Meninjau Kelompok Makan Bubur Diaduk atau Tidak dari Syariatnya

MOJOK.COKalau ditinjau dari syariatnya, bagaimana ya, memutuskan manakah yang terbaik antara makan bubur diaduk atau tidak?

Paska kampanye akbar paslon 02 di GBK beberapa waktu lalu. Muncul kembali perdebatan tentang mana yang lebih utama dalam mengkonsumsi panganan yang disebut bubur. Apakah makan bubur diaduk? Atau harusnya tidak? Hal ini dikarenakan, terlihat adanya spanduk yang mengatasnamakan kedua komunitas tersebut yang kompak mendukung Prabowo dan Sandi.

Saya sendiri, tidak berafiliasi kepada kedua kelompok itu. Pasalnya, saya sendiri berasal dari komunitas yang nggak mentingin makan bubur diaduk atau nggak. Yang terpenting adalah, makannya bareng sama siapa?! Saya pernah membaca ulasan dari seseorang yang katanya lulusan fisika dan mengatakan bahwa komunitas makan bubur diaduk dibangun dari dasar logika yang kuat.

Berangkat dari situ, saya juga mau mengulas dari tinjauan syaiat mengenai apakah baiknya makan bubur diaduk atau tidak. Kenapa harus bawa-bawa syariat dalam urusan makan bubur ini? Ya, kalau syariat aja boleh dibawa-bawa dalam urusan kampanye. Kenapa saya nggak boleh bawa syariat dalam urusan bubur?

Ingat, Saudara, bahwa sandang, pangan, dan pasangan eh papan, adalah kebutuhan asasi manusia. Dan makan bubur merupakan sub bab dalam permasalahan pangan ini.

Pada dasarnya, perkara ini adalah perkara duniawi. Jika demikian, maka segala inovasi yang dihasilkan demi menimbulkan kenyamanan hukumnya diperbolehkan. Ini sesuai dengan hadis riwayat Imam Muslim. Nabi Muhammad sholallahu alaihi wasallam pernah berkata, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”

Jadi, selama ini urusan dunia, maka sah-sah saja kalau cara makan bubur diaduk atau tidak. Apakah selesai? Tentu tidak. Biar tulisan ini agak panjang dan sesuai standar tim redaksi mojok. Maka saya kan mencoba mengulas kedua mazhab tadi berbekal dari ilmu yang saya punya.

Dalam ushul fiqih dijelaskan bahwa, masing-masing mazhab itu mempunyai karakteristik yang unik dan berbeda dari mazhab yang lain. Kita ambil contoh yang ada di dalam mazhab Imam Malik. Sudah diketahui bahwa hanya dalam mazhab Imam Malik, terdapat istilah amal ahli Madinah.

Apakah amal ahli Madinah itu? Amal ahli Madinah adalah perbuatan penduduk Madinah. Jadi, jika ada suatu Khobar ahad (riwayat hadis yang dibawakan beberapa orang) menyelisihi amalan penduduk Madinah tersebut. Maka Khobar tersebut otomatis tertolak.

Kenapa? Pasalnya, penduduk Madinah merupakan keturunan para sahabat yang dahulu menemani Rasulullah. Para sahabat dahulu melihat proses turunnya wahyu. Mereka juga sering bertemu, berinteraksi, dan melihat bagaimana cara Rasulullah hidup. Kemudian hasil interaksi tersebut diwariskan kepada generasi setelahnya. Oleh karena itu, Imam Malik menganggap bahwa amal ahli Madinah lebih utama untuk diamalkan daripada Khobar ahad tadi.

Nah dalam urusan bubur ini. Setidaknya kita harus tahu dari daerah mana bubur itu berasal. Dari hasil gugling saya, katanya, bubur itu berasal dari Cina, ketika mereka masih berada dalam suasana kekaisaran.

Jadi kesampingkan dulu bubur itu diaduk atau tidak. Lihat dulu apakah Anda ini anti aseng atau tydaq? Jika iya, maka sarapan dengan ketupat sayur yang terasa lebih pribumi, jauh lebih utama bagi Anda ketimbang sarapan dengan bubur ayam.

Balik lagi ke pembahasan awal. Kalau perlu, kedua kubu mengadakan studi banding serta napak tilas tentang bubur itu sendiri di daerah asalnya secara langsung. Lalu adakan observasi, apakah cara makan bubur warga di sana dengan diaduk atau tidak? Jika sudah didapatkan hasilnya maka itulah hujjah atau dalil yang berlaku bagi semua pihak.

Yang kedua, tanyakan langsung kepada penjualnya alias si tukang buburnya. Apakah ikatan pengusaha bubur ayam ini sudah membuat ijtima yang menghasilkan keputusan tentang makan bubur ayam dengan cara tertentu? Jika belum, sebagai konsumen kita mempunyai hak bahkan wajib untuk menagihnya.

Oleh karena penjual bubur jauh lebih mengetahui tentang buburnya itu sendiri. Ibarat dalam dunia fikih, tukang bubur adalah mufti. Seorang mufti tentu jauh lebih mengerti tentang dalil- dalil permasalahan agama ketimbang kita yang awam ini. Lantas, siapakah awam dalam hal makan bubur ini? Ya, tentu kita semua sebagai pembeli.

Ungkapan yang terkenal dalam dunia ushul fiqih adalah mazhab awam adalah mazhab muftinya. Asy Syatibi menerangkan bahwa keputusan mufti ibarat dalil syar’i bagi masyarakat awam. Ini juga sesuai dengan ayat Al-Quran, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahuinya.”

Dikarenakan orang yang paling mengetahui tentang bubur itu sendiri adalah si penjualnya. Maka, saya menghimbau kepada seluruh penikmat bubur. Alangkah baiknya bagi Anda, selain menanyakan harga buburnya berapa, tanyakan juga kepada abang-abangnya, “Bang, ini makannya menurut abang lebih enak diaduk atau nggak? Jika beliau bersedia menjawab, maka genggam erat-erat jawaban tersebut walau seluruh manusia menyelisihi Anda.

Yang ketiga, ikuti mazhab jumhur. Dalam literatur fikih, tidak selamanya mazhab jumhur atau mayoritas merupakan pendapat yang benar. Namun mazhab jumhur bisa menjadi qorinah alias indikasi bahwa pendapat ini lebih sesuai daripada pendapat selainnya. Ada ucapan dari sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud. Beliau pernah bilang, “Apa-apa yang dipandang kaum muslimin baik maka di sisi Allah juga baik. Dan apa-apa yang dipandang mereka buruk, begitu pun di sisi Allah juga buruk.”

Untuk itu, kedua kubu harus segera melaksanakan survei, untuk mencari tahu manakah yang lebih banyak jumlahnya. Apakah yang makan bubur diaduk atau tidak? Baiknya, survei dilakukan secara patungan oleh kedua kubu, agar konflik kepentingan selama proses survei berlangsung bisa dihindari. Pilih juga lembaga survei yang aseli dan ori, bukan kaleng-kaleng yang akhir-akhir ini banyak bermunculan menjelang pemilu.

Exit mobile version