Mengupas Sisi Kelam Purwokerto: Sisi yang Tidak Terlihat oleh Kamu yang Suka Meromantisasi Sebuah Kota

Purwokerto Punya Sisi Kelam yang Belum Terkuak MOJOK.CO

Ilustrasi Purwokerto Punya Sisi Kelam yang Belum Terkuak. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COMeromantisasi Purwokerto bisa jadi hal yang wajar karena mereka tidak mengetahui secara mendalam permasalahan yang terjadi sebenarnya. 

Saya akan membuka tulisan ini dengan sebuah deklarasi. Saya adalah orang Purwokerto asli, bukan pendatang, mahasiswa yang sedang studi, atau yang kebetulan sedang staycation. Pokoknya Bukan! 

Saya juga bukan orang Sumbang, Sokaraja, Wangon, Karanglewas, atau Kembaran yang mengaku-ngaku orang Purwokerto. Dua puluh empat tahun saya tinggal di sisi Timur, tidak jauh dari Pasar Wage, pasar terbesar di kota ini. 

Memang, saat ini saya tinggal dan berkarier di Jakarta. Seluruh keluarga saya juga tinggal Jakarta. Namun, saya masih sering pulang kampung. 

Mengapa saya membukanya dengan deklarasi? Sebab, saya ingin semua argumentasi yang akan saya paparkan ini sifatnya objektif dan tidak hanya selintas pandang. Saya tidak ingin pembaca terjebak pada romantisasi yang akhir-akhir ini mulai membesar gaungnya tentang kota ini. Terlebih setelah Pandji Pragiwaksono mengatakan bahwa Purwokerto tidak istimewa jogja, tapi lebih nyaman. Benarkah demikian? Nanti dulu. 

Sudah banyak artikel yang membahas bahwa Purwokerto tak seindah polesan media. Juga isu tentang upah rendah, biaya hidup mulai mahal, lapangan pekerjaan sempit, banyaknya tukang parkir, macet, dan sederet isu lainnya. 

Tenang, artikel ini tidak akan melakukan repetisi tema. Sebagai gantinya, saya akan memberikan perspektif baru yang menguatkan bahwa kota ini tak perlu diromantisasi. 

Fokus Pemerintah Purwokerto hanya pada pembangunan fisik 

Isu pemekaran wilayah sudah lama terdengar di Purwokerto. Skemanya adalah, Purwokerto akan menjadi kota administrasi yang terpisah dari Kabupaten Banyumas

Artinya, Purwokerto diproyeksikan tidak lagi menjadi ibu kota kabupaten, melainkan kota mandiri dengan sistem pemerintahan kota. Sepertinya gagasan ini bukan hanya kabar angin atau isapan jempol belaka. 

Kamu bisa melihat kalau pemerintah mulai membangun wilayah kota baru yang membentang dari depan SMP N 1, tidak jauh dari Alun-Alun Kota, hingga membentang ke selatan di Jalan Gerilya. Jalan baru ini diberi nama Jalan Soekarno-Hatta. 

Berdirinya Menara Teratai sebagai maskot menjadi tonggak ekspansi baru, khususnya menjadi kota yang lebih mandiri. Gedung DPRD nantinya akan pindah dari Jalan Masjid ke daerah ini. 

Lalu, Madhang Maning Park, gedung pujasera megah juga sudah. Ini menjadi sentra nongkrong dan makan masyarakat kota. Tak cukup sampai di situ, akan berdiri pula Masjid Seribu Bulan, yang entah bagaimana progres kelanjutannya, lalu juga ada Danau Retensi. 

Jika kita mencermati betul-betul, pemerintah tidak main-main untuk menjadikan kawasan ini sebagai wilayah kota baru. Makin elok karena akan mencakup semua lini kebutuhan masyarakat. Mulai dari pusat pemerintahan, ekonomi, rekreasi, dan budaya. 

Tidak ada yang salah dengan pembangunan fisik 

Pada akhirnya segala pembangunan itu juga akan kembali kepada masyarakat. Mereka akan ikut menikmati dan menggunakannya. 

Sayangnya, pemerintah tidak mengimbangi pembangunan fisik semacam ini. Khususnya dengan kesadaran untuk membangun dan mengembangkan lapangan pekerjaan. Selain itu, perlu juga menguatkan sendi-sendi ekonomi masyarakatnya. 

Sebagai perbandingan, mari menengok 2 kabupaten tetangga, Purbalingga dan Cilacap. Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kabupaten Banyumas itu masih jauh lebih rendah. 

Purwokerto, kota yang dielu-elukan lebih ramai, lebih modern, tempat nongkrongnya anak muda Barlingmascakeb (Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen) nyatanya pendapatan masyarakatnya masih terbilang rendah. Itu saja kalau pendapatannya sesuai UMK. Sedangkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak pekerja yang dibayar di bawah UMK. Miris memang. 

