Mojok Tak Pernah Tepat Waktu

Sebagai sesama penggemar Mojok, saya rasa kita semua punya setidaknya dua hari paling waung dalam hidup kita. Pertama ketika pada hari Selasa, 28 Februari 2017, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Mojok mengumumkan akan menutup situsnya. Dan kedua ketika, bedebahnya, tepat satu bulan kemudian, Selasa, 28 Maret 2017, Mojok benar-benar menutup situsnya. Waung banget kan?

Banyak yang menyayangkan ditutupnya Mojok, terlebih karena situasi di dalam negeri sedang ramai-ramainya. Istilahnya: lagi banyak bahan. Seandainya Mojok masih tetap buka, bukan tidak mungkin mereka akan kebanjiran kiriman tulisan sehingga membuat redaktur-redakturnya nggak akan sempat pacaran atau jadian. Meminjam judul sebuah novel yang fenomenal, orang bisa berkata bahwa “Mojok Tak Pernah Tepat Waktu”.

Padahal, sebenarnya, yang terjadi ketika Mojok tutup itu tidak terlalu ramai-ramai banget juga. Pasca diluluhlantakkannya kelompok “kom” dari Nasakom yang digagas Pak Karno oleh duet maut Pak Harto dan Pak Sarwo, kegaduhan yang terjadi belakangan ini bisa dirangkum dalam satu kalimat saja: pertarungan antara kelompok “nas” dan kelompok “a”.

Kalau ada kelompok tambahan di antara keduanya, itu adalah mereka yang netral dan, kayak saya, sok bijaksana menyerukan perdamaian di antara keduanya; dan satu lagi adalah mereka yang tidak peduli sama sekali, yang penting kontraknya deal. Yang terakhir ini biasanya dihuni oleh para konsultan politik.

Lagi pula banyak kejadian yang sepertinya bisa dituliskan dengan mendaur ulang tulisan-tulisan lama yang pernah dimuat di Mojok.

Yang paling menarik dari pertarungan kedua kubu itu sebenarnya bukan pertarungannya sendiri, tapi kenyataan bahwa keduanya sama-sama menang. Kalau orang bilang dalam setiap kompetisi pasti ada yang menang ada yang kalah, kompetisi kedua kelompok itu kemarin adalah pengecualian, karena keduanya sama-sama menang. Dan ini hanya bisa terjadi ketika Pak Jokowi jadi presiden, atau, lebih tepatnya, ketika Mojok tutup.

Berikut catatan saya tentang kejadian-kejadian yang terjadi ketika Mojok tutup sekaligus tulisan-tulisan lama yang bisa didaur ulang untuk membahasnya.

1. Kemenangan Kecil Kelompok Agama

Sebenarnya kemenangan pertama kelompok “a” ini lebih pas kalau dikasih judul “Terbalaskannya Sebuah Dendam”, tapi kok rasa-rasanya malah jadi mirip judul film lawas yang dibintangi Barry Prima, Advent Bangun, dan Eva Arnaz.

Kemenangan kecil kelompok agama ditandai dengan tumbangnya pasangan Ahok-Djarot di pilkada Jakarta. Tidak bisa dimungkiri bahwa sebagian besar pendukung Anies-Sandi adalah alumni pendukung Pak Prabowo di pilpres yang lalu. Ditambah dengan kasus mulut ember Ahok di Kepulauan Seribu, lengkaplah semuanya.

Entah siapa yang menunggangi siapa, apakah peserta aksi yang berjilid-jilid itu menunggangi lawan politik Ahok-Djarot atau sebaliknya, yang jelas Anies-Sandi akhirnya memenangkan palagan pilkada itu. Lalu situasinya berubah dengan cepat. Ketika dulu Jokowi menang dan pendukung Prabowo dituding susah move on, sekarang justru teman-teman Ahok yang dituduh seperti itu lewat aksi karangan bunga dan seribu lilinnya.

Karma memang kejam dan balas dendam memang paling nikmat disajikan pas masih anget.

Yang menang berhak menyombongkan diri, yang kalah berhak mencibiri yang menang. Seandainya Iqbal Aji Daryono, jokower berpenghasilan 200—300 juta per bulan (masih ditambah sepeda kalau tulisannya viral), waktu itu menulis untuk Mojok, mungkin tulisannya akan diberi judul “Surat Terbuka kepada Pemilih Anies Sedunia”.

2. Kemenangan Besar Kelompok Agama

Tumbangnya Ahok-Djarot di pilkada Jakarta bukan satu-satunya kemenangan kelompok agama atas kelompok nasionalis, kemenangan yang lebih besar menanti di depan mata. Apa lagi kalau bukan dijatuhkannya vonis dua tahun penjara untuk Ahok yang dituding menista agama?

