MOJOK.CO – Mustafa Kemal Ataturk punya reputasi buruk di Indonesia. Sangat jauh berbeda bagi orang-orang Turki. Banyak yang menaruh hormat padanya.
Jalan Ahmet Sukarno.
Demikian hendak dinamai seruas jalan di ibukota Turki, Ankara. Pengumumannya datang dari Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi. Itu diwara-warakan Retno tak lama setelah pertemuannya di Ankara dengan Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu.
Ahmet Sukarno yang dimaksud di sini tak lain ya Sukarno, Presiden Republik Indonesia. Orang-orang di Timur Tengah dan Afrika Utara sedari medio 1940-an hingga sekarang memang lazim menyebut Bung Karno dengan menambahkan penyebutan “Ahmed” atau “Ahmad” juga “Ahmet” selaku versi bahasa Turkinya.
Diplomat Indonesia, M. Zein Hasan, juga para mahasiswa Indonesia di Mesir, adalah pihak yang mempopulerkan sebutan untuk Bung Karno itu pada sekitar 1946-1947.
Maklumlah, Sukarno kan tak memerlihatkan identitas muslim, jadi penambahan nama “Ahmat” itu salah satu ikhtiar meningkatkan simpati negara-negara Islam (terutama negara di Timur Tengah dan Afrika Utara) terhadap Revolusi Kemerdekaan Indonesia kala itu.
Nah, kembali ke soal penamaan Jalan Ahmet Sukarno di Ankara, yang merupakan bentuk penghormatan Pemerintah Turki terhadap Bung Karno, hal tersebut rupanya akan mendapat balasan penghormatan yang setara dari pihak Indonesia.
Salah satu ruas jalan di Jakarta akan dinamai pula dengan tokoh besar Turki. Tindakan balas budi Indonesia atas penamaan Jalan Sukarno di Ankara ini lantas menjadi ramai dibincangkan hingga ditubirkan oleh orang Indonesia.
Pasalnya bertiup kencang kabar bahwa jalan di Jakarta yang “dipersaudarakan” dengan Jalan Sukarno di Ankara bakal menyandang nama Jalan Mustafa Kemal Ataturk, pendiri dan Presiden Republik Turki modern pertama. Sebuah nama yang kontroversial karena reputasinya masih diperbincangkan (lebih tepatnya diperdebatkan) hingga kini di Indonesia.
Sejumlah pihak mulai, dari seleb medsos, guru, influencer, petani, sampai politisi, menyuarakan pendapat kontra atas rencana penamaan Jalan Ataturk di Jakarta. Pendapat kontra yang senada dikemukakan banyak netizen di media sosial masing-masing.
Ini tentu tak lepas dari pengabaran masif bernada minus selama beberapa tahun terakhir tentang figur Mustafa Kemal Ataturk. Paling jelas citranya, dia merupakan peruntuh Dinasti Ottoman serta dedengkot penerapan sistem sekuler di Turki.
Dalam kabar-kabar minus tadi, konon Mustafa Kemal Ataturk diazab Allah pada sekitar penghujung hidupnya. Jasadnya pun konon sampai ditolak Bumi ketika hendak dimakamkan. Soal seperti apa tepatnya bentuk penolakan Bumi terhadap jasad Mustafa Kemal Ataturk itu saya belum pernah membaca penjelasan meyakinkan yang disertai bukti.
Jadi ya susah juga untuk menepis dari kepala saya bahwa kabar tentang jasad Ataturk ditolak Bumi itu cenderung merupakan rumor bombastis yang disebar pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Dari bombastis-nya, kita sebenarnya dapat membaui beberapa falasi, terutama argument from authority (terbuai dan mereplikasi apa yang dikabarkan oleh idola) serta bandwagon fallacy (terbawa arus dan alpa mengkritisi hal yang dipercaya banyak orang di sekitar).
Lepas dari soal rumor yang beredar luas di Indonesia soal jasad Mustafa Kemal Ataturk yang ditolak Bumi, nyatanya Pemerintah Turki pada 1944 hingga 1953 justru membangun satu mausoleum (baca: makam) megah di Ankara sebagai tempat peristirahatan terakhir untuk Ataturk.
