Andaikan Museum Sastra Jogja yang Tidak Ada Itu Belajar pada Museum Tentara

Museum Sastra Jogja Perlu Belajar pada Museum Tentara MOJOK.CO

Ilustrasi Museum Sastra Jogja Perlu Belajar pada Museum Tentara. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COMuhidin M. Dahlan menawarkan konsep museum sastra untuk Jogja. Ada 4 kerja yang bisa dilakukan supaya museum yang tidak ada ini jadi ada.

Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) sudah rampung. Seksi sastra menampilkan sambatan yang muncul dari dekade ke dekade: perlunya dokumentasi sastra yang lengkap. Atau, dalam bahasa kurator Sastra FKY 2024: perlunya museum sastra.

Gagasan perlunya sebuah museum sastra Jogja, perlunya sebuah tempat/ruang yang terpusat dan beralamat dan memiliki tromol pos, memang sebuah tantangan tersendiri. Tantangan mengadakan sesuatu yang teramat sulit untuk (di)ada(kan).

Salah satu dari berbagai julukan atas kota raja ini adalah “Kota 1000 Museum”. Dalam “1000” itu, museum sastra tidak ada. Juga, museum musik yang padahal ada kampung Musikan yang terdapat di jendela kiri Keraton.

Militer dan perang yang paling banyak mengambil porsi bangunan museum. Bidang yang lain berbagi satu demi satu. 

Menengok museum militer dan perang di Jogja

Bacalah perlahan-lahan daftar museum militer dan perang di Jogja. Tandai mana yang sudah kamu kunjungi dan mana yang belum: 

Museum Monumen Jogja Kembali, Museum Sasmitaloka Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Sudirman, Museum Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama, Museum Angkatan Darat Dharma Wiratama, Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Memorial Jenderal Besar HM Soeharto, Museum Bahari Yogyakarta, Museum Monumen Pahlawan Pancasila, Museum Sandi, Museum Perjuangan, dan Museum Benteng Vredeburg.

Di Jogja, revolusi berapi itu panjang peristiwanya tidak lebih dari empat tahun jika kita mengukurnya saat menjadi ibu kota (revolusi). Hanya butuh empat tahun, kota ini kemudian memiliki museum-museum hebat berkenaan dengan dunia tentara dan (alat) perang.

Sementara, dunia sastra ini yang menjadi nafas harian insan kreatif penciptaan kebudayaan masih saja tak punya museum sastra. Tidak usah museum, sekadar ruang dokumentasi sastra yang representatif pun tidak punya.

Seberapa penting museum sastra?

Bagi sebagian orang, terutama yang mencintai perihal dokumen sastra, ini realitas yang menggelisahkan. Namun, bagi sebagian orang, termasuk saya, seberapa penting, sih, sastra itu buat daerah se-istimewa Yogyakarta ini? 

Saya tiba-tiba ingat ironi kebudayaan pada 2024 ini saat seorang penyair paling hype berpulang. Tak satu pun mobil para pejabat pemerintah ada dalam iring-iringan pelayat yang membawa tubuh kaku penyair Jogja yang namanya jadi lingua franca bagi generasi kiwari. Joko Pinurbo, nama penyair itu, hanya milik pencinta puisinya, hanya milik keluarga-keluarga kecil menengah ke bawah.

Ini bukan ironi biasa, tetapi bisa menjadi alasan yang umum mengapa museum sastra (di) Yogya itu tidak ada. Dan nyatanya, kemungkinan teramat sulit diwujudkan. 

Institusi sastra itu teramat lemah. Sementara itu, museum militer bisa sangat kokoh dan mungkin baru bubar beberapa menit sebelum saksofon ditiup Israfil pada Hari Kiamat karena ditopang institusi yang sangat kuat.

Museum dengan usia yang panjang mengandaikan institusi pelaku yang jadi konten museum itu mestilah kuat. Mereka itu bisa kuat dan berusia panjang karena institusi yang menopangnya sangat kuat. Dengan institusi kuat, finansial dari mana museum itu mendapatkan asupan gizi yang ajeg juga terjaga.

Institusi sastra tidak pernah kuat

Saya melihat, museum sastra atau apalah namanya, tidak pernah ada karena institusinya tidak kuat. Komunitas yang menghidupinya pun berjalan sendiri-sendiri tanpa kepemimpinan jaringan. Sastra juga tidak memiliki festival sendiri yang bersifat ajeg dan umumnya nebeng di festival lain. Sekalinya punya festival sendiri, sekali dilakukan, setelah itu tidur sangat panjang.