Tapi, yang menarik dari proses bocornya mulut Ahok di Kepulauan Seribu sampai dijatuhkannya vonis adalah dramanya. Aksi tiga angka yang digelar berjilid-jilid dan aksi-aksi tandingan yang relatif kecil menyesaki hari-hari kita. Segala macam analisis muncul di akun media-media sosial kita, mulai dari soal bahasa, tafsir agama, aliran dana penggagas aksi, sampai rencana-rencana konspirasi.

Yang paling fenomenal tentu saja bertebarannya spanduk yang menolak menyalatkan jenazah pendukung Ahok di masjid-masjid Ibu Kota. Seolah-olah menjadi pendukung yang satu akan membuat orang menjadi lebih beriman dari pendukung yang lain.

Seandainya saya harus menulis buat Mojok tentang ini, saya akan memilih mendaur ulang tulisan si gadis NU Kalis Mardiasih yang seingat saya diberi judul “Sebuah Curhat untuk Girlband Jilbab Syar’i”. Soal judulnya mau diganti apa, tentunya saya serahkan kepada yang lebih berhak: Mas Agus Mulyadi.

Ya tentu saja karena beliau redakturnya, bukan karena sebab-sebab yang lain ….

3. Kemenangan Kecil Kaum Nasionalis

Dari sini segalanya mulai menarik. Sebab, ternyata yang merasakan euforia kemenangan bukan cuma kelompok agama, melainkan juga kelompok yang mendaku dirinya nasionalis. Kemenangan paling sederhana yang bisa dirayakan oleh mereka yang selalu membawa jargon “NKRI harga mati” itu adalah diumumkannya pembubaran ormas HTI. Setidaknya dalam waktu dekat singkatannya belum akan diganti jadi NKRS, Negara Kedaulatan Republik Suriah.

Soal apakah pembubaran sebuah ormas harus melalui proses pengadilan atau boleh langsung diumumkan begitu saja oleh seseorang yang mirip Pak Wiranto (kita tidak bisa yakin itu Wiranto betulan atau bukan mengingat kepiawaian beliau dalam hal menyamar) bisa diabaikan. Pokoknya bubar dulu, dirayakan dulu. Toh, aksi-aksi masyarakat sudah mendahuluinya. Misalnya di Malang ketika acara Ustaz Felix Siauw dibubarkan polisi.

Soal yang satu ini, HTI dan utamanya Ustaz Felix Siauw, hanya satu orang yang layak menuliskannya: Arman Dhani. Tentu saja, karena dulu beliau yang menulis “Secarik Pledoi untuk Felix Siauw Bosku”. Ketika bosnya tertimpa masalah (lagi), tentu menuliskan ple(i)doi sekali lagi untuk beliau bukan masalah besar untuk Mas Dhani.

4. Kemenangan Besar Kaum Nasionalis

Peristiwa yang satu ini, saya tahu, belum terjadi. Tapi, melihat perkembangan terkini, saya rasa peluangnya untuk terjadi sangat besar. Ada dua kemungkinan yang bisa membuat kelompok nasionalis mendapatkan kemenangan besarnya: dipenjarakannya imam besar FPI Habib Rizieq atau dibebaskannya Ahok.

Habib Rizieq yang kita tidak tahu apa sedang memenuhi undangan Raja Salman, umrah, meneruskan pendidikannya, atau bersembunyi dari penembak jitu yang terbukti nggak jitu-jitu banget sepertinya akan sulit lolos dari lubang jarum. Banyak sekali kasus yang melilit beliau, mulai dari tuduhan percakapan mesum, penghinaan Pancasila, penghinaan mata uang, hansip, penistaan agama, ujaran kebencian, dan entah apa lagi.

Dan untuk yang satu ini, saya kira kita sepakat bahwa tulisan terbaik untuk didaur ulang adalah “Surat Terbuka untuk Mas Anang Hermansyah” dari redaktur kesayangan kita semua, Mas Agus Mulyadi, yang saking lamanya menjomblo sampai harus menunggu Mojok tutup dulu untuk merasakan pedihnya jadi mantan.

Jadi, kesimpulan dari semua ini, menyebut “Mojok Tak Pernah Tepat Waktu” itu tidak berdasar dan justru tidak tepat. Isu-isu yang terjadi ketika Mojok tutup terbukti tidak perlu dibahas di Mojok karena berisiko menjadi ajang daur ulang tulisan-tulisan lama Mojok. Yang perlu kita tanyakan kepada Mojok sebenarnya adalah motivasinya ketika dulu menutup situsnya, apakah memang benar karena mereka tidak merasa perlu membahas isu-isu yang terjadi ketika mereka tutup, atau karena mereka memang nggak cinta sama kita?

Jawaban terbaik mungkin ada di beberapa kalimat di novel fenomenal yang saya singgung di atas dan judulnya saya pelesetkan jadi judul tulisan ini.

Tolong jangan pernah bilang lagi padaku bahwa kalau aku mencintaimu mengapa aku meninggalkanmu? Please … jangan bebani aku dengan pertanyaan seperti itu. Itu pedih sekali ….

Exit mobile version