Kemegahannya sebagai suatu mausoleum maupun bangunan monumen dapat dibandingkan dengan Les Invalides di Paris, Mausoleum Sun Yat Sen di Nanjing, serta Lincoln Memorial di Washington DC. Dan Anitkabir (begitu namanya) pun masih terus dikunjungi sampai sekarang.
Hal-hal seperti itu memperlihatkan bahwa penghormatan menjurus ke kultus yang dilakukan oleh orang Turki kepada Mustafa Kemal Ataturk itu masih sangat besar hingga saat ini. Seirama dengan masih ada di mana-mananya potret diri Mustafa Kemal Ataturk berikut narasi puja-puji kepadanya seantero Turki.
Web resmi Kepresidenan Republik Turki pun memiliki fitur berisi biografi serta galeri foto tentang Mustafa Kemal Ataturk. Satu dari dua bandara internasional di Istanbul masih menyandang nama Ataturk. Lembar-lembar uang Lira Turki pun bergambar Ataturk.
Untuk lebih dapat memahami besarnya penghormatan orang Turki kepada Mustafa Kemal Ataturk, mengapa dia sampai begitu dipandang sebagai pahlawan agung bagi negaranya, saya pikir kita bisa mencarikan analoginya di Indonesia.
Analogi ini bisa menjadi refleksi melihat seperti apa juga penghormatan yang kita berikan kepada sejumlah tokoh besar dalam sejarah nasional Indonesia maupun tokoh dari zaman kerajaan-kerajaan kuno Nusantara.
Nah, dalam hal ini, saya merasa ada tiga tokoh besar Indonesia dan Nusantara yang dapat dikomparasikan dengan Mustafa Kemal Ataturk.
Sukarno
Sebagaimana Mustafa Kemal Ataturk yang merupakan Presiden Republik Turki pertama di era modern, Sukarno juga sama.
Keduanya sama-sama pahlawan kemerdekaan negara masing-masing sebagai presiden pertama di negaranya. Bedanya Sukarno tak berlatar belakang militer seperti Ataturk, yang pernah menjadi perwira tinggi dalam angkatan bersenjata Kesultanan Ottoman.
Meski begitu, banyak manuver politik (yang berpengaruh secara militer) Sukarno sepanjang 1940-an dan 1950-an hingga awal 1960-an patut dipuji—meski banyak dikiritik orang juga.
Seperti kesediaan Sukarno berkompromi dengan Jepang pada 1942-1945, misalnya. Sebuah keputusan yang sejatinya memungkinkan terciptanya kondisi di mana puluhan juta orang mengakui Sukarno sebagai pemimpin revolusi nasional.
Pilihan dirinya dan Mohammad Hatta untuk justru menyerah kepada pasukan Kerajaan Belanda yang menyerbu Jogja pada 19 Desember 1948 adalah satu hal yang termasuk membuyarkan harapan Belanda menamatkan balita Republik Indonesia.
Hal tersebut menghilangkan dalih yang bisa diambil Belanda untuk membunuh dirinya dan Hatta andai keduanya justru memilih keluar kota serta bergerilya. Itu ibarat pilihan sikap pasrah Yudhistira di tengah Perang Bharatayudha yang malah berhasil menetralkan ampuhnya ajian Candabhirawa milik Prabu Salya.
Namun, Sukarno memang tidak mendapatkan akhir yang baik. Tragisnya lagi, dia justru wafat sebagai seorang tahanan politik era Soeharto pada 1970.
Meski tragis di dalam negeri pada masa akhir hidupnya, di luar negeri–terutama di Turki–namanya tetap harum dan punya reputasi menawan.
Dyah Wijaya
Dyah Wijaya, Raden Wijaya, juga Nararaya Sangramawijaya, adalah beberapa variasi nama yang dimiliki putra Dyah Lembu Tal ini.
Sekitar tahun 1292-1293, bangsawan dari Wangsa Rajasa ini agaknya masih muda, mungkin di kisaran 20 tahun, namun, siapa sangka di usia muda ia mampu menjadi pahlawan penyambung eksistensi wangsanya.
Pertama-tama ia dan sejumlah sahabatnya berhasil lolos dari Peristiwa Pembantaian Istana Singasari yang dilakukan oleh pemberontakan Raja Jayakatwang, penguasa vasal Gelang-gelang. Ini satu tragedi yang menewaskan Maharaja Singhasari (lebih dikenal dengan sebutan Singasari), Kertanegara, yang merupakan juga pamannya.