Karena itu, praktik pendokumentasian atau praktik permuseuman sastra, dalam sejarah sastra yang panjang, umumnya menjadi praktik individual, bukan praktik institusional. Jika nama dokumentator adalah tokoh, museum sastra adalah pokok; tokohlah, dan bukan pokok.

Karena praktik individual, posisi museum/dokumentasi sastra menjadi sangat rentan dan riskan. Terserang gizi buruk dan akhirnya mati kelaparan sangat mungkin terjadi. 

Pada akhirnya, yang ramai adalah bukan memelihara dan membesarkan si museum sastra, melainkan menangisinya. Itulah yang terjadi saat Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin mengangkat bendera putih dan selang-selang infusnya dilepas satu-satu pada 2011.

Bedakan mendirikan sebuah institusi atau ruang semacam museum yang meliputi seantero provinsi dengan memproduksi sastra. Produksi sastra bisa bekerja sangat soliter, tetapi membangun institusi perlu daya yang lebih. Yaitu sebuah jaringan komunitas yang loyal dan percaya, para pegiat dokumentasi sastra yang kuat jiwanya dan kuat pula badannya, finansial yang sehat, memiliki bargaining position dengan kekuasaan.

Semua prasyarat itu dimiliki tentara, bukan sastrawan. Jadi, jika ingin membuat museum sastra yang kuat secara waktu, artistik dalam presentasi, dan sehat secara finansial, rajinlah berkonsultasi dengan tentara, bukan akademisi di kampus. Duh, institusi kampus di Jogja selegendaris UGM, Saudara, menjaga otentitas ijazah mahasiswanya saja, terkadang nggak becus, kok.

Seperti finansial, memilih antara sistem De-fi atau Ce-fi

Jika museum sastra itu ada, model semacam apa yang dipakai?

Dalam dunia finansial, berkembang apa yang disebut De-fi, decentralized finance. Lawannya adalah Ce-fi, centralized finance

Dunia perbankan yang konvensional dan dikontrol negara itu menganut Ce-fi. Dunia keuangan cryptocurrency yang saat ini perlahan menjadi bagian utama dari sistem finansial global itu bersifat De-fi.

Dalam politik, De-fi dan Ce-fi itu seperti ketegangan antara “NKRI” dan “Federalisme”. Yang untuk sementara bisa ditengahi oleh “Otonomi Daerah”.

Sastra memilih sistem museum seperti apa? Museum yang bersifat centralized atau decentralized

Menilik dari karakter historisnya, sastra dengan institusi yang tidak bisa diandalkan kekuatannya ini, pada dasarnya hidup dalam kamar-kamar individu. 

Kekuatan sastra Jogja hingga masih ada sampai kini bukanlah bersifat institusional, melainkan sel-sel. Tenaga hariannya untuk tumbuh dalam sebuah kota seperti Yogyakarta berada dalam kamar kerja serupa sel-sel kecil itu. Para subjeknya tetap lahir di setiap generasi karena faktor institusi pendidikan umum yang bejibun secara kuantitas itu masih mengajarkan keilmuan sastra dan keilmuan bahasa. 

Di mana letak museum sastra yang ideal

Jika ada museum sastra, di mana letaknya yang ideal? Dalam konteks Jogja, kawasan yang ideal bagi museum sastra bukan di kompleks Taman Budaya saat ini (Kompleks Vredeburg), melainkan berada di kawasan Pakualaman.

Lokasi Taman Budaya itu, mohon maaf, menjadi pantatnya tangsi militer kolonial yang berdiri sebagai agen pengontrol gerak-gerik politik Keraton. Berbeda dengan Pakualaman. 

Di sinilah, salah satu tokoh sastra Jogja tinggal yang sekaligus penguasa Kadipaten Pakualaman: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam III. Tokoh ini adalah kakek dari dua mesin pergerakan nasional: Ki Hadjar Dewantara (pendidikan) dan Soerjopranoto (buruh).

Pakualaman adalah gabungan dari taman sastra, pendidikan liar, dan gelora pergerakan. Ia juga episentrum ketegangan sosial antara dunia sastra, pendidikan (Taman Siswa), dan dunia penjara (Wirogunan). Di Pakualaman juga tersedia rumah sakit jiwa yang terbuka 24 jam.

Dalam sejarah sastra, barisan teks, rumah sakit jiwa, dan penjara sangat dekat. Mereka saling mempengaruhi dalam pengertian yang denotatif.