Mari kita melihat realita yang sebenarnya. Sebagian besar anak muda di pinggiran Purwokerto memilih bekerja di industri bulu mata, wig, dan industri lainnya di Purbalingga. 

Daerah pinggiran ini mencakup Arcawinangun, Dukuhwaluh, hingga ke timur sampai Kembaran. Selebihnya memilih bekerja seadanya sebagai karyawan retail, UMKM, industri kreatif, membuka usaha sendiri, atau merantau ke luar kota. 

Nafsu pemerintah

Sejauh ini, belum ada kesadaran nyata dari pemerintah melalui kebijakan strategis agar makin banyak lapangan pekerjaan yang terbuka. Biasanya saya akan mendapatkan counter jawaban begini: 

“Jangan hanya menyalahkan pemerintah. Memang kamu sudah andil apa untuk membuka lapangan pekerjaan?”

Baiklah, katakanlah saya tidak sedang menyudutkan pemerintah. Tapi, apakah adil ketika lapangan pekerjaan di Purwokerto saja sedemikian sempitnya tapi fokus pemerintah justru pada pembangun fisik yang sebenarnya tidak terlalu signifikan dampaknya? 

Yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan bahwa pemerintah kabupaten tampaknya sangat bernafsu dan berhasrat membangun pusat-pusat perbelanjaan atau gerai makanan. Dalihnya adalah investasi dan penyerapan tenaga kerja. 

Dimulai dari berdirinya Rita Supermall yang berada tepat di depan hidung Pendopo Kabupaten. Ini sempat menuai polemik selama pembangunannya meski akhirnya berhasil dibangun setelah “lobi-lobi cantik”. 

Yang terbaru adalah rencana pembangunan Transmart atau apalah nantinya di Eks Stasiun Timur. Pemerintah akan menyulap area stasiun bersejarah ini menjadi pusat perbelanjaan. Katanya, bakal lebih besar dan megah dari Rita Supermall. 

Saya kadang merasa sedih ketika melewati eks stasiun ini. Area stasiun ini dibangun pada 1896 oleh Perusahaan Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) yang menghubungkan Purwokerto dengan Wonosobo. Di sana terdapat percabangan ke Purbalingga meski akhirnya jalur ini non-aktif secara total. Stasiun ini lebih tua dari Stasiun Purwokerto yang berada di Kober dan dibangun pada 1917 oleh Perusahaan Staatsspoorwegen (SS).

Dikorbankan demi kapitalisasi bisnis

Saya hanya berpikir, sebegitu tidak pentingkah aset bersejarah sehingga tak masalah dikorbankan demi kapitalisasi bisnis dan keuntungan daerah? 

Saya juga sering bertanya-tanya, jika kebetulan lewat di area yang saat ini masih proses pembangunan itu, “Sekonsumtif itukah orang Purwokerto sehingga perlu membangun pusat perbelanjaan baru?” Jika membandingkan dengan pendapatan rata-rata masyarakatnya, ini sungguh tidak masuk akal. 

Baiklah, saya punya opsi lainnya. Barangkali pemerintah kabupaten berkeinginan menjadikan Purwokerto sebagai “Las Vegas van Java”. Kota ini akan menjadi tempat orang-orang luar berbelanja dan menghabiskan banyak uangnya. Menarik, menarik. 

Sekadar informasi saja. Di kota sekecil Purwokerto, sudah berdiri juga gerai-gerai fastfood seperti McD, Hokben, dan gerai-gerai lainnya. Soal tren makanan dan perbelanjaan, kota ini tidak pernah ketinggalan dan tentu saja kamu tidak perlu meragukannya. 

Pusat hiburan sebagai penopang pendapatan Purwokerto

Jika kebetulan kalian pernah ke Baturraden, apa yang terbesit saat mengunjunginya? Sejuk, menyegarkan mata, menyenangkan, membuat betah, dan berkesan. Baiklah.

Kalau berkenan, saya merekomendasikan kalian untuk pergi ke Baturraden di malam hari. Akan ada pemandangan dan vibes yang berbeda di sana. Ada apa sebenarnya? 

Sebagai orang Purwokerto, saya tidak akan malu-malu lagi menyebut area Gang Sadar dan seluruh jaringan pusat hiburan di Baturraden. Mulai dari pusat prostitusi itu sendiri, deretan hotel, dari yang bonafide hingga losmen kelas teri sekali pakai, diskotik, kafe, atau tempat nongkrong dan minum-minum di Terminal Atas. 

Dan, saya juga tak perlu segan atau sungkan untuk menyebut bahwa pendapatan yang dihasilkan dari pusat-pusat hiburan itulah yang digunakan pemerintah untuk memperhalus jalan dan membangun berbagai infrastruktur kota. Karena hal itu pula tempat ini tetap dipertahankan, apapun yang terjadi. 

Saya tidak sedang mengatakan bahwa Purwokerto dan wilayah lainnya di Kabupaten Banyumas dibiayai semata-mata oleh pajak pusat hiburan. Tentu pendapat seperti itu tidak objektif dan terkesan argumentasi asal bunyi. 

Masih ada sumber-sumber pendapatan dari sektor lainnya. Tapi, fakta bahwa pajak pusat hiburan di Baturraden ikut serta menggendutkan kas pemerintah adalah satu hal yang tak bisa kamu bantah. 

Tak perlu malu

Jika bicara soal untung dan rugi, tentu saja adanya tempat prostitusi dan pusat hiburan lebih menguntungkan. Baik secara materi maupun sosial. Dari aspek materi, pemerintah bisa memungut pajak. Sedangkan secara sosial, perempuan di dalam satu area prostitusi jauh lebih terkontrol daripada mereka yang memilih menjajakan diri di sekitaran Bioskop Rajawali atau di belakang kawasan Andhang Pangrenan. 

Jika kebetulan kalian datang ke Purwokerto dan merasakan jalan-jalannya yang mulus, terutama jalan-jalan kabupaten atau jalan yang mengarah langsung ke Baturraden, percayalah bahwa di aspal-aspal itu sedikit banyak terdapat percikan uang pajak yang dihasilkan oleh para perempuan malam. 

Kalau saya boleh memberi saran kepada pemerintah, tidak usah tanggung-tanggung dalam mengelola bisnis yang satu ini. Coba tirulah kebijakan Ali Sadikin ketika menjabat sebagai Gubernur Jakarta. 

Renovasi saja secara besar-besaran Gang Sadar. Buat spesifikasi kelas di dalamnya. Ada kelas ekonomi, premium, luxury, dan kelas-kelas lainnya. Gandeng pusat hiburan dan hotel-hotel di sana dalam satu naungan. 

Promosikan tempat yang satu ini kepada wisatawan yang berkunjung. Jika ingin menjadikan Purwokerto sebagai “Las Vegas van Java”, syarat utamanya adalah: Tak perlu malu-malu lagi. Itu saja.

Wisata alam yang terabaikan 

Tuhan menganugerahi Kabupaten Banyumas dengan alam yang sangat indah dan punya potensi besar. Sayangnya, Pemkab tidak menyadarinya. Atau menyadari tapi memilih untuk tak mengurusnya karena sudah ada back-up yang lebih menjanjikan. 

Kabupaten Banyumas tidak belajar dari Wonosobo dengan Dieng-nya, atau Pemalang dengan Wisata Guci-nya. Mereka merasa Baturraden sudah cukup menjual dan bisa menjadi aset untuk mengeruk pajak. Padahal, kalau mau jujur-jujuran, orang di luar sana kebanyakan lebih mengenal Dieng dan Guci daripada Baturraden. 

Baiklah, kita anggap Baturraden sudah banyak dikenal. Tapi masih ada begitu banyak wisata alam yang potensial. Terutama curug dan camping ground. Ada puluhan curug di Baturaden sana. Semuanya indah dan punya daya jualnya masing-masing. 

Sayangnya, kebanyakan wisata curug dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Belum ada keseriusan dari Pemkab untuk mempromosikan wisata alam selain Baturraden kepada masyarakat luar. 

Beberapa kali bahkan terjadi sengketa pengelolaan wisata alam oleh masyarakat sekitar. Akibatnya adalah tempat itu justru ditutup dan mematikan perputaran roda ekonomi. 

Sebut saja misalnya sengketa wisata Bukit Tranggulasih oleh pihak-pihak pengelolanya yang tidak puas dengan bagi hasil yang diterapkan. Lagi-lagi masalah ini diselesaikan secara swadaya oleh masyarakat. Ada begitu banyak hal serupa yang terjadi. 

Di beberapa kesempatan, saya kerap bertanya-tanya, di mana peran dinas pariwisata kabupaten? Apakah Pemkab sudah merasa sangat cukup dengan apa yang mereka miliki saat ini? Atau pendapatan dari pajak sudah lebih dari cukup untuk menutup operasional pemerintahan? 

Tentu jika tulisan ini akan diperpanjang, banyak dalih wisata-wisata itu dikelola secara swadaya. Mulai dari kepemilikan lahan, belum adanya regulasi, dan alasan lainnya. Tapi satu yang perlu dicatat, Kabupaten Banyumas dan Purwokerto punya potensi alam yang sangat luar biasa. Masyarakat akan mendapatkan dampak positif jika pengelolaannya benar-benar serius. 

