Surat Terbuka kepada Edwin Lau, Seorang Chef yang Bilang bahwa Mengurus Kesehatan Mental Adalah Perilaku Manja

Anggapan yang menilai generasi veteran perang sebagai generasi terbaik karena ketahanan mental mereka adalah tidak tepat.

Surat Terbuka kepada Edwin Lau, Seorang Chef yang Bilang bahwa Mengurus Kesehatan Mental Adalah Perilaku Manja MOJOK.CO

Ilustrasi Chef Edwin Lau yang "meremehkan" kesehatan mental anak zaman sekarang. (Mojok.co/Ega fansuri)

MOJOK.COHalo, Edwin Lau, manusia itu bermacam-macam dan masing-masing dari kita punya masalah yang berbeda. Kita juga punya takaran berbeda ketika menghadapi kesehatan mental.

Lagi dan lagi, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental justru dimentahkan. Kali ini oleh Edwin Lau. Dia adalah seorang chef atau koki dengan followers Twitter cukup banyak. Kenapa, sih, suka banget membanding-bandingkan generasi? Seakan-akan semua hidup dalam konteks dan zaman yang sama.

Jadi, Edwin Lau ini bilang bahwa upaya generasi muda masa kini dalam menjaga kesehatan mental adalah sebuah perbuatan manja. Apa yang dia sampaikan, dari berbagai sudut pandang, jelas merupakan sebuah kesalahan berpikir.

Di akhir caption Instagram, Edwin Lau menyebutkan bahwa generasi muda masa kini mungkin akan ditertawakan oleh generasi terdahulu yang lahir di tahun 1901 sampai 1927. Dia menganggap mereka yang lahir di tahun-tahun itu sebagai The Greatest Generation. Edwin Lau mengamini wacana arus utama yang menyatakan bahwa generasi tersebut dianggap the greatest karena kekuatan mental mereka yang luar biasa di zaman Perang Dunia.

Sayangnya, ketika mengutip kalimat tersebut, si koki lupa membaca referensi lain sebagai pembanding. Padahal, sudah ada banyak buku dan artikel yang menyebutkan bahwa generasi kelahiran tahun 1901 hingga 1927, yang pergi berjuang di Perang Dunia mengalami trauma luar biasa. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh Bessel van der Kolk (2014) yang berjudul The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma.

Pada bab pertama buku tersebut, Kolk membahas bagaimana veteran AS dari Perang Vietnam mengalami trauma pascaperang yang luar biasa dan berkepanjangan. Psikiater pada masa itu pun kesulitan untuk mengidentifikasi permasalahan kesehatan mental yang mereka alami karena terbatasnya referensi terkait. 

Hingga akhirnya, pada 1980, setelah serangkaian observasi dan penelitian, dua orang ahli psikoanalisis dari New York bernama Chaim Shatan dan Robert J. Lifton, melobi American Psychiatric Association untuk menambahkan satu diagnosis baru untuk menjelaskan trauma hebat yang dialami oleh veteran Perang Vietnam ini, yaitu PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Ditemukannya PTSD sebagai kerangka konsep baru dalam dunia psikiatri kala itu memudahkan para ahli untuk mengeksplorasi penanganan yang tepat dan efektif bagi trauma dan kesehatan mental yang dialami veteran perang.

Dari sana, kita bisa melihat bahwa anggapan yang menilai generasi veteran perang sebagai generasi terbaik karena ketahanan mental mereka adalah tidak tepat. Pada kenyataannya, para veteran perang itu juga mengalami masalah kesehatan mental berupa trauma hebat. 

Hanya, keterbatasan referensi ilmiah terkait kesehatan mental membuat para ahli kesulitan untuk mengartikulasikan apa yang sebenarnya dialami oleh generasi tersebut. Lambatnya persebaran informasi juga membuat berita akan perkembangan dunia kesehatan mental, termasuk ketika pada akhirnya konsep PTSD ditemukan, tidak sampai kepada banyak orang.

Itulah hal-hal yang kemudian turut membangun narasi mengapa generasi terdahulu seolah lebih kuat mental dibandingkan generasi masa kini. Padahal, baik generasi terdahulu maupun generasi masa kini, kita sama-sama memiliki tantangan kesehatan mental masing-masing yang tidak perlu diperbandingkan. Membandingkan keduanya yang jelas-jelas hidup dalam konteks dan tantangan zaman berbeda justru merupakan sebuah kemunduran.

Lebih jauh, bagaimana Edwin Lau melabeli generasi masa kini sebagai strawberry generation yang mudah terluka dan sakit hati sungguh membuat gemas. Pelabelan yang dilakukan oleh Edwin Lau ini merupakan sebuah bentuk Fundamental Attribution Error atau dikenal pula dengan Correspondence Bias

Menurut Gilbert dan Malone (1995) Fundamental Attribution Error adalah kecenderungan kita untuk mengaitkan sebuah keadaan dengan karakter personal yang terlihat dari seseorang dan mengabaikan faktor lingkungan yang menyebabkannya. 