Visualisasi museum sastra

Penampakan ruang museum sastra bisa mengikuti cara sastrawan Nobel asal Turki, Orhan Pamuk. Pamuk membuat sendiri sebuah museum eponim yang dia sebut The Museum of Innocence. Gampangnya, museum ini adalah apabila seisi Pasar Klithikan Kuncen itu diborong dan dikumpulkan, lalu dikurasi oleh kurator dan ditata para maestro pameran seni rupa Art Jog.

Di Jogja, jika memiliki rumah kecil milik Pakualaman atau keluarga besar Suryaningrat, museum sastra bisa mengikuti cara dan siasat Museum Sandi atau Memorial Jenderal H.M. Soeharto yang ditata mengikuti gaya Rumah Garuda (The Museum of Innocence ala Yogya). Atau, jika museum sastra ini isinya adalah praktik arsip dan pendokumentasian, bisa memakai visual IVAA dalam seni rupa.

Melihat bagaimana pegiat museum sastra bekerja

Apa yang urgen untuk dikerjakan (dalam) museum sastra jika benar-benar ada?

Paling tidak ada empat kerja:

Pertama, menyediakan perpustakaan sastra Yogyakarta yang lengkap. Perpustakaan itu berisi buku dan dokumen sastra. Fungsi perpustakaan ini adalah menjadi gudang besar yang menampung warisan buku dan dokumentasi dari tokoh sastra seandainya keluarga tak bisa lagi mengurusnya.

Kedua, membangun kapal induk data sastra Jogja yang meliputi: tokoh, pokok (karya), peristiwa, dan ruang gelar. Yang dipunyai saat ini kano-kano, perahu-perahu kecil. Tak ada kapal induk data yang membuat kita punya peta yang lengkap dari setiap generasi.

Ketiga, menciptakan peta pariwisata sastra dengan bersandar pada cara yang dicontohkan Michael Pearson dalam Tempat-Tempat Imajiner. Bagaimana para pembaca di dekatkan imajinasinya dengan UGM sambil membaca dan menikmati ulang Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar. Atau, membaca lakon Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer di pedukuhan Mangiran, Bantul dan petilasan Watu Gilang Kotagede. Saya menyebut pariwisata tematik ini dengan Wisata Bibliopolis. Peta Wisata Bibliopolis ini bersandar pada data kapal induk.

Keempat, melatih secara reguler para dokumentator sastra yang kuat jiwanya, kuat badannya. Kualifikasi dokumentator sastra yang “kuat jiwanya, kuat badannya”, seperti H.B. Jassin.

Jassin, jika melihat rutinitasnya mendokumentasikan sastra, seperti tentara yang bekerja. Siang-malam. Seperti hewan nokturnal, malam Jassin habiskan untuk berdiri mengidentifikasi dokumen/buku, siang (tidak tidur seperti kelinci dan kelelawar) mencari/memburu dokumentasi. Betul, Jassin melakukan praktik mendokumentasi dan menulis dengan cara berdiri, seperti kasir-kasir proletariat di toko waralaba.

Kerja-kerja militerisma

Kerja seperti HB Jassin–juga Pramoedya Ananta Toer–yang seperti itu bukan kerja pegawai negeri sipil. Itu kerja gaya tentara. Setiap saat, kapan pun.

Baca perlahan-lahan jadwal dokumentasi Pramoedya Ananta Toer yang saban hari rutin dilaksanakan selama puluhan tahun:

07:00 Memilah dan menggunting berita (yang dianggap penting) di koran harian. Sekaligus, sarapan pagi.

09:00 Berkebun (pengganti olah raga ala manusia urban: jalan/lari/sepeda)

14:00 Istirahat

16:00 Menerima tamu

18:30 Menempel hasil guntingan berita, menulis, membalas surat

22:00 Istirahat

Lho, kok, enggak ada bikin diskusi, bikin festival?

Jangan terlalu banyak tugas yang dibebankan. Sebab, praktik mendokumentasi itu sendiri sangatlah menekan dan menguras daya. Habis jiwa dan badan diisapnya. 

Warga sastra Jogja, kapan silaturahmi dan konsultasi ke ruang kepala museum Museum Angkatan Darat Dharma Wiratama di perempatan Toko Buku Gramedia itu? Dan, selamat kepada AD yang kembali menempatkan “prajurit terbaik”-nya menjadi presiden Republik Indonesia. Itu.****

Penulis: Muhidin M. Dahlan

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Yang Jarang Kita Bicarakan Ketika Membicarakan Joko Pinurbo: “Paska” dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version