Nasib Sopir Rental Jadi Nelayan karena Isu Corona

MOJOK.COSopir rental wisata di Jogja ini harus alih profesi jadi nelayan di Laut Jawa karena isu corona menutup bisnis rentalnya untuk sementara.

Karena isu virus corona, sudah hampir dua minggu saya terpaksa pulang kampung ke Situbondo. Bukan, bukan karena takut terserang virus tersebut, soalnya sebagai seorang sopir rental profesional di Jogja, saya sudah terdidik untuk terbiasa menghadapi risiko-risiko yang jauh lebih serem.

Dari risiko nabrak tiang listrik karena ngantuk sampai risiko ditabrak bus Sumber Kencono yang sopirnya juga ngantuk. Tetapi efek dari virus ini sangat lain, tidak biasa. Selain menyerang ke tubuh manusia, virus ini juga menyerang pikiran sampai bikin sakit kepala akut.

Sakit kepala bagaimana caranya cari uang ketika hampir semua tempat wisata di Jogja tutup. Sakit kepala karena hampir setiap hari ada pesan masuk untuk membatalkan pesanan mobil. Sakit kepala melihat mobil dan motor rentalan saya berjejer rapi di garasi.

Sakit kepala karena anak saya selalu merengek-rengek minta susu UHT sedangkan bank tidak lagi melayani tarik tunai kalau saldonya kosong. Sampai sakit kepala mendengar imbauan dari al-mukarrom bapak presiden untuk belajar, beribadah, dan bekerja dari rumah.

Sebagai warga negara yang baik, saya harusnya patuh dengan imbauan tersebut. Yah, minimal kalau di rumah, di kampung saya, isu corona itu tidak akan terlalu berimbas ke ekonomi. Beras masih murah, sayuran tinggal cari di sawah, lauk pauk tinggal mancing di laut.

Waktu perjalanan pulang, pikiran saya begitu. Dan ketika sampai kampung halaman, ternyata pikiran saya salah.

Setelah hampir seminggu saya di rumah ternyata sakit kepala akut juga melanda kampung saya. Ambulan dari Kantor Kecamatan sliwarsliwer kasih pengumuman lewat TOA soal corona. Warga diharuskan mencuci tangan pakai hand sanitizer yang kebanyakan tetangga-tetangga saya nggak tahu itu apa.

Beruntung di tengah kebingungan saya, seorang kawan menawarkan sebuah pekerjaan.

Hm, bener kata Om Sujiwo Tejo: “Khawatir besok kamu tak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan.”

Pukul tiga sore keesokan harinya, saya datang ke tempat kerjaan yang dijanjikan. Kawan saya tertawa melihat pakaian saya yang rapi. Saya bingung. Namun begitu saya diajak menuju pantai, saya jadi paham kenapa kawan saya ketawa. Terutama ketika kami berkumpul dengan beberapa orang yang sudah siap dengan ember bekas cat tembok.

“Ayo, ho (bung), kita majeng!”

Saya menelan ludah. Apa katanya? Majeng?

Majeng adalah istilah Madura untuk menjaring ikan. Menggunakan perahu besar yang biasa disebut selerek. Berisikan 15 sampai 25 kru berbadan kekar dengan kulit yang overcook.

Bagi saya saat itu, wajah kru-kru itu terasa jauh lebih menyeramkan dibandingkan virus corona. Lagipula, sejak kecil saya emang suka jiper sama orang pesisir. Mereka biasanya galak, suka berteriak-teriak kalau bicara. Bahkan tak jarang sering terjadi perkelahian di tengah laut karena rebutan area cari ikan. Oh, nasib, nasib.

Kami berangkat, jangkar ditarik, mesin dinyalakan. Semua orang berada di posisi masing-masing.

Juregen atau kapten dengan sigap menggerakkan pancer (kemudi), asisten kapal memegang perseneleng dan kopling mesin. Kawan saya tadi memegang tampar naik turunnya baling-baling sedangkan saya hanya duduk menonton.

Lah ya mau ngapain lagi? Kalau kamu mikir kerjaan kayak gini seseru di tayangan Mancing Mania, saya berani taruhan, kamu bakal keliru. Pekerjaan ini gila sekali ngerinya.

Untungnya, tugas saya saat itu nggak cukup berat. Pertama, cukup diam tidak mengganggu kru yang lebih pengalaman. Kedua, membantu narik jaring kalau dibutuhkan. Udah gitu doang.

Begitu kapal melaju, saya mulai merasa aneh. Beberapa saat tadi, laut kelihatan tenang, ternyata begitu ke tengah laut, gelombang berubah jadi ganas.

Sebagai sopir rental, saya pernah nyopir dari Banyuwangi-Jakarta PP hanya 28 jam dengan ugal-ugalan sampai mobilnya terpental-pental dan saya tidak muntah. Sedangkan ini, baru 30 menit isi perut sudah keluar semua. Indomie, telur goreng, dan sedikit sawi yang saya makan siang hari ambyar ke mana-mana.

Anehnya tidak ada satu pun dari kru kapal yang peduli. Hanya kawan saya yang tertawa melihat saya muntah-muntah. Hampir dua jam perjalanan kapal tersebut. Perut sudah kosong, mulut mulai bergetar, kepala dipenuhi bintang-bintang. Merasa nggak enak badan karena mulai mabuk laut, saya tiduran di belakang.

Begitu sudah sampai di area penangkapan ikan, perahu diikat ke rumpon, lampu dinyalakan menggunakan mesin dompleng sampai terang sekali. Kata kawan saya, lampu itu penting agar ikan-ikan pada berkumpul dulu. Yak, persis kayak laron, ikan juga suka berkumpul kalau ada cahaya.

