Nahdlatul Ulama, Makasih ya! - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Nahdlatul Ulama, Makasih ya!

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
1 Februari 2018
0
A A
Nahdlatul Ulama Butuh Sosok Agus Mulyadi

Nahdlatul Ulama Butuh Sosok Agus Mulyadi

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

[MOJOK.CO] “Selamat ulang tahun yang ke-92, NU.”

Waktu kecil sempat ada pertanyaan yang muter-muter di kepala saya, “Seandainya saya lahir bukan dari keluarga Nahdliyin, apa iya saya jadi NU seperti sekarang?”

Pertanyaan itu tidak muncul begitu saja. Salah satunya karena barangkali saya dibesarkan dari keluarga Nahdliyin kenthel tapi hidup di masjid Muhammadiyah yang kaffah.

Lho?

Yap, situ nggak salah baca. Saya besar di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada pertengahan ‘90-an. Periode ketika Pak Amien Rais (sebelum diculik alien dan meninggalkan tiruannya di bumi) masih suka ngisi kultum di sana.

Baca Juga:

Sutan Sjahrir: Politik Duduk Sang Pejuang Meja Runding

Sunan Bonang: Jalan Menuju Puncak Ilmu Sejati Bernama Ma’rifat

Agoes Salim: Memimpin adalah Menderita

Karena masjid terdekat dari rumah pada waktu itu adalah masjid IAIN yang sangat Muhammadiyah, jelas persinggungan saya dengan Muhammadiyah nggak kalah kenthel-nya dengan Nahdliyin di rumah sendiri.

Lho memangnya dari mana saya tahu perbedaan-perbedaan keduanya, padahal mimpi basah saja saya belum pada waktu itu?

Simpel. Saat masih kecil, kalau mau salat Tarawih di rumah, saya harus mempersiapkan stamina sebaik mungkin karena sadar bakalan “jungkir balik” sebanyak 23 kali. Sedangkan kalau di masjid cuma 11 kali. Itu pun di sela-sela salat di masjid (karena bacaannya lambat dan panjang-panjang ayatnya) saya masih sempat untuk main plusutan di pagar tangga masjid atau sabet-sabetan sarung sebelum imamnya ruku’ pada rakaat pertama. Di rumah? Boro-boro main plusutan, mau kencing aja kudu melambaikan tangan minta time-out karena cuma qulhu yang dibaca.

Sejujurnya, saat itu saya nggak begitu paham kalau keduanya benar-benar beda sampai perihal ormasnya. Sampai suatu ketika saya harus mondok ke pesantren yang cukup jauh dari rumah. Saat masih santri baru, saya sempat kaget ketika mendengar azan jumatan di masjid pondok dikumandangkan dua kali. Ya wajar saja, sudah bertahun-tahun saya ikut jumatan yang azannya sekali. Eh, begitu di pondok, nggak cuma azannya dua kali, yang khotbah bawa semacam tongkat sakti segala. Batin saya waktu itu, ebuset, apa-apaan ini?

Perlu waktu beberapa tahun untuk menerima perbedaan-perbedaan kecil antara keduanya karena tidak dijelaskan benar-benar ketika saya kecil. Pikir saya waktu itu ya sederhana: barangkali dulu Kanjeng Nabi itu waktu nyontohin ibadah (salat misalnya) dilihat oleh banyak orang. Karena banyak orang yang lihat, kerumunan ini mungkin melingkari Nabi.

Nah, kebetulan ada orang yang kebagian di sisi depan Kanjeng Nabi, ada yang di sisi belakang, ada yang di sisi samping. Tentu saja, orang yang lihat dari sisi depan Kanjeng Nabi nggak akan punya sudut pandang yang sama dengan orang yang lihat dari sisi samping, apalagi yang lihat dari sisi belakang. Sama-sama dikasih contoh, sama-sama sumbernya sahih, tapi posisi melihatnya beda, alhasil pembacaan serta penerapannya pun bakalan beda pula.

Pandangan semacam ini saya yakin muncul juga kok dari pembaca jamaah al-Mojokiyah rakhimakumullah seperti situ. Dasarnya seperti ini: perbedaan itu nggak apa-apa asalkan damai sentosa dan nggak memusuhi yang beda. Masalahnya, pandangan semacam ini tidak bisa diberlakukan serta-merta ke semua generasi, apalagi untuk orang-orang di generasi sebelum kita.

