Nalar Ngawur Kita dalam Menggunakan Antibiotik Bikin Daya Tahan Tubuh Jadi Letoy

MOJOK.CO – Masalah penemuan antibiotik jenis baru, kita kalah langkah jauh dari para kemunculan bakteri baru. Kalau kita pakainya ngawur, apa kabar dengan daya tahan tubuh?

Kira-kira, apa yang dipahami oleh masyarakat tentang 50 ribu dapat apa antibiotik? Jika berdasarkan riset kecil-kecilan saya pada tahun 2007 di pedalaman Kulonprogo dan di kampung-kampung mblusuk di daerah Demangan, Baciro, hingga Wirobrajan, ternyata masih cukup banyak yang menyamakan antibiotik dengan obat-obat sakit standar yang tersedia di warung.

Kebetulan, penelitian saya ini tentang pengobatan mandiri yang dilakukan oleh ibu-ibu—yang kini dalam terminologi emak-emak telah menjadi komoditas politik yang dahsyat. Mereka, ketika ditanya, apa jenis obat yang diminum jika sedang merasa sakit—apapun, maka tidak sedikit yang menjawab, meminum antibiotik.

Sebetulnya, antibiotik sendiri merupakan salah satu penemuan paling dahsyat yang dapat menyelamatkan umat manusia. Bertolak belakang dengan menemukan kesalahan omongan dan perbuatan dari Jokowi, Ma’ruf Amin, Prabowo dan Sandiaga Uno—sama sekali tidak menyelamatkan apapun kecuali hanya mengawetkan kebencian.

Data di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pada tahun 1900, tiga penyakit yang—paling—menyebabkan kematian adalah pneumonia, TBC, serta diare dan enteritis. Bersama difteri, yang sempat heboh di Indonesia beberapa waktu yang lalu, penyakit-penyakit tadi menjadi penyebab sepertiga kematian, yang disebabkan oleh infeksi bakteri.

Sedankan pada tahun 1997 yang merupakan akhir kekuasaan Soeharto di Indonesia secara de jure, data menyebut bahwa kematian terbesar telah pindah ke penyakit jantung dan kanker dengan proporsi di atas 50 persen. Infeksi pneumonia, influenza, dan HIV hanya ada di kisaran 4 persen saja. Ohya, pada tahun 2016, peringkat penyebab kematian masih dipegang penyakit jantung dan kanker, lalu kemudian muncul diabetes mellitus pada peringkat ke-7 dan bunuh diri pada peringkat ke-10.

Beda zaman memang beda cara untuk mati.

Data di atas menunjukkan bahwa munculnya antibiotik telah mengubah hidup manusia. Dulu, ketularan TBC dari orang serumah sudah bisa jadi cara untuk mati lebih cepat. Kini, dengan pertolongan antibiotik menjadi tidak lagi. Pada era pra-antibiotik, sekadar luka saja juga bisa mengantarkan penderita pada kematian. Kini? Tidak semudah itu, Ferguso.

Saking pentingnya bagi keselamatan hidup kita, dunia kesehatan menyambut “Pekan Peduli Antibiotik Dunia” alias “World Antibiotics Awareness Week” setiap tanggal 12-18 November. Apakah ini artinya antibiotik berjualan sampai malam hingga ketiduran dan dagangannya nggak laku sampai kita harus bikin agenda khusus untuk memedulikannya?

Jelas nggak. Jasa-jasanya dalam menyelamatkan hidup manusialah yang harus jadi perhatian. Pasalnya, boleh jadi ngawurnya manusia dalam menggunakan antibiotik, dapat membuat penemuan dahsyat itu akan loyo dan tidak berdaya menghadapi bakteri penyebab infeksi pada suatu saat nanti.

Parahnya, usia antibiotik—dalam wujud yang memang sudah diberi nama antibiotik sendiri—bahkan belum 100 tahun. Hal ini dikarenakan, titik yang diakui sebagai penemuan antibiotik adalah pada tahun 1928 oleh Alexander Fleming. Meskipun sebelumnya telah banyak riset sejenis yang sebenarnya sudah mengarah ke situ. Serta banyak penemuan kandungan-kandungan antibiotik pada fosil yang ditemukan di Afrika sebagai tanda bahwa sebelum diberi nama, zat semacam itu sudah digunakan.

Berantakannya penggunaan antibiotik pada akhirnya menyebabkan peristiwa mengerikan yang bernama resistensi alias kondisi ketika bakteri yang menginfeksi tubuh manusia tidak dapat dimusnahkan. Mirip benar sama kebencian satu sama lain pasca Pilpres 2014. Jika ini terjadi, maka dalam waktu kurang dari 100 tahun, dunia akan memasuki masa ketika luka luar biasa dapat menuntun kita pada kematian—ketika luka hati sebelumnya sudah membawa diri pada kematian rasa.