Untunglah bahwa Wijaya lantas berhasil mendapatkan bantuan dari Banyak Wide, Adipati Songenep. Berkat Banyak Wide, Wijaya juga berhasil memeroleh pemberian amnesti dari Jayakatwang. Ini memberinya waktu untuk menggalang kekuatan baru di Terik, daerah hilir aliran Sungai Brantas.
Pada saat ekspedisi Dinasti Yuan dari Tiongkok, atau dikenal juga di pencatatan sejarah Indonesia sebagai: bala tentara Mongol atau Tartar yang mendarat di Jawa.
Wijaya, Banyak Wide, dan pengikut dua tokoh ini, berhasil memanfaat perkembangan baru. Pertama-tama Wijaya dan kawan-kawannya bersekutu dengan tentara Mongol untuk mengalahkan Jayakatwang. Setelahnya, Wijaya dan kawan-kawannya ganti mengusir tentara Mongol keluar dari Jawa.
Semua ini memungkinkan Wijaya mendirikan kemaharajaan baru bernama Majapahit. Ia menjadi maharaja pertama dengan Abhiseka Kertarajasa Jayawardhana. Kemaharajaan yang akan bertahan lebih dari dua abad diperintah oleh para keturunan Wijaya.
Hal yang kemudian membuat namanya begitu melegenda layaknya Mustafa Kemal Ataturk di Turki. Tidak hanya dipakai sebagai nama jalan, tapi juga nama bayi, nama lembaga pendidikan, nama yayasan, sampai nama bus.
Airlangga
Pada tahun 1016, pesta pernikahan Airlangga mendadak berubah menjadi pralaya atau tragedi berdarah.
Istana Wwatan (ini bukan typo, nama istananya emang begitu) yang menjadi tempat bertahta paman sekaligus mertua Dharmawangsa Teguh, diserbu oleh pasukan pemberontak pimpinan Aji Wurawari dari Lwaram.
Penyerbuan ini memaksa Airlangga dan Narottama, mentornya, menyembunyikan diri di pertapaan di lereng Gunung Penanggungan. Ketika Pralaya Istana Wwatan terjadi, Airlangga baru berusia sekitar 16 tahun.
Setelah tiga tahun bersembunyi, Airlangga akhirnya berhasil mendapat dukungan sejumlah bangsawan dan pendeta Jawa untuk mengikrarkan diri sebagai raja.
Awalnya cuma memiliki kekuasan kecil di sekitar delta Sungai Brantas, kurang lebih daerah Sidoarjo dan Mojokerto sekarang. Barulah pada 1023 hingga 1032 Airlangga meluncurkan ekspedisi militer di seantero Jawa Timur untuk menyatukan kembali bekas kemaharajaan yang dulu diperintah mertuanya.
Catatan sejarah Jawa bisa dibilang menggambarkan Airlangga sebagai maharaja yang sukses di bidang militer, pemerintahan, pembangunan infrastruktur. Bahkan juga sampai urusan pengembangan kebudayaan karena menginisiasi penulisan sastra khas Jawa, yakni kakawin.
Namun, ia memilih mengakhiri pemerintahannya dengan cara yang mungkin agak susah dipahami orang sekarang, yakni membagi dua kemaharajaannya pada sekitar 1042 untuk dua orang pewaris tahta.
Maksud hati untuk menghindarkan perang saudara sesama Wangsa Isyana. Sayangnya sepeninggal Airlangga, dua pewaris takhtanya tetap saja saling berperang satu sama lain. Perang antara dua cabang kerajaan hasil pembagian Airlangga itu konon malah berlangsung berkepanjangan, terus saling bermusuhan hingga setidaknya 70 tahun lamanya.
Meski begitu, namanya tetap dikenang dalam reputasi yang baik di Indonesia. Buktinya, ada banyak nama orang-orang Indonesia yang “meminjam” nama Airlangga. Nama yang memang rujukannya ke dia, bukan ke nama salah seorang politisi Golkar.
BACA JUGA Salah Kaprah Penamaan Universitas Brawijaya dan tulisan Yosef Kelik lainnya.