Di negeri yang tiap tahun selalu mengiba jumlah kuota haji kepada pemerintah penjaga kakbah, salah satu profesi yang paling genting posisinya adalah seniman patung. Mereka berjuang bukan saja dengan bahan seni yang sangat mahal, tapi juga bentuk masyarakat antiberhala.
Seniman Jurusan Kriya dan Lukis di Fakultas Seni Rupa sih ena. Lebih ena lagi Desain Komunikasi Visual. Bahan kanvas mungkin kelas satu yang diimpor dari Jerman atau Amrik, tapi tidak semahal bahan perunggu dari seniman yang memilih patung sebagai bahan untuk luapan jiwa seni yang paripurna.
Oleh karena itu, tanpa proyek negara atau pengusaha yang uangnya tanpa nomor seri, mustahil ada masa depan lebih baik untuk generasi seniman patung.
Bercerminlah ke kampus ISI Yogyakarta. Sejarah berdirinya ISI di tahun 50-an adalah sejarah ketika patung masih menjadi primadona. Pelukis macam Affandi atau Hendra Gunawan juga sekaligus pematung. Sanggar-sanggar semacam SIM, Pelukis Rakjat, dan Sanggar Bambu, di mana komune seniman bergeliat, salah satunya ditopang proyek patung publik dari negara yang mengalir ke dalam kerja para seniman.
Patron utama patung-patung penting Indonesia adalah Sukarno, yang kemudian hobinya terwariskan dengan baik dalam dada para jenderal setelah mereka ramai-ramai mengeroyok sang patron. Hanya Sukarno dan para jenderal yang bisa menjadi pelindung atas keberlangsungan produksi patung-patung ruang publik yang besar, tinggi, abadi.
Karena ketiadaan patron itulah kita melihat Nyoman Nuarta melewati kepahitan demi kepahitan atas patung raksasa Garuda Wisnu Kencana di Jimbaran, Bali. Sudah enam presiden berlalu, sudah enam kali suksesi ketakpastian “patung relijiyes” itu—yang jika berdiri melebihi tinggi patung Liberty Amerika.
Patung Garuda Wisnu itu kini mirip korban kriminal: bagian-bagian tubuhnya termutilasi dan teronggok begitu saja. Bahkan, sudah dua kali Nuarta mengganti bahan yang menguras dana miliaran rupiah dari tabungannya.
Nyoman Nuarta adalah maestro patung Indonesia yang ingin sekali patung masterpiece-nya berdiri sebelum ia tutup mata selamanya sambil merapal doa: kembalikan Sukarno dan orang kuat yang punya visi bahwa bangun patung sama pentingnya dengan bikin jalan tol dan rumah peribadatan.
Orang seperti Nuarta tahu betapa pedihnya melihat patung perunggu tiga penari yang ia bikin dirubuhkan Laskar Ibrahim antiberhala di Bekasi pada 2009. Lebih pedih lagi ketika tak ada suara dari negara untuk menjadi pelindungnya.
Ah, Nuarta tahu betul, militer adalah pelindung patung paling baik sehingga patung raksasa karyanya di Surabaya, “Jalesveva Jayamahe”, kokoh berdiri tanpa gangguan. Atau, patung “Panglima Besar Sudirman” yang berdiri megah menjolok langit di Gunung Brengos, Pacitan, Jawa Timur.
Mana berani laskar-laskar partikelir itu berhadapan muka dengan tentara. Tentara tetap menjadi beking patung paling bisa diandalkan.
Tahulah kita semua, perjuangan bersekolah seni dengan mengambil Jurusan Patung adalah pilihan jihad yang sesungguh-sungguhnya. Satu level di atas anak muda pemberani yang memilih Jurusan Nuklir.