Perbedaan kecil antara boleh tidaknya selamatan, tahlilan, qunut, 11 atau 23 rakaat, dan lain-lain bisa jadi isu sensitif bagi golongan-golongan sepuh. Seperti misalnya, saat saya kecil, salat Tarawih di masjid bukanlah hal yang sepenuhnya disetujui oleh orang tua saya. “Mbok salat Tarawihnya di rumah saja,” pesan ibu saya. Boleh kok, asal jangan keseringan. Barangkali orang tua saya takut kalau saya jadi Muhammadiyah diam-diam.

Namun, jika melihatnya dengan kacamata yang sekarang, saya tidak melihat bahwa orang tua saya sedang melakukan tindakan pencegahan untuk mengenal cara ibadah “yang lain”, tapi lebih kepada pembiasaan dengan ritus yang biasa dijalankan di keluarga sendiri.

Sangat sering saya dengar, orang-orang generasi sepuh di kampung-kampung meributkan persoalan perbedaan “cara ibadah” yang berbeda di masjid. Kalau sudah seperti ini, biasanya perkara akan dimulai dari istilah “rebutan masjid” atau “rebutan siapa yang jadi takmir masjid”.

Bagi generasi zaman dulu, hal-hal semacam ini adalah pertarungan terbuka yang mempertaruhkan identitas keislaman mereka di kampung tempat membesarkan anak-anak mereka. Boro-boro ngomongin LDII, MTA, HTI, atau FPI, lha wong sekelas Muhammadiyah-NU saja di kampung-kampung masih sering saling ngrasani satu sama lain og.

Tentu saja saya lebih mendapati yang ngrasani dari pihak NU karena saya hidup di lingkungan NU. Yang saya tangkap (semoga saya salah) ada semacam ketakutan di balik rasan-rasan ini. Takut jamaahnya “diambil”, takut masjidnya “kerebut”, sampai takut kampungnya jadi “nggak-NU” lagi.

Apakah hal semacam itu salah? Tidak juga kalau melihat dari sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama yang baru saja berulang tahun ke-92 kemarin.

Sejarah berdirinya NU sendiri secara sederhana muncul karena alasan yang sama dengan yang terjadi di masjid kampung-kampung sekitaran kita belakangan ini. NU berdiri sebagai bagian dari respons terhadap perubahan kepemimpinan di Mekkah dan Madinah oleh Abdul Aziz bin Abdul Rahman yang kita kenal dengan sebutan Ibnu Saud (nama yang kemudian jadi nama negara).

Beberapa keputusan Ibnu Saud yang mengkhawatirkan kemudian memang benar-benar muncul. Salah satunya tidak mengakui mazhab-mazhab lain yang nggak sejalan, salah satunya Mazhab Syafi’i yang dirujuk oleh kiai-kiai di Hindia Belanda (waktu itu Indonesia belum ada). Terang saja, bagi golongan ulama dan kiai di Nusantara, pandangan ini sangat mengkhawatirkan. Kekhawatiran yang senada dengan kiai-kiai Nahdliyin di kampung-kampung ketika kemasukan golongan Islam-puritan.

Bagi golongan Ibnu Saud, kiai-kiai di Nusantara bisa saja dikategorikan sesat karena dianggap tidak sejalan. Hal yang malah terjadi betulan akhir-akhir ini dengan munculnya seruan kafir, sesat, munafik kepada kiai-kiai NU yang dianggap tidak sejalan.

Dan karena pada era itu kiai-kiai di pesantren-pesantren tradisional Nusantara tidak punya semacam serikat kiai untuk berbicara di kancah internasional, didirikanlah “Nahdlatoel Oelama” pada 31 Januari 1926 oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asyari atas usulan Mbah Kiai Wahab Chasbullah.

Selain agar suara kiai tradisional bisa didengar ke seluruh dunia, organisasi ini juga digunakan sebagai “tameng” agar Islam puritan tidak berkembang ke Nusantara. Hal ini menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama sebenarnya bukanlah semacam aliran baru, melainkan hanya organisasi kiai-kiai kampung agar suaranya bisa didengar. Kiai-kiai yang belajar ngaji kitab kuning dari satu pesantren ke pesantren yang lain serta menggunakan kultur lokal dalam persebaran ritus-ritus keagamaannya.

Sesuai dengan kredo NU yang terkenal, Al-mukhafadlotu ‘ala qodimisholih wal akhdlu bil jadiidil ashlakh, memelihara sesuatu yang lama yang sudah baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik, sederhananya NU didirikan semata-mata agar orang-orang Islam di Nusantara tidak lupa ia lahir di mana dan diperkenalkan dengan Islam dari mana.

Kondisi yang ditakutkan oleh beberapa sesepuh kiai generasi lama memang belakangan betulan terjadi. Ritus-ritus yang menggandeng beberapa tradisi lokal mulai dianggap sebagai sesuatu yang asing bahkan dicap sesat, gelombang “memurnikan” agama Islam kembali muncul di mana-mana, bahkan semakin banyak kiai-kiai pesantren yang dibid’ah-bid’ahkan.

