MOJOK.CO – Pak Mahfud MD sekarang kalau ngomongin Omnibus Law jadi normatif kayak sedang mendamaikan orang mau cerai di pengadilan agama.
Pada diskusi ILC dengan tema satu tahun Jokowi-Ma’ruf, Zainal Arifin Mochtar sempat menyinggung kalau sekarang, sudah tidak zamannya lagi mendidik rakyat dengan jargon dan mistifikasi.
“Jangan khawatir, kami pasti tidak akan menyakiti rakyat,” begitu Zainal memberi contoh.
Maka, akibat dari pemberian contoh tersebut, muncullah jargon dan mistifikasi lain, bahwa Pemerintah mana pun pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, salah sekaligus benar, serta tidak ada Pemerintah yang sempurna di dunia mana pun.
Ya, itulah ucapan dari sang guru besar hukum Indonesia, Pak Mahfud MD.
Kalimat itu sebenarnya juga menunjukkan, bahwa tidak ada yang paling tersiksa hidupnya di Indonesia saat ini melampaui Pak Mahfud. Bukannya saya terlalu berlebihan, tetapi begitulah kata untuk mengungkapkan bagaimana Pak Mahfud diserang kanan-kiri, atas-bawah, dan depan-belakang.
Serangan-serangan itu memang sedikit saja yang langsung mengarah ke Pak Mahfud MD, tapi serangan-serangan yang tak terlihat sebetulnya mau tak mau selalu menampar wajah Pak Mahfud bak terpaan angin topan.
Kalau tak percaya, cobalah lihat kritikan yang mengarah pada Pak Mahfud MD, dari sekian kritikan itu, pasti yang merasa risih adalah Pak Mahfud sendiri. Kritikan itu tidak akan menyasar orang lain lagi seperti Jokowi, misalnya, karena beban substansinya memang tidak mengandung bias lagi.
Contohnya saja ketika Pak Mahfud menyamakan perempuan dan korona, adakah orang-orang ikut menyalahkan Jokowi-Ma’ruf serta Luhut? Kan tidak.
Tetapi berbeda ceritanya kalau yang bermasalah adalah Jokowi-Ma’ruf, karena mau tak mau, jika problematika menyangkut hukum dan demokrasi, pastilah orang-orang akan terpantik untuk bertanya, apa respons Pak Mahfud MD? Kenapa dia diam saja tidak mencegah?
Contohnya saja ketika heboh salah ketik Omnibus Law RUU Cipta Kerja beberapa bulan lalu, yang menyebutkan kalau UU bisa diganti dengan Peraturan Pemerintah, ujug-ujug wartawan akan meminta konfirmasi ke Pak Mahfud.
Dan Pak Mahfud pula yang pada akhirnya harus menanggung malu dengan jawaban tertekan, yang mau tidak mau menjadi sangat norak, yakni, “Salah ketik.”
Begitu pula pada ILC malam itu, ketika Zainal Arifin Mochtar dan Asfinawati mengritik habis-habisan UU Cilaka, lagi-lagi yang paling merasa terbebani adalah Pak Mahfud MD.
Tidak, tidak, ini bukan masalah Pak Mahfud MD ditempatkan sebagai pembicara akhir atau karena menjabat Menkopulhukam, tapi lebih dari itu. Selama ini beliau adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dan yang ditunggu-tunggu argumentasinya di bidang hukum.
Pendapat-pendapatnya kerap menjadi rujukan, apalagi di tahun-tahun tertentu Kompas pernah menjadikannya kolumnis yang rutin mengisi rubrik opini.
Alhasil, kalau ada mahasiswa atau dosen hukum kok kritisnya kelewatan, sulit membayangkan kalau mereka tidak pernah mencicipi jalan pikiran guru besar itu. Bahkan, rata-rata ahli hukum yang tampil di ILC kerap kita saksikan mengutip buku atau sekadar pendapatnya.
Sehingga, ketika tiba-tiba Zainal Arifin Mochtar mendaku sebagai murid dari Pak Mahfud MD, percaya tidak percaya, kalimat itu bagai petir yang menggelegar mengingatkan kembali Pak Mahfud pada masa silam ketika dia sedang kritis-kritisnya sebagai akademisi organik yang membela rakyat dari muslihat penguasa.