Gambaran mengenai cara kerjanya ini, sebenarnya mirip nge-game tembak-tembakan lawas ketika kita ketemu bos musuh. Untuk membunuh bos itu, tidak bisa sekali tembak, harus berkali-kali dan konstan. Ini sama halnya dengan minum amoxicillin 3 kali sehari setiap 8 jam. Oleh dokter maupun apoteker, amoxicillin sebanyak 15 tablet yang diberikan tersebut, telah diset berdasarkan literatur dan pengalaman untuk membunuh bakteri yang menginfeksi tubuh. Nah, ada beberapa masalah tentang hal ini,

Pertama, kadang-kadang ketika kita sedang merasa demam, kita juga minum antibiotik. Padahal, demam itu bukan karena infeksi bakteri, tapi virus. Jadilah 15 peluru itu menembak ke tempat kosong, ke musuh yang tiada. Ketika kemudian bakteri beneran masuk, dia mendapati peluru-peluru tadi dan belajar menghadapinya, sehingga lain kali ketika kena peluru itu, dia nggak jadi mati.

Kedua, dokter ataupun apoteker sudah menyiapkan 15 peluru yang harus habis. Pasalnya, kalau obatnya itu antibiotik, maka pasien selalu diberi pesan untuk menghabiskannya. Sayangnya, yang dikonsumsi oleh si pasien hanya 6 peluru, sebab dia merasa sudah sembuh. Padahal, ibarat nge-game ketemu bos itu tadi, si bosnya belum mati, lagi perih-perih ngilu aja. Begitu tidak diberondong oleh peluru, ya dia memperkuat diri dong. Jadi, besok lagi ketika diserang dengan peluru yang sama, dia sudah paham cara menghadapinya.

Sebagaimana dilansir dariTirto.id bahwa The Review on Antimicrobial Resistance pada Juli 2014 alias di era Pak SBY, menyebut bahwa kasus infeksi resistan terhadap antimikroba meningkat dengan 50 ribu nyawa melayang di Eropa dan Amerika Serikat setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan, resistansi obat pada infeksi bakteri, malaria, HIV/AIDS, dan TBC.

Diprediksi pada tahun 2050, jumlahnya naik jadi 10 juta orang dengan 4 jutanya di Afrika dan Asia, jadi bisa dibayangkan ya betapa masifnya jumlah korban kelak.

Nah, apakah kamu selama ini suka beli-beli antibiotik sendiri di apotek? Atau bikin resep palsu untuk bisa nebus antibiotik buat diberikan pada ayam? Selamat, situ bersiap masuk ke era sebelum tahun 1928. Ayam yang dikasih minum amoxicillin itu berarti membawa peluru-peluru letoy ke dalam tubuh orang yang mengonsumsi dagingnya. Walhasil bakteri jadi lebih mudah mempelajarinya.

Lantas, masalah paling utamanya adalah ketika bakteri berubah sedemikian cepat, maka manusia sedemikian sulit menemukan antibiotik jenis baru karena urusan ini tidak secepat Android yang dalam setahun bisa keluar dua kali. Masalah antibiotik, kita kalah langkah jauh benar dari para bakteri itu, sebab produksi antibiotik saat ini nggak sekenjang era 1970-an.

Sebagai gambaran, pada periode 1969-1974 setidaknya 11 antibiotik rilis ke pasar, antara lain clindamycin, cefalexin, cefazolin, hingga fosfomycin. Periode selanjutnya hingga 1979 jumlahnya juga serupa, antara lain amikacin, cefadroxil, hingga cefuroxime. Untuk periode sampai 1984 ada rilis cefotaxime, cefotiam, ceftriaxone, hingga ceftazidime.

Lima tahun selanjutnya ada ofloxacin, cefixime, hingga ciprofloxacin dan azithromycin. Periode awal 1990-an rilislah cefpirome, levofloxacin, hingga cefepime. Bayangkan, selama kepemimpinan Soeharto di Indonesia, bule-bule di luar sana berhasil menciptakan begitu banyak antibiotik dan sesudah Orde Baru kandas, hasil riset soal antibiotik juga melambat!

Jadi begitulah, mungkin saya termasuk salah satu yang merindukan orde baru. Kalau saya pribadi sih merindukan Orde Baru karena 2 hal. Pertama, karena pada periode itu, meskipun para scientist tidak peduli siapa Presiden Indonesia, riset tentang antibiotik menghasilkan produk yang beragam ke pasaran. Kedua, karena masalah terbesar hidup saya ketika Orde Baru hanyalah lupa bikin PR belaka.

Exit mobile version