangsung sejam. Orang-orang Madura yang kecapekan dan mulai kepanasan, makin agresif sementara dari KBRI tidak ada reaksi apa pun. Lalu, dua laki-laki Madura yang terlihat sebagai pemimpin demonstrasi mengeluarkan sesuatu dari tas ransel mereka. Tampaknya bendera, dan benar memang bendera. Dibantu dua kawannya, seorang laki-laki membentangkan satu bendera berukuran 200×300 sentimeter, seorang lagi merentangkan bendera berukuran 100×150 sentimeter.

Semula polisi Arab Saudi kurang memperhatikan detail bendera warnah merah darah itu. Mereka mengira, itu  hanya selembar kain seperti bendera yang sering digunakan para matador di Spanyol atau Portugal saat melawan banteng di lapangan. Ketika orang-orang di KBRI yang sejak awal hanya berdiri di balik pagar menonton orang-orang Madura berdemontrasi mulai berteriak-teriak memprotes, baru para polisi Arab Saudi menyadari ada yang salah dengan dua lembar kain itu.

Komandan polisi dan beberapa anak buahnya, segera mendekati dua laki-laki yang membentangkan bendera. Sambil setengah membentak, Komandan bertanya: “Hadza ma?

Seorang dari tengah-tengah massa menjawab: “Hadza ‘alamud daulati?”

Anta Indonisi. Bendera kalian Merah-Putih.”

Laa. Ana Madurisi. Dan ini bendera kami.”

“Ya, tapi mengapa Anda mengibarkan bendera komunis?

Keduanya segera saling tarik urat leher. Suasana berubah tegang. Sementara ibu-ibu Madura yang ikut aksi, mulai menggoyang-goyangkan pantatnya dengan gaya ngebor ala Inul Daratista. Suasana tambah kacau saat para polisi mulai merebut dua bendera dari tangan orang-orang Madura. Orang-orang Madura tak kalah sigap mempertahankannya. Tarik-menarik tak terelakkan. Dua bendera itu robek.

Separuh robekannya di tangan para polisi, setengahnya lagi masih digenggaman beberapa orang Madura. Seorang Madura yang menggenggam separuh robekan bendera, segera berlari menjauh. Beberapa polisi mengejar dan menangkapnya. Demonstrasi menuntut berdirinya RIM di depan KBRI Riyadh, hari itu berubah kacau. Polisi menangkap semua peserta aksi dan membawanya ke kantor mereka untuk diinterogasi.

Komandan polisi memberitahu kepada ketua aksi, demonstrasi damai sebetulnya boleh-boleh saja tapi tidak boleh mengibarkan bendera komunis. Tidak lupa, komandan polisi itu menjelaskan, dirinya hanya menjalankan tugas.

“Sekarang coba jelaskan, kenapa ente mengeluarkan bendera komunis?”

“Ente sudah lihat benderanya?”

“Ya, sudah, bendera warna merah darah dan di sudutnya ada gambar palu arit warna kuning. Tak salah lagi, itu bendera komunis. Negara ente menyebutnya bendera KIP…Eh, apa IPK?”

PKI, bahlul!

“Nah, ya, PKI.”

“O, mata ente sobek! Ente salah lihat. Itu bukan bendera PKI.”

“Hei, bahlul! Mata ana memang sobek, tapi ana lihat dengan mata ana sendiri itu bendera PKI.”

Merasa berdebat dengan komandan yang salah lihat itu tak ada gunanya, ketua aksi segera menunjukkan separuh bendera yang ada di tangannya, yang kebetulan di bagian sudutnya ada gambar seperti yang dimaksud oleh komandan itu.

“Nah sudah jelas kan: ini palu, dan ini arit. Ini komunis!”

“Wan, ane terangin ya. Yang ente sebut arit adalah clurit! Itu senjata tradisional kami. Bukan arit. Nih, seperti ini…” Ketua aksi mencabut clurit dari dalam tasnya. Komandan polisi terkejut: “Laa, laa.. masukkin lagi. Ente memang berbahaya.”

“Dan ini bukan palu, tapi tongkat, lambang produk kami yang ente-ente suka beli untuk istri-istri ente.”

“Tongkat ajaib itu…”

“Ya iyalah…Masak tongkat ente? Ente mau, ana setop pasokan tongkat ini ke negara ente?”

“Ooh… Sabar, Bro. Tenang. Kalau sudah jelas seperti ini, kita bisa bernegosiasi.”

“Negosiasi, negosiasi… Bahlul ente semua!”

Singkat cerita, semua peserta aksi kemudian dibebaskan dengan syarat: semua clurit yang dibawa harus diserahkan kepada polisi. Syarat lain yang tak kalah penting, semua tongkat Madura yang dibawa perempuan juga harus diserahkan. Dan inilah yang terjadi kemudian: begitu dua barang itu diletakkan di meja, para polisi Arab itu segera berebut mengambil tongkat Madura.

Sesudahnya, orang-orang Madura segera dipulangkan. Diangkut beberapa pick-up dua gardan, perjalanan mereka dikawal polisi. Dan di sepanjang jalan yang mereka lalui, mereka mengibarkan bendera yang mereka bawa dan hanya tinggal separuh, sambil menyanyikan lagu Internasionale versi Madura.

“Bangunlah bapak-ibu/Bangunlah sekarang juga/Kehendak mulia dalam dunia senantiasa bertambah besar/Singkirkan paham dan adat lama, jadilah pasangan yang sadar/Dunia sudah berganti rupa untuk Anda semua /Tak usah malu-malu/Tongkat Madura pasti nikmat tak iye…”

Di Jawa Timur, di salah satu ujung Jembatan Suramadu, poster besar bertuliskan “Provinsi Madura Harga Mati” masih tetap terpasang. Entah kenapa harganya mati.

Exit mobile version