Menjadi Guru di Pelosok: Sedikit Lucu, Banyak Nggaplekinya

seni menjadi guru riyan putra setiyawan guru sd desa bodeh randublatung blora cerita guru pengalaman guru cerita lucu siswa cerita lucu guru sd

seni menjadi guru riyan putra setiyawan guru sd desa bodeh randublatung blora cerita guru pengalaman guru cerita lucu siswa cerita lucu guru sd

MOJOK.COGuru SD ini membagikan pengalamannya menjadi pendidik di pelosok Blora, Jawa Tengah. Kisah-kisah yang menerbitkan perasaan kasihan, geli, marah sekaligus.

Hari ini ada salah satu anak yang tidak mengerjakan PR. Alasannya, dia semalam membantu orang tuanya ngangsu, mengambil air. Katanya, kalau dia ngambil airnya sore, sering nggak kebagian. Makanya harus ngambil airnya pas malam, pas sepi antrian. Mendengar pengakuannya, saya kok jadi terenyuh. Mau dibiarkan kok ya melanggar aturan, mau diberi hukuman kok ya kasihan. Tapi bila menimbang bahwa sekarang musim kemarau, air memang jadi primadona. Kehadirannya lebih ditunggu dibanding PR dari Pak Guru.

Di Blora musim kemarau ini, sumber air di sumur-sumur sudah banyak yang kering. Sementara PR dari bapak ibu guru ndilalah terus nyumber, melimpah ruah. PR itu, kalau kata para siswa, ibarat kasih ibu yang tak terhingga sepanjang masa. Hari ini ada, besok ada lagi. PR sudah dikerjakan, besok tumbuh PR yang lain lagi. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pada akhirnya saya putuskan untuk tidak menghukum si anak. Batin saya, nggak apa-apa lah nggak ngerjain PR, asal aroma kalian wangi karena rajin mandi. Daripada kalian mengerjakan PR tapi tubuh kalian penuh daki.

Bila dihitung-hitung, bukan cuma kasus di atas saja yang pernah membuat saya geleng-geleng kepala. Sudah beberapa kali saya menghadapi kasus serupa, dan tidak tahu harus merespon apa. Antara kasihan, geli, marah, bercampur menjadi satu.

Pernah satu hari ada siswa yang menabung dengan nominal yang cukup besar. Umumnya siswa di sekolah hanya menabung dengan nominal antara seribu sampai sepuluh ribu rupiah tiap minggunya. Maka ketika ada siswa yang menabung hingga 250 ribu, saya jadi heran. Lha wong isi dompet saya saja nggak sebanyak itu kok. Saya kemudian bertanya.

Kok tumben nabunge akeh, duit sunat wingi ya?” tanya saya kepada Daffa. Kok tumben nabungnya banyak, uang sunat kemarin?

Mengingat dia baru sunat beberapa minggu yang lalu, bisa jadi duit ini adalah sisa duit sumbangan dari para tamu. Daffa hanya menggeleng pelan sambil menjawab, “Ora, Pak. Asu.

Nggak, Pak. Anjing. Itu jawabannya.

Iya, dia baru bilang asu. Saya kaget dan setengah tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Masak iya ini anak baru saja ngatain saya asu? Kan kampret tho.

Biar tidak salah paham, saya minta dia untuk mengulang lagi kata-katanya. Dan ternyata benar, dia baru saja mengatakan anjing di hadapan saya.

Matane. Wedhus tenan bocah iki, saya mengumpat dalam hati. Ditanyai baik-baik kok saya malah dimaki. Untung belum sempat saya tabok bocah ini karena sesaat kemudian Daffa meneruskan jawabannya, “Itu uang anjing, Pak. Kemarin saya baru jual anjing.”

Waktu itu saya kaget bukan main. Tapi setelah dijelaskan pelan-pelan, saya baru paham kalau Daffa memelihara anjing di rumah. Dan ketika anjingnya sudah agak besar, anjing tersebut dijual. Mau dibuat sate, katanya. Nah hasil penjualan anjing tersebut, uangnya sebagian besar ditabung dan sebagian kecil dimasukkan kotak amal.

Jangan heran. Di sini kebanyakan keluarganya memang memelihara anjing. Meskipun mayoritas dari mereka beragama islam dan menjalankan sholat lima waktu, tapi pemandangan anjing di halaman rumah masih sering dijumpai. Tidak hanya dipelihara sebagai penjaga ternak, kadang-kadang anjing ini juga dikonsumsi dan diperjualbelikan seperti punya Daffa tadi. Saya tahu nama tempat yang menjual daging anjing ini, tapi rasanya tidak etis lah bila saya ceritakan. Lagi-lagi saya tidak bisa banyak berkomentar tentang peristiwa ini. Yang bisa saya lakukan hanyalah mengingatkan para siswa yang muslim untuk tidak mengonsumsi daging anjing.

Lain Daffa, lain pula dengan Sutrisno, bukan nama sebenarnya. Ceritanya, murid kelas 6 ini hendak izin tidak masuk sekolah karena mau sunat. Kalau masalah sunat sih sebenarnya tidak ada yang ganjil. Sah-sah saja apalagi bagi yang muslim. Cuma masalahnya dia itu sunatnya tidak tepat waktu. Ah, sudah kayak novel buatannya Mas Puthut EA aja ya, sunat yang tak pernah tepat waktu.

Di antara hari-hari yang tersedia selama setahun, si Sutrisno ini milih sunat pas ujian berlangsung. Iya pas ujian berlangsung. Mencengangkan bukan? Di mana nalarnya coba? Manakah yang lebih penting, sunat atau ujian?

Kalau Daffa itu masih mending, sunatnya pas belum ujian. Lha kalau Trisno? Sebagai guru kelas, untuk formalitas saya sudah mengingatkannya. Saya juga sudah katakan bahwa sunatnya mending diundur saja sampai ujiannya selesai. Tapi saran saya tidak digubris. Dia tetap melangsungkan prosesi sunatan, dengan atau tanpa restu saya. Sungguh nggapleki. Menjengkelkan.

Katanya Si Trisno, orang tuanya sudah menghitung hari baik untuk dia khitanan. Dan ndilalah hari baik itu ngepasi hari ujian. Jadi bila harus memilih, si Trisno lebih memilih sunat ketimbang ujian. Nasi uduk sudah menyebar ke rumah sanak famili, pantang bila jadwal sunat direvisi. Meskipun saya jengkel setengah mati, saya tetap mendoakan sunatannya dia berhasil. Cukup ujiannya saja yang diulang, sunatannya jangan.

BACA JUGA Anak-anak Dijejali Buku Harga Jutaan, Si Mamah Referensinya Cuma Felix Siauw atau artikel Riyan Putra Setiyawan lainnya.

Exit mobile version