Pungli di Purwokerto

Di awal, saya mengatakan bahwa tempat tinggal saya tidak jauh dari Pasar Wage. Sejak kecil, saya sudah terbiasa berkeliaran di tempat ini. 

Saya hafal deretan kios, selasar, blok, beserta bau-bauan khas di setiap areanya. Jika ada ujian hafalan kios dan blok dari paguyuban pengurus pasar, saya siap untuk ikut dan menjadi pemenangnya. 

Sebagian keluarga saya dulu juga pedagang pasar. Jadi, jika harus bicara soal per-pasaran, sepertinya saya punya informasi dan pengalaman yang cukup. 

Sudah bukan rahasia lagi jika di Pasar Wage Purwokerto kerap terjadi pungli terang-terangan. Misalnya, jika seseorang ingin berdagang (di luar kios), seperti di sepanjang Jalan Vihara atau Jalan MT Haryono bagian selatan, mereka harus menyetorkan sejumlah uang kepada pihak tertentu. Uang keamanan, izin, atau apalah mereka menyebutnya. 

Jika mau terus terang, praktik seperti ini tidak hanya terjadi di Pasar Wage Purwokerto. Di tempat lain pun punya kemungkinan yang sama. Hanya, saya menggunakan Pasar Wage sebagai contoh konkretnya. 

Uniknya, orang yang kenal dengan pihak tertentu ini bisa mengajukan nego harga atau bahkan tidak membayar sama sekali. Apalagi jika kebetulan mereka saling kenal baik. Ya, sepertinya praktik seperti ini memang sudah menjadi gejala umum dari hulu ke hilir. 

For your information, sebagian tetangga saya adalah pedagang di Pasar Wage Purwokerto. Mereka mengaku ada berbagai tarikan uang dari preman-preman penguasa wilayah. 

Jumlahnya bervariasi dan tentu saja penarikan itu bisa lebih dari sekali. Yang lebih ngeri lagi jika kita sudah bicara soal lahan parkir. Perebutan lahan parkir bisa berakibat adu bacok, adu jotos, dan perkelahian antar-geng. Lahan-lahan basah selalu rawan pertengkaran. 

Jual-beli lahan parkir

Jual beli lahan parkir juga menjadi praktik yang biasa di Purwokerto. Misalnya, sebuah gerai baru akan buka. Ada seseorang yang datang dan mengatakan ingin memarkir di sana. Bagi-bagi rezeki katanya. 

Dia juga berjanji akan ikut menjaga gerai itu dari berbagai gangguan. Suatu ketika, saat dia lagi BU alias butuh uang, dia menjual lahan itu. 

Nominalnya bervariasi. Tergantung tingkat kebasahan si lahan parkir. Makin gacor rata-rata pendapatan harian, makin mahal harga yang ditawarkan. Sebuah praktik yang menurut saya lucu dan tidak masuk akal. Toh buktinya ada saja yang mau membelinya. 

Kesimpulannya? 

Masih banyak yang ingin saya sampaikan di artikel ini. Tapi saya cukupkan saja di sini karena tentu saja tidak bijak jika menguraikan terlalu banyak permasalahan dalam satu artikel pendek. 

Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah, berhentilah meromantisasi Purwokerto. Juga meromantisasi kota-kota lainnya. Percayalah, setiap kota memiliki problemnya masing-masing. 

Menyebut Purwokerto sebagai kota yang nyaman, slow living, indah, dan klaim-klaim lainnya tentu boleh-boleh saja. Tapi kita juga harus objektif dan rasional dalam melihat segala sesuatu. Jangan sampai pikiran kita justru dipengaruhi oleh perspektif dan opini yang dibangun orang lain tanpa mengetahui fakta sebenarnya. 

Jika saya amati, klaim nyaman, ngangenin, dan klaim-klaim lainnya justru banyak terucap dan lahir dari anak rantau yang melanjutkan studi di Purwokerto. Atau, orang yang kebetulan tinggal beberapa saat di sini, atau para wisatawan. Sangat wajar mereka akan berujar demikian karena tidak mengetahui secara mendalam permasalahan yang terjadi sebenarnya. 

Memperbandingkan Purwokerto dengan Jogja atau kota lainnya terkait kenyamanan juga bukan hal yang seharusnya. Biarkanlah setiap kota berdiri dengan karakteristiknya masing-masing. 

Yang paling penting adalah kesadaran dari pemerintah bersama seluruh masyarakat yang tinggal di dalamnya untuk memperindah kota dan menyejahterakan warganya. Itu saja poin pentingnya.

Penulis: Imam Safi’i

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Purwokerto Adalah Daerah Paling Aneh dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version