Berita-berita pembakaran, perubuhan, dan pengafanan patung di Tuban, Bekasi, Purwakarta, Bali, Yogya, Sidoarjo, dan Jakarta adalah gelanggang jihad; alih-alih sebagai medan kreativitas sebagaimana dilakukan seniman Christo yang berjuang selama 20-an tahun sebelum sukses mengafani gedung parlemen di Jerman pada tahun 1995. Proyek bernama “Wrapped Reichstag” itu mirip dengan prosesi pengafanan objek di Tuban pekan-pekan ini. Namun, yang dikafani di Tuban adalah patung yang sudah relijiyes sejak dari niat awal pembuatannya. Masih mending dikafani, Sob … itu masih soft. Stupa-stupa Borobudur bergelimpangan pada 1985, dibom pala-nya.
Itu pertanda siaga bahwa tak ada masa depan lebih baik dari dunia pematungan.
Tapi, sungguh, itu semua hanya jihad kecil. Jihad besar bagi seniman patung adalah meyakinkan masyarakat yang berketuhanan ini bahwa mereka bukanlah cucu Namrud; bahwa Jurusan Patung ISI Yogyakarta itu bukan candradimuka jelmaan kerja manusia abad jahiliah sebelum kenal sex toys; bahwa mereka ikut tes masuk kampus negeri bukan untuk mempersiapkan diri menjadi produsen berhala-berhala masa kini, yang vis a vis menantang Laskar Ibrahim didikan madrasah haji yang berebut kuota yang na’udzubillah ketatnya itu.
Demi kodok yang dimakan buaya, tugas demikian mustahil dilakukan mahasiswa-mahasiswa patung yang ngomong pakai bahasa Indonesia di kelas saja masih terengah-engah karena kebanyakan bikin model patung dari tanah liat. Tangan dan olahrasa mereka tercurah semua dalam studio hingga lupa zaman kiwari menuntut keterampilan menulis proposal proyek yang bagus dan terukur, serta teknik retorika di hadapan publik yang lapar mengeroyok karya mereka.
Nah, besarnya kegawatan itu—selain harga bahan yang luar biasa mahal untuk bikin tugas—membuat Jurusan Patung ISI bersaing kehidupannya dengan Jurusan Karawitan yang sudah duluan masuk dalam kategori “Cagar Budaya”. Ada atau tak ada mahasiswa yang mendaftar, jurusan yang mendapat cap “Cagar Budaya” tetap dijaga dan dilestarikan.
Jika pun masih ada mahasiswa yang mendaftar di jurusan itu, dan insya Allah langsung diterima, mereka mungkin belum tahu kegawatan-kegawatan internal macam apa yang menanti di sana; selain berkelahi dengan kesunyian. Karena jika sudah tahu soal persisnya, dua langkah yang diambil: putus asa karena kiriman uang ortu tak memungkinkan untuk bikin tugas dan sepi karena tak punya teman, lalu pilih drop out. Atau, pindah ke jurusan yang rame.
Jika pun berhasil lulus kuliah, belum tentu berkarya dengan seni patung yang adiluhung itu: patung besar, gagah, abadi, dengan bahan-bahan yang bisa bertahan hingga empat abad sebagaimana yang pernah dicontohkan maestro-maestro yang hanya bisa mereka lihat karya-karyanya tapi mustahil diikuti. Yang bisa mereka lakukan adalah bersekolah lagi ke jenjang berikutnya untuk menjadi dosen. Atau, menjadi penulis; sebagaimana beberapa alumnus Nuklir yang bertiwikrama jadi penulis-penulis bertema agama dan kultura.
Atau, jika masih punya skill, bikin boneka-boneka imut untuk ikut FKY atau Pasar Seni ITB. Boneka, bagaimanapun, masih anak kandung Jurusan Seni Patung karena ada mata kuliah boneka 1 dan boneka 2.
Bila tiga generasi Jurusan Patung hanya bisa menghasilkan boneka, tak menutup kemungkinan Jurusan Patung bermetamorfosis menjadi Jurusan Boneka yang langsung berarsiran dengan Kriya. Ini pun jauh dari rasa aman. Karena bagi laskar yang daya penciumannya pekat lantaran tiap tahun ikut pelatihan lempar jumrah, seboneka-bonekanya boneka tetap dianggap sebagai patung yang menyamar.