Dengan masifnya kelompok seperti itu berkembang di Indonesia, akan tetapi di sisi lain di masjid-masjid kampung kita masih bisa meyenandungkan puji-pujian, tahlilan, kenduren, selawatan, sampai berbahagia merayakan maulid Nabi, kita harusnya tahu kepada siapa rasa terima kasih ini harus diberikan.

Pada akhirnya, tidak penting apakah saya lahir dari keluarga NU atau Muhammadiyah. Yang jelas saya kini tahu bahwa tanpa Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan Mbah Kiai Wahab Chasbullah barangkali sekarang saya sudah sibuk mengafir-kafirkan saudara seiman saya—alih-alih nulis di Mojok kayak begini.

Selamat ulang tahun Nahdlatul Ulama, tenang… aku tetap padamu kok meskipun besok aku mendadak Muhammadiyah. Uwuwuwuwuwu~

Tags: 92 tahunBidahharlahKafirkiaiMuhammadiyahNahdlatul Ulamanuperbedaansejarahulang tahun
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

SUTAN SJAHRIR: POLITIK DUDUK SANG PEJUANG MEJA RUNDING

Sutan Sjahrir: Politik Duduk Sang Pejuang Meja Runding

31 Juli 2022
Sunan Bonang: Jalan Menuju Puncak Ilmu Sejati Bernama Ma’rifat

Sunan Bonang: Jalan Menuju Puncak Ilmu Sejati Bernama Ma’rifat

29 Juli 2022
Agoes Salim: Memimpin adalah Menderita

Agoes Salim: Memimpin adalah Menderita

22 Juli 2022
nobel perdamaian mojok.co

Presiden Timor Leste Dukung NU-Muhammadiyah Raih Nobel Perdamaian

20 Juli 2022
Agoes Salim: Si Jenius Tak Berdarah Biru Dan Sang Organisatoris

Agoes Salim: Si Jenius Tak Berdarah Biru dan Sang Organisatoris

17 Juli 2022
Semaoen: Demonstran Sekaligus Penulis Roman, Jurnalis yang Juga Romantis

Semaoen: Demonstran Sekaligus Penulis Roman, Jurnalis yang Juga Romantis

15 Juli 2022
Pos Selanjutnya
Berkenalan dengan Milea, Sumber Kegombalan Dilan yang Hakiki MOJOK.CO

Berkenalan dengan Milea, Sumber Kegombalan Dilan yang Hakiki

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak MOJOK.CO

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak

8 Agustus 2022
Nahdlatul Ulama Butuh Sosok Agus Mulyadi

Nahdlatul Ulama, Makasih ya!

1 Februari 2018
Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Perguruan Tinggi Favorit MOJOK.CO

Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Masuk Perguruan Tinggi Favorit

5 Agustus 2022
pola pengasuhan anak mojok.co

Psikolog UGM Jelaskan Tipe Pola Asuh yang Bisa Berdampak pada Hasil Akademik Anak

5 Agustus 2022

Cara Hadapi Henry Subiakto Menurut Mahasiswanya, Itu Lho Staf Kominfo yang Unggah Liputan Narasi TV Tanpa Watermark

3 November 2020
Lampu merah terlama di Jogja. (Ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co)

Menghitung Lampu Merah Terlama di Jogja, Apakah Simpang Empat Pingit Tetap Juara?

9 Agustus 2022
Musimin, petani di lereng Gunung Merapi yang menolak ekspor kopi ke Jepang.

Mengenal Musimin, Petani Lereng Merapi yang Menolak Pesanan Kopi dari Jepang 

5 Agustus 2022

Terbaru

world water forum mojok.co

Persiapan Dua Tahun, Indonesia Dipercaya Gelar Forum Air Dunia 

11 Agustus 2022
Teror Hantu Penghuni Patung Loro Blonyo MOJOK.CO

Teror Hantu Penghuni Patung Loro Blonyo

11 Agustus 2022
Kezaliman Barcelona Terhadap Frenkie De Jong

Kezaliman Barcelona Terhadap Frenkie De Jong

11 Agustus 2022
Ketua LPSK mengatakan perlindangan istri Ferdy Sambo bisa dibatalkan

Kurang Kooperatif, LPSK Sebut Permohonan Perlindungan Istri Ferdy Sambo Bisa Dibatalkan

11 Agustus 2022
mendag zulhas mojok.co

Mendag Zulhas Sebut Harga Kebutuhan Pokok DIY Paling Rendah

11 Agustus 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In