Dan, tiap kali ada orang menjelek-jelekkan dan mencemooh amburadulnya Omnibus Law UU Ciptaker itu, sulit untuk berbaik sangka kalau Pak Mahfud mD sedang baik-baik saja mendengar terpaan-terpaan itu.
Memang orang-orang akan mengkritik DPR dan Jokowi yang terlalu obsesi dengan investasi, tapi jangan Anda kira Pak Mahfud tidak sakit hati. Hawong ilmunya yang bertebaran itu dipakai murid-muridnya untuk mengkritik dirinya sendiri.
Maka, apa pun kritik atas kegilaan legislasi di Indonesia, bias-biasnya yang tajam itu pasti mau tidak mau pada akhirnya akan mengarah juga pada sang tauladan di bidang hukum, yakni Pak Mahfud MD.
Sehingga, tidak heran ketika Pak Mahfud tampil terakhir di ILC, pernyataan-pernyataannya sangat diplomatis layaknya mediator yang hendak mendamaikan dua orang yang tengah mengajukan cerai di pengadilan agama.
Hayaaa maklum, pasti sangat berat berada di posisi beliau. Bagaimana agar tetap memperlihatkan kewarasan di tengah kacaunya penyelenggaraan negara yang kerap menyingkirkan nurani keadilan? Susah itu, Buuung.
Tentu saja penampilan Pak Mahfud MD (baik di ILC maupun di reality show Pemerintahan) sangat mengecewakan dengan kalimat-kalimat retoris yang tak memuaskan dahaga publik untuk menyingkap tabir-tabir kepalsuan dari “niat baik” membuat Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Dengan retorika sempoyongan itu, blio berusaha mendudukkan secara netral persoalan-persoalan yang dihadapi Pemerintah. Tiada lain dengan menawarkan usul Judicial Review (JR) Omnibus Law UU Cipta Kerja dengan alasan, itulah mekanisme yang dapat dilakukan oleh kita, negara hukum.
Tapi walau bagaimana pun Pak Mahfud mendandani mekanisme JR ke MK karena negara memang bisa salah dan bisa benar, tetap saja kita tahu itu bukan jawaban dari dalam hati nuraninya.
Ada jawaban lain yang akan blio ungkap seandainya bukan Menkopolhukam. Sebab kita tahu, negara tidak netral, produk hukum adalah produk politik, negara bisa saja dengan sengaja membuat aturan yang sewenang-wenang.
Tapi sialnya, tidak mudah bagi Pak Mahfud MD mengkritik sebagai Menkopolhukam, jadi di sini saya bantu rasa penasaran khalayak untuk mengira-ngira apa isi hati nurani Pak Mahfud berdasarkan teorinya sendiri.
Dulu pada masa Orde Baru, produk hukum kerap tidak berpihak pada rakyat dan sewenang-wenang. Karena memang konfigurasi politiknya otoriter, maka jawabannya adalah demokrasi supaya produk hukumnya responsif dan populis.
Lantas apakah pada era reformasi betul demikian? Responsif dan populis?
“Tidak, karena konfigurasi politik tidak menjadi demokratis, melainkan oligarkis,” kata Pak Mahfud merevisi teori lamanya (ada di buku, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu karya Mahfud MD).
Pada akhirnya, kita tidak perlu heran kalau watak produk hukum dari demokrasi di Indonesia tetap konservatif/ortodoks/elitis, alias tetap berpihak pada elite kekuasaan dan oligarki meski sudah reformasi.
Maka, ketika Omnibus Law UU Cipta Kerja dibikin pada masa oligarki sedang kuat-kuatnya mencengkeram negara, tentu saja produk hukumnya elitis, dan memang bukan dibikin untuk menyenangkan masyarakat bawah.
Ini bukan Pemerintah bisa salah bisa benar (kayak kata Pak Mahfud MD), tapi memang orang-orang di pemerintahan atau Senayan itu ogah bikin produk hukum yang berpihak ke kelompok proletar, lemah, atau minoritas…
….karena memang orang-orang yang bikin undang-undang tidak berasal dari kelompok-kelompok itu.
Benar begitu kan, Pak Mahfud?
BACA JUGA Bercita-cita Jadi Jokowi, Bang Jago Paling Ultimate Sejagat Raya dan tulisan Ang Rijal Amin lainnya.