Suatu kali budayawan Emha Ainun Najib bikin acara obrolan bersama. Di situ, selain hadir segenap “ummat” Cak Nun, juga hadir banyak orang lintas agama. Ada pastur berikut para suster, pendeta Protestan, para bhiksu dan bhiksuni, dan lain-lain.
Saking aneka warnanya pemeluk keyakinan yang datang, Cak Nun nyeletuk, “wah ini malaikatnya pada pusing ini, gimana mau mencatat kebaikan orang-orang ini?” Hadirin tertawa.
Semua boleh ketawa. Tapi mendengar celetukan Cak Nun itu tadi, beberapa orang yang entah pada malam itu lagi ngapain, kemudian lempar komentar. Lewat media sosial, juga lewat media resmi mereka. “Cak Nun ngawur! Lha wong malaikat itu jelas-jelas makhluk Allah yang tidak bisa khilaf, diciptakan memang untuk tunduk total kepada Allah, masak dibilang malaikat bingung?? Cak Nun ini paham agama enggak sih? Jelas pernyataannya itu menunjukkan kesesatan cara berpikirnya!”
Kurang lebih begitu kejadiannya. Membaca komentar-komentar galak tadi, saya speechless habis. Sampai bingung mau menghadirkan sudut pandang saya seperti apa. Yang bisa saya sampaikan cuma komentar paling bernas, tajam, ilmiah, akuntabel, tapi hanya terdiri dari dua kata saja, yaitu: “Capek deeeeeh…!”
Ketika beberapa hari ini ramai kasus Florence Sihombing, saya teringat dengan peristiwa celetukan Cak Nun dan respons beberapa orang istimewa itu. Memang pola keduanya nggak mirip-mirip amat sih. Tapi yang kita lihat adalah pemandangan yang sama, banyak orang cenderung berlebihan dan membabi-buta.
***
Pernah suatu ketika di sebuah kontrakan lusuh di bilangan Sagan, Yogyakarta, saya dan teman-teman semalaman suntuk mendiskusikan definisi ‘wagu’. Kami gagal. Rapat Badan Bahasa Sagan mengalami deadlock. Alih-alih menemukan rumusan makna yang memuaskan atas istilah itu, kami malah terlalu produktif menyusun contoh-contoh manusia wagu. Mereka adalah teman-teman kami sendiri, yang tentu saja nggak ikut hadir di forum malam itu.
Dan sekarang, sekelompok orang yang menyeret Florence Sihombing ke penjara itu masuk ke dalam daftar kami. Entah apa istilah akademis yang cocok buat mengkategorisasi sikap-sikap mereka itu, yang jelas saya pribadi meyakini istilah ini memang paling pas buat orang-orang LSM Jatisura dan sejenisnya: W-A-G-U. Gak jauh beda dengan orang-orang galak yang menghujat Cak Nun karena celetukannya soal malaikat.
Nah, kalau kategorisasi orang-orang itu sekabur ‘wagu,’ satu istilah paling absurd se-KBBI, lalu apa Sampeyan kira saya akan bisa memberikan analisis ndakik-ndakik atas semua ini? Ya enggak lah. Otak saya gak nyandhak. Wagu ya wagu. Nggak usah dicerna pakai nalar, cukup dirasa-rasakan saja seberapa level kewaguan orang-orang itu.
Ketika mereka ngamuk karena dibilang bodoh, sampai-sampai menyeret Flo biar dipenjara, mereka lupa bahwa makian bodoh jugalah yang dulu justru melambungkan nama Jokowi. Waktu itu Jokowi diomeli dengan sebutan “walikota bodoh” oleh Gubernur Jateng Bibit Waluyo, gara-gara Jokowi menolak merobohkan pabrik es kuno Saripetojo untuk dibikin mall.
“Ya memang, saya ini bodoh,” begitu Jokowi menjawabnya. (Makhluk ini emang ajaib dan lunyu tenan).
Dengan menggunakan prinsip Aikido, ‘menyerang dengan tenaga lawan,’ Jokowi berhasil menjadikan omelan Bibit Waluyo sebagai bumerang. Bibit roboh akibat ocehannya sendiri, yang dipantulkan oleh kelicinan Jokowi. Dan sekarang.. Lihat tuh, Jokowi jadi presidenmu kan?
Orang-orang LSM Jatisura itu nggak jeli belajar dari fenomena Jokowi. Mereka nggak paham marketing, nggak pernah salaman sama Hermawan Kertajaya, nggak pernah sarapan ilmu strategi, dan kemungkinan nggak ada yang pinter main catur apalagi Dragon City. Pinginnya asal tubruk saja atas nama membela harga diri.
Sudahlah, saya nggak mau ikutan komen lebih jauh, nanti saya ikutan ditubruk juga. Mereka boleh saja melaporkan Flo ke Pak Polisi dengan bekal UU ITE. Tapi satu yang pasti: mereka itu wagu. Wagu puooool.
***
Minggu pagi kemarin, saya nulis di dinding fesbuk saya. Begini:
“Alur ceritanya simpel kok. Florence Sihombing bilang orang Jogja tolol dan tak berbudaya. Nah, orang-orang yang nyeret cewek itu ke polisi sedang memberikan bukti, bahwa kata-kata Florence memang benar adanya. Sesederhana itu.”
Dua teman saya berkomentar di sana. Darmanto Oloan Sitompul, seorang petani progresif, dan Purnomo Trilaksono, juragan perhiasan merangkap penggemar Soto Kemangi. Keduanya bilang kalau status fesbuk saya itu cerdas dan brilian.
Ya Tuhan, saya dibilang cerdas dan brilian. Saya berencana mempolisikan Darmanto dan Purnomo.