Dalam konteks ini, Edwin Lau melihat bahwa generasi masa kini sulit dikritik dan sedikit-sedikit membutuhkan healing. Lalu, si koki melabeli perilaku tersebut sebagai perilaku manja selayaknya strawberry generation

Padahal, kita tidak benar-benar tahu situasi apa yang sedang dialami seseorang. Dengan pengetahuan terbatas atas hidup orang tersebut, tentu tidak bijak untuk membebani seseorang dengan ekspektasi tentang apa yang idealnya dia lakukan ketika menghadapi tantangan atau kesulitan. Termasuk, dengan berekspektasi bahwa seseorang tidak boleh tersinggung atau sakit hati ketika menghadapi kritik.

Walaupun, para ahli seperti Beck (2013) sebenarnya sudah memperingatkan, bahwa orang-orang seperti Edwin Lau yang melakukan Correspondence Bias ini akan mudah kita temui. Hal itu karena bias-bias seperti ini menjadi jalan pintas yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih bersih ketika mengambil kesimpulan. Lebih cepat karena kita cukup menyimpulkan dari apa yang kita lihat, tanpa perlu memahami permasalahan secara holistik. Bahkan bisa dikatakan lebih mudah menghakimi dari yang kita lihat. 

Kita bisa langsung menyematkan kesalahan pada pihak lain tanpa perlu repot memikirkan faktor lain yang lebih signifikan yang menjadi penyebab situasi tersebut. Intinya, kita jadi ignorance terhadap kehidupan orang lain. Seakan-akan semua harus sesuai dengan ego dan kondisi hidup kita. 

Halo, Edwin Lau, manusia itu bermacam-macam dan masing-masing dari kita punya masalah yang berbeda. Kita juga punya takaran berbeda ketika menghadapi masalah. Kondisi ini tidak untuk dihakimi, tapi dimaklumi dan dihargai. Masalah kesehatan mental itu awet sepanjang zaman, kok. 

Lebih jauh, jika memang Edwin Lau ingin melihat generasi masa kini menjadi generasi yang resilien, maka bukan dengan melihat upaya menjaga kesehatan mental sebagai perilaku manja. Itu kontraproduktif dengan cita-cita resiliensi. Justru, kita harus ambil bagian untuk menciptakan ekosistem kondusif di mana seseorang bisa tumbuh menjadi resilien.

Ketika menempuh Master of Social Work di Columbia University, saya menemukan bahwa resiliensi tumbuh ketika seseorang atau komunitas memiliki faktor pelindung (protective factors) yang mampu melindunginya dari faktor risiko (risk factors). Faktor-faktor ini bisa hadir di tingkat individu, komunitas, atau bahkan secara sistemik. 

Contoh faktor pelindung adalah lingkungan keluarga yang harmonis, akses kepada sumber daya yang dibutuhkan, teman yang supportive, sistem ekonomi yang adil, dan sebagainya. Sedangkan, contoh faktor risiko adalah kondisi ekonomi keluarga yang lemah, orang tua yang tidak lagi utuh, ketiadaan support system, dan sebagainya.

Setiap orang atau komunitas memiliki faktor pelindung dan faktor risiko yang berbeda-beda terhadap kesehatan mental. Tetapi, kita selalu punya pilihan untuk menjadi faktor pelindung bagi orang-orang di sekitar kita sesuai dengan kapasitas yang kita punya. Termasuk dengan memberikan ruang bagi orang lain, misalnya generasi masa kini, untuk merawat kesehatan mentalnya tanpa mendapat stigma atau diberi label negatif.

Kalaupun Edwin Lau merasa bahwa upaya generasi masa kini dalam menjaga kesehatan mental sudah tidak pada tempatnya, platform dan basis massa yang kamu punya bisa digunakan untuk mengajak agar generasi masa kini rutin mencari bantuan tenaga ahli kesehatan mental alih-alih memberi stigma generasi stroberi. 

Jadi, pada akhirnya, self-diagnose atau healing yang tidak pada tempatnya bisa ditangani oleh ahlinya. Ingat ya, menjaga ketahanan mental suatu generasi adalah buah dari upaya kolektif generasi sebelumnya.

Semoga kamu bisa membaca tulisan ini lalu merenungkan semuanya. Nggak perlu minta maaf secara terbuka, sih. Cukup ucapkan itu dalam hati saja. 

Salam.

BACA JUGA Untuk Kamu yang Masih Nggak Percaya kalau Gangguan Kesehatan Mental Itu Ada dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Lili Nur Indah Sari

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version