Menjawab Keluhan Megawati terhadap Pengajaran Sejarah di Sekolah

Megawati berharap pelajaran sejarah bisa meningkatkan jiwa patriotisme bangsa.

Menjawab Keluhan Megawati terhadap Pengajaran Sejarah di Sekolah

Ilustrasi Megawati (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO Keluhan Megawati soal pelajaran sejarah di sekolah tak keliru. Namanya anak, pasti ingin perjuangan bapaknya semakin dikenang semua orang.

“Sejarah perjuangan harus, harus, harus, harus, harus, harus masuk ke dalam pelajaran di pendidikan kita. Harus, harus, harus, harus, harus diceritakan oleh para orang tua kita. Tidak ada yang lain.”

Kata “harus” yang muncul dalam kutipan di atas memang benar berjumlah sebelas.

Itu bukan typo saat mengetik tulisan ini. Bukan pula semacam kegagapan dari sosok yang saya cuplik ucapannya karena yang bersangkutan gugup pas bicara. Lha yang saya cuplik kutipannya ini Megawati Sukarnoputri lho.

Kata-kata Megawati tadi tepatnya saya kutip dari antara pidatonya dalam momen HUT ke-49 PDI Perjuangan. Kanal YouTube PDI Perjuangan menyiarkannya secara langsung pada Senin, 10 Januari 2022.

Sebagai salah seorang politisi paling senior yang sudah jadi ketua umum partai politik hampir 30 tahun, urusan pidato tentulah urusan mendarah-daging sehari-hari. Saya sih yakin bahwa berpidato bagi Megawati adalah segampang kita meracik teh panas bermodal teh celup, menyeduh kopi sasetan, atau memasak mie instan.

Megawati, Nugroho, dan Fuad

Pengulangan “harus” sampai sebanyak sebelas kali itu tentu wujud penekanan secara hiperbolis oleh Megawati atas wacana yang diusungnya. Pada pidatonya pada 10 Januari lalu, Megawati kurang lebihnya sempat berkeluh kesah tentang bentuk pengajaran di pelajaran sejarah di sekolah sejauh ini.

Megawati menganggap pengajaran soal sejarah di sekolah masih kurang optimal dalam membentuk ingatan kolektif yang kuat tentang perjuangan para pahlawan dalam menghadirkan kemerdekaan.

Jika Nugroho Notosusanto masih hidup dan mendengar pidato Megawati, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1983-1985 sekaligus sejarawan pemilik pangkat tituler militer Brigjen TNI ini rasanya bakal tersenyum.

Guru besar sejarah Universitas Indonesia (UI) yang pernah lama menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI tersebut pada 1984 pernah meluncurkan kebijakan tentang memasukkan sebentuk pengajaran sejarah yang pernah diidealkan bakal menghasilkan generasi muda berpemahaman patriotik.

Pengajaran sejarah ala Nugroho tersebut bertitel PSPB. Singkatan empat huruf tadi tepatnya memiliki nama panjang “Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa”.

Nah, PSPB versi racikan awal Nugroho segera memantik kontroversi serta memancing gelombang kritik. Kegaduhannya kian membesar begitu Nugroho meninggal di tengah masa jabatannya sebagai Mendikbud.

Jika disimpulkan kontroversi PSPB racikan awal Nugroho terangkum dalam empat hal utama.

Pertama, materi ajarnya memuat tudingan miring bahwa Sukarno menerima komisi-komisi dari perusahaan-perusahaan asing hingga jutaan dolar dan itu disimpan di berbagai bank di luar negeri.

Kedua, start linimasa sejarah yang dipilihkan oleh Nugroho adalah sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Ketiga, bobot pengajaran PSPB yang terasa condong sekali ke perjuangan bersenjata.

Keempat, pengajaran PSPB cenderun tumpang tindih dengan pengajaran Sejarah Nasional, Pendidikan Moral Pancasila, hingga materi-materi Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Hal-hal kontroversial dari PSPB tadi diperbaiki dengan berbagai langkah kebijakan Mendikbud yang menggantikan Nugroho, yakni Fuad Hassan.

Start linimasa sejarah yang diajarkan dalam PSPB diubah menjadi sejak kedatangan bangsa-bangsa Asing, bukan lagi sebatas berstart dari Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagian tudingan miring terhadap Sukarno dihilangkan pula dari materi ajar.

Selengkapnya perihal kontroversi PSPB ala Nugroho sang sejarawan militer antara lain diuraikan oleh MF Mukthi dalam tulisannya yang berjudul “Skandal PSPB” yang diunggah oleh Historia pada 31 Desember 2018.

PSPB yang diinisiasi Nugroho Notosusanto dan banyak diperbaiki Fuad Hassan nyatanya hanya menjadi pelajaran sekolah bagi siswa-siswa Indonesia selama 10 tahun, yakni 1984-1994. Begitu masuk ke masa jabatan Mendikbud Wardiman Djojonegoro, PSPB pun dileburkan ke pelajaran Sejarah Nasional.

Ini kurang lebih berbarengan dengan perubahan Kurikulum Pendidikan Nasional dari Kurikulum 1984 ke Kurikulum 1994.

Neo-PSPB 

Namun, lepas dari soal kontroversinya selama dirumuskan dan diinisiasi oleh Nugroho Notosusanto maupun selama diteruskan penerapannya oleh Fuad Hassan, saya secara pribadi bukan pihak yang benar-benar kontra dengan bentuk pengajaran sejarah semacam PSPB.

Keluh kesah Megawati soal pengajaran sejarah di sekolah yang diharapkannya lebih dapat meningkatkan patriotisme menurut saya ya sebenarnya tidak benar-benar keliru. Memang sih beberapa orang mungkin akan mengkhawatirkan keluh kesah Megawati pada 10 Januari lalu itu sebagai bagian upaya untuk menambah dosis kultus terhadap Sukarno, ayahnya.

Secara pribadi, saya mengidamkan apa yang boleh saya sebut sebagai Neo-PSPB. Ini adalah semacam versi PSPB yang ideal versi saya. Sudah tak sedangkal yang dirumuskan Nugroho Notosusanto. Lebih baik dari versi perbaikan oleh Fuad Hassan. Tentu saja juga tak cuma berisi kultus terhadap satu-dua tokoh tertentu.

Saya membayangkan Neo-PSPB versi saya adalah sebuah pelajaran yang materinya mampu menjadi komplemen bagi Pelajaran Kewarganegaraan maupun Pelajaran Agama. Ini karena sejarah kan sebenarnya berisikan peristiwa-peristiwa nyata yang bisa menjadi teladan para siswa.

Harapannya para siswa yang belajar Pelajaran Kewarganegaraan dapat menemukan contoh-contoh nyata perilaku hidup mulia dari keunggulan karakter para tokoh sejarah. Ini karena di saat beriringan ada pelajaran sejarah yang isinya meng-highlight perjalanan hidup tokoh-tokoh besar bangsa dengan perilaku-perilaku terpuji mereka.

Yang belajar Pelajaran Agama pun selain menebal pengetahuan agama dan keimanannya pun tetap dapat menjadi sosok-sosok toleran. Ini karena secara beriringan ada pelajaran sejarah yang mampu menunjukkan bahwa tokoh-tokoh besar bangsa ternyata berasal dari berbagai latar belakang agama dan mereka itu bersedia saling bekerja sama.

Saya pun membayangkan Neo-PSPB versi saya dapat pula menjadi semacam pelajaran pengenal dasar-dasar logika secara runtut. Lagi-lagi menggunakan contoh-contoh nyata peristiwa faktual dalam perjalanan sejarah bangsa.

Apa bayangan saya tentang Neo-PSPB yang ideal ini adalah semacam utopia? Sepertinya sih iya.

Apalagi kalau ketua dewan pengarah tim riset nasional juga beliaunya. Ibu suri tauladan bagi kita semua.

BACA JUGA Jurnal Ibu Mega yang Teliti Diri Sendiri Adalah Oase bagi Mahasiswa dan tulisan Yosef Kelik lainnya.

Penulis: Yosef Kelik

Editor: Ahmad Khadafi

Exit mobile version