Sambil menunggu kru kapal yang lain memancing kerumunan ikan pakai cahaya, saya lanjutkan tidur. Buset, jadi nelayan magang begini kerjaan saya malah tidur melulu.

Lah, mau ngapain lagi? Lagian instruksi buat saya kan jelas: jangan ganggu kru yang lain. Ya udah, saya tidur aja.

Kira-kira tengah malam saya dibangunkan untuk melempar jaring. Sebuah pelampung kecil berisi genset dan lampu diturunkan. Lalu kapal berputar mengelilingi pelampung sambil menurunkan jaring dengan cepat. Samar-samar terdengar suara kapten mengaba-ngaba semua kru di posisinya.

Oh, Tuhan, akhirnya saya berguna.

Meski begitu, saya kelabakan berlari ke arah kerumunan orang yang menarik jaring. Duh, ternyata berat sekali itu jaring. Baru lima kali narik, tangan saya merah dan panas. Ini jaring atau benang sirotol mustaqim kok perih amat ditarik?

Apalagi jaring yang saya tarik itu panjangnya nggak ketulungan, mungkin 800 meter lebih. Walau narik jaring dibantu mesin, tapi tetap saja masih butuh ratusan kali tarikan agar jaring terangkat semua. Dalam keadaan begini, semua kru berteriak menjaga mental agar tidak kendor.

Karena tangan saya mulai perih, saya melemahkan tarikan sebentar—benar-benar sebentar—tiba-tiba semua orang terdengar marah-marah. Saling memaki. Mereka mencari tahu, siapa kru yang mengendorkan tarikannya. Waduh, seketika saya gemetaran. Takut ketahuan, saya makin kuat-kuatin lagi narik jaring itu.

Hampir 30 menit berlalu, orang-orang mulai berdempetan. Di samping saya seorang kakek sekitar umur 70 tahun bertelanjang dada terlihat perkasa menarik jaring. Melihat kakek-kakek itu, saya langsung jiper. Saya yang belum 40 tahun aja udah loyo begini. Hadeh.

Dalam situasi kayak gitu, tentu saja tangan kami bersentuhan satu sama. Saya tiba-tiba jadi takut soal penularan corona. Tapi mengingat mereka lagi narik jaring begitu, saya jelas tak mungkin minta semua kru untuk social distancing, jaga jarak, dan jangan saling bersentuhan dengan alasan takut tertular corona. Mengingatkan mereka dalam situasi kayak gini sama aja cari mati.

Seumur-umur jadi seorang sopir rental, jujur saya tidak pernah bekerja secapek ini. Badan saya mulai basah dan bau amis. Benar-benar kerjaan yang dahsyat. Saya jadi tahu betul bagaimana beratnya nelayan nangkep ikan.

Tidak lama semua jaring naik membawa ratusan kilo ikan yang masih melompat-lompat. Semua orang tersenyum, hari ini tangkapan kami lumayan banyak. Semua orang langsung mengerubungi hasil tangkapan kecuali kakek tadi dan saya. Kami duduk di buritan.

Si kakek menawarkan lonyang (sejenis makanan bulat yang terbuat dari singkong yang di dalamnya berisi gula jawa) tanpa banyak bicara. Karena saya lapar, saya makan aja.

Usai memberi saya lonyang, kakek itu lalu beranjak ke pinggir perahu lalu jongkok. Saya pikir dia mau ngapain, ternyata kakek ini boker gitu aja. Benar-benar boker tanpa dosa. Duh, hidup di laut itu berat, tapi ya nggak gini juga lah. Diajak ngobrol kok disambi boker.

Jarak kami hanya sekitar satu meter dan dengan tenang kakek ini melanjutkan obrolan dengan saya. Padahal lonyang pemberiannya masih saya kunyah, mana warnanya kuning lagi. Apa yang kakek itu lakukan menjawab semua pertanyaan saya tentang bagaimana cara nelayan boker di tengah laut?

Di saat itulah saya kepengin nangis. Oh, Tuhan saya benar-benar rindu pekerjaan sopir rental di Jogja.

Selama ini, saya merasa teman-teman sopir rental di Jogja itu udah yang paling kompak. Ternyata saya salah besar. Kekompakan itu runtuh begitu aja di hadapan kakek kru nelayan ini.

Lah gimana? Di saat teman-teman sesama sopir rental di Jogja cuma paham isi selangkangan masing-masing, di sini, setiap orang bisa tahu bentuk tokai masing-masing kru nelayan. Tanpa saling peduli lagi.

Ini belum dengan efek samping melaut yang luar biasa merusak tubuh. Keesokan harinya, seluruh badan saya ngilu terutama di bagian rusuk. Hidung saya meler, karena basah-basahan semalaman. Badan saya meriang demam karena itu.

Tiba-tiba ponakan saya teriak-teriak meledek, “Om kena corona, Om kena corona.”

Kena corona matamu sempal! Pengin rasanya ngegampar ponakan saya yang ngomong sembarangan gitu, tapi apa daya dia bukan anak saya.

Akan tetapi, kalau ingat bau amis dan badan ambyar ini semua hanya demi susu UHT anak saya, tiba-tiba mental saya naik lagi. Oke, besok majeng lagi lah!

Sambil dalam hati saya bersumpah untuk nggak bakal menawar lagi ikan laut yang saya beli kalau udah balik jadi sopir rental.

BACA JUGA Sebagai Milenial, Punya Mobil Toyota Agya Sudah Cukup untuk Sombong atau tulisan RUSLI HARIYANTO lainnya.

Exit mobile version