MOJOK.CO – Kalau harga barang Rp50.000 ya saya mohon pengertiannya jangan sampai nawar jadi Rp10.000 lah. Plis. Situ niat nawar atau malak sih?
Hampir semua orang—saya kira—kalau beli barang ingin sekali minta diskon atau nawar harga barang. Biasanya sih yang begini ibu-ibu, meski tidak dipungkiri ada juga bapak-bapak yang melakukannya.
Hanya saja, sebagai seorang yang sudah expert atau ahli di bidang perniagaan (sebut saja jaga toko) saya suka makan hati jika sampai ada pembeli yang nawarnya sampai kebangetan tanpa visi dan misi yang jelas.
Saya tahu, kebudayaan tawar-menawar itu sudah ada sejak zaman nenek moyang. Saya belum jadi kromosom saja hal ini saya yakin sudah turun-menurun diwariskan dari generasi ke generasi.
Sebagai seorang ahli di bidang perniagaan bidang penyedia perangkat pendidikan dan peradaban (alias jaga toko buku tulis) saya pun hampir setiap hari mengalami hal itu.
Di toko majikan saya, harga buku yang dijual sudah mendapatkan diskon 10-20% dari harga aslinya, ya karena emang dari distributor dan penerbitnya ngasih diskon segitu. Walaupun sudah ada nawarannya sekian persen, saya heran kok tetap saja ada saja yang ngotot minta dikurangi lagi harganya.
Ha mbok kira iki tokone mbahmu po piye?
Selain apa yang saya alami, beberapa toko lain ada juga yang minta nawar. Di samping “kantor” saya misalnya, ada toko sepatu yang harganya sudah cukup murah dibandingkan toko-toko sepatu yang sejenis. Hanya saja, staf ahli bidang keuangan perusahaan tersebut (alias kasir) sempat curhat sama saya. Dia bilang:
“Masa sepatu anak harganya 50 ribuan ditawarnya 10 ribuan? Katanya di pasar ada harganya segitu. Itu sepatu jenis apaan harga segitu? Sepatu karung goni?”
Itu nawar atau malak sih sebenarnya?
Pada hari lain, pernah seorang ibu-ibu beli buku tulis satu kardus di toko saya. Saat saya menyebutkan harga satu kardus buku tulis tersebut ibu-ibu tersebut nyeletuk,
“Ha, kok mahal sih, Mbak? Itu di toko sana lho Mbak malah lebih murah daripada di sini.”
“Lah terus napa malah beli di sini kalau tahu di sana lebih murah, Setan?” kata saya marah-marah dalam hati, meski yang keluar di mulut saya adalah kalimat lembut, “Maaf, Bu, emang kalau kulakan di sini harganya segitu. Saya cuma jualin aja, Bu. Maaf ya Bu?” Sambil tersenyum palsu.
Saya nggak tahu kenapa ada saja orang yang tega menawar sampai kebangetan seperti itu. Apalagi jika kekesalan harga yang menurut mereka mahal ditumpahkan ke staf ahli niaga kayak saya. Kalau mau marah, sama pemilik modal, plis. Kenapa ke saya?
Saya paham, memang ada kredo keramat bahwa: pembeli adalah raja penjaga toko adalah hamba sahaya, dan biasanya kredo ini bakal jadi tameng para pembeli. Padahal kalau mau dipikir-pikir lagi, mana ada raja yang beli buku tulis satu biji sampai nawar ngotot, itu raja cap apaan? Raja nawar?
Padahal kalian juga tahu. Semua pembeli di toko saya itu gajinya berlipat-lipat di atas gaji saya dan teman-teman saya setiap bulan. Beberapa ada yang pakai mobil dan motor yang bagus dan masih kinclong. Gelang dan kalung emas nempel terus kayak sudah dilas permanen, ya kelihatan sudah tajir mampus begitu lah.
Akan tetapi ketika ditawarkan barang paling murah dari saya, rata-rata mereka selalu punya dua jurus.
Jurus pertama: “Ada yang lebih murah lagi, Mbak?”
Lalu saya akan jawab dengan senyuman, “Nggak ada, Bu. Itu yang paling murah.”
Jurus kedua: “Diskon berapa ini?”
Lalu saya akan jawab, “Diskon, diskon, mbahmu kiper,” tentu saja kalimat itu meluncur mulus cuma dalam hati, yang keluar dari mulut adalah, “Kebetulan lagi nggak diskon, Bu,” sambil tersenyum.
Memang betul, harus saya akui, ada banyak toko yang jual barang harganya mahal kebangetan karena mau ambil untung banyak. Meski begitu ada lebih banyak toko yang jual barang harga miring dan ambil untung dikit karena ingin mempertahankan pelanggan.
Kalau ada yang nyeletuk, “Ya namanya jualan ya sudah resiko lah kalau ditawar, Mbak? Nggak mau ditawar ya udah sih nggak usah jualan.”
Eit, di sini saya bukannya nggak setuju dengan budaya tawar-menawar. Itu kegiatan yang wajar dan malah menambah asyik dunia perniagaan ini. Di satu sisi saya sangat suka kegiatan ini, tapi tidak jika kegiatan tersebut dilakukan dengan sewenang-wenang.
Masalahnya begini lho, kalau harga barang Rp50.000 ya saya mohon pengertiannya jangan sampai nawar jadi Rp10.000 lah. Plis. Nawar itu ya kalau bisa jangan sampai setengah dari harga penawaran. Kalau harga Rp50.000 ditawar Rp30.000 masih masuk akal lah.
Lah minta potongan kok sampai 70 persen ke atas? Ini pemalakan berkedok pergi tapi kuping dipasang frekuensi tinggi untuk denger teriakan dari si penjual, “Ya udah deh nggak apa-apa harga segitu.”
Apa iya mereka ini nggak mikir? Pemodal saya (alias majikan) kalau lagi kulakan itu belinya nggak pakai uang monopoli tapi pakai uang beneran?
Kadang ada barang yang ngambil untungnya dikit biar cepet habis atau nggak ambil untung sama sekali karena ada barang yang cacat. Apalagi kalau di toko buku saya ini distributornya pakai cara konsinyasi: alias jual barang dulu, baru setor uang.
Lah, kalau penjual-penjual semua pakai sistem kayak di toko saya dan kamu, kamu, kamu nawar harganya sampai mepet ke harga yang harus kami setor ke distributor, apa iya kami bakal bisa hidup dari situ?
Padahal, dari uang-uang keuntungan itulah, yang akan mengalir ke gaji pegawai (ya kami ini), sewa kios, bayar wifi, bayar listrik, bayar pajak, sampai bayar jatah preman. Eh.
Nah, kalau mainset nawar kebangetan nggak beraturan random banget macam gitu. Lalu kalau nggak diturutin mutung terus lari ke toko lain yang ternyata harganya sama saja, tapi karena udah kadung gengsi nggak mau bali ke toko kami, ya wajar dong kalau lama-lama saya kesel juga.
Terus jadi bayangin kemungkinan terburuk ke mana-mana.
Wah, bisa-bisa toko saya bakal gali lubang tutup lubang terus alias nombok. Dan pada akhirnya bisa bangkrut dan tutup. Lalu saya kena PHK.
Mamam.
Duh, kerja halal kok gini amat. Jadi kepikiran mau kirim CV buat jadi anggota DPR aja kali yak? Enak tuh kayaknya, bolos kerja aja katanya tetep dibayar utuh.
Btw, kantor HRD-nya DPR buka tiap hari kan ya?