Mempertanyakan Mesin B.E.D.A Erick Thohir Asuhan Pange dan Tsamara Amany yang Nggak Ada Bedanya

Apakah Erick Thohoir ikhlas dan niat mengubah atau memperbaiki organisasi sepak bola nasional yang busuk itu? Apakah persepakbolaan, termasuk kompetisi dan pembinaan pemain muda, akan tuntas direformasi?

Erick Thohir Diasuh Glory Hunter Pange dan Tsamara Amany MOJOK.CO

Ilustrasi Erick Thohir Diasuh Glory Hunter Pange dan Tsamara Amany. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKonon, Erick Thohir itu calon paling oke untuk jabatan Ketum PSSI. Tapi, mesin asuhan Pange dan Tsamara Amany kok nggak ada bedanya, ya. 

Saya tidak kaget ketika Gerakan B.E.D.A. mendeklarasikan Erick Thohir sebagai calon Ketua Umum PSSI. Yang bikin saya kaget adalah, kok bisa-bisanya mereka bikin logo sekatrok itu, oi Pangeran Siahaan (Pange) dan Tsamara Amany?

I mean, come on! Memang mimesis itu hal yang wajar, sebagaimana yang diterangkan oleh Plato dan Erich Auerbach. Seniman melakukan mimesis atau peniruan tak hanya dari produk seni, tapi juga kehidupan sehari-hari. Tapi, referensinya kenapa ke sitkom Friends yang, mohon maaf nih, purba dan tidak kontekstual. 

Alih-alih out of the box, logo itu justru memancarkan aura out of date. Ketimbang memikat publik sepak bola lokal, logo itu cuma jadi bahan cela. Tapi, kalau memang itu strateginya, dicela sehingga diperbincangkan alias publikasi gratis, ya silakan aja, sih.

Kalau mau tampil relevan, kenapa tidak memakai font logo Stranger Things? Mengurus PSSI itu kan, mengutip pernyataan Erick Thohir sendiri, butuh nyali. Logo yang mirip dengan series produksi Netflix itu bakal mengingatkan publik dengan keberanian Mike Wheeler dan kawan-kawannya kala menumpas monster-monster astral. Asal jangan jiplak logo Narcos, ya. Blunder namanya. Nanti malah menebalkan citra mafia. Mafia apa? Ya masak saya perlu menjelaskan lagi.

Strategi jitu dari glory hunter

Kekagetan saya berhenti di situ. Gerakan yang dideklarasikan oleh Pangeran Siahaan dan Tsamara Amany ini strategi yang lumayan jitu. Selain sering tampil bareng, disebut sebagai wajah segar perpolitikan nasional, keduanya punya kesamaan fundamental: besar di lingkungan glory hunter.

Pangeran pendukung Manchester United, Tsamara Amany demen Real Madrid. Klop. Julukan glory hunter diberikan kepada suporter bola kutu loncat, yang doyan mengalihkan dukungan ke klub yang punya kans juara besar. Pendukung dua tim tersebut kerap diberi label ini.

Dukung kok Madrid, yang (dulu) dekat dengan rezim fasis Jenderal Franco. Barcelona, dong, perlawanan terhadap tiran! Atau klub-klub Basque seperti Athletic Bilbao, biar sekalian ber-B.E.D.A. dari yang lain.

Melampaui pengusungan Erick Thohir

Sekarang mari lebih serius….

Mendukung Erick Thohir adalah langkah mudah karena, seperti Manchester United era Sir Alex dan Real Madrid sepanjang zaman, karib Sandiaga Uno itu 90 persen menang. Sinyal ke arah itu sudah begitu kuat. Salah satunya dengan majunya Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali di sirkuit calon Wakil Ketua Umum PSSI. Keduanya berada di lingkar dalam istana.

Erick Thohir punya modal finansial dan politik untuk “merangkul” 88 pemegang hak suara (Statuta PSSI 2019 pasal 27) di Kongres Luar Biasa PSSI pada 16 Februari 2023 nanti. Menurut Tsamara, adik Boy Thohir itu punya rekam jejak kuat di bidang olahraga.

Jauh sebelum cawe-cawe di politik, citra Erick Thohir kental dengan dunia anak muda dan industri kreatif. Bahkan banyak orang di sekitar saya yang sangat antusias dengan prospek PSSI di bawah kendali Erick Thohir.

Jika Tsamara Amany menonjolkan rekam jejak Erick Thohir, saat pendeklarasian B.E.D.A. Pangeran mengangankan satu sosok yang dapat membuat sepak bola Indonesia mengakhiri puasa gelar. Pernyataan tersebut begitu muluk dan jauh, terlampau jauh, dari substansi. 

Pernyataannya adalah analgesik untuk sepak bola republik ini yang terlalu lama berjalan sungsang. Bung Pange, kamu pasti akrab dengan kesuksesan Theo Zwanziger dan Matthias Sammer. Keduanya berhasil mengembalikan marwah persepakbolaan Jerman selepas katastrofe Euro 2000. Keduanya tidak melandaskan kerja mereka dengan angan-angan.

Bagi keduanya, mengusung Erick Thohir adalah pertaruhan yang aman karena kontes ini tidak terlalu membutuhkan opini publik. Apalagi lawan terberat Erick Thohir adalah La Nyalla Mattalitti, tokoh kunci kisruh dualisme federasi beberapa tahun silam.

Lalu, mengapa Pange dan Tsamara Amany harus repot membuat B.E.D.A?

Tsamara Amany sendiri sudah menjelaskan alasannya dengan gamblang. Pernyataan yang saya kira bisa menjadi blunder, seperti blunder Florentino Perez saat melepas Claude Makelele ke Chelsea.

Sekira satu bulan jelang pendeklarasian, dia berpendapat bahwa Erick Thohir adalah orang yang cocok mendampingi, tak cuma Presiden Joko Widodo, tapi juga presiden selanjutnya. Bahwa, “Secara objektif kalau mau jujur, Pak Erick Thohir ini orang yang cocok jadi nomor dua.”

Kalau begitu, nomor satunya siapa?

Silakan cek akun media sosial Pangeran dan Tsamara. Siapa pejabat publik yang kerap mereka dampingi serta puji. Clue: rambutnya seperti mantan striker Middlesbrough, Fabrizio Ravanelli.

Pange dan Tsamara memang politisi cerdik

Saya menilai Pange dan Tsamara Amany sebagai politisi cerdik. Nah, kita sendiri bisa memetik sebuah hikmah dari dua pilpres yang lalu. Hikmah yang saya maksud adalah bagaimana gerakan relawan bisa menjadi alternatif dari politik formal. Bahwa ada rel politik di luar jalur partai dan gerakan mahasiswa.

Dalam acara Satu Meja The Forum Kompas TV, ilmuwan politik Burhanuddin Muhtadi menilai fenomena kelompok relawan sebagai hal baru dalam perpolitikan nasional. Jejaknya dia sebut mulai muncul di Pilkada DKI 2012 dan Pilpres 2014, berkat adanya tarik-menarik di internal PDIP yang belum jelas mau mengusung siapa.

Kelompok relawan adalah basis massa yang (terkesan) cair dan mengakomodasi langgam berpolitik trendi. Fenomena yang kerap dikategorikan sebagai gerakan sosial baru tersebut menyajikan flash mob, wabah kemeja kotak-kotak, hingga batalion prajurit medsos seperti Jasmev yang, harus diakui, lebih segar ketimbang cara-cara yang digunakan partai politik.

Selebriti internet

Cara seperti ini terbukti ampuh menarik simpati dan partisipasi publik sehingga gol-gol pun tercipta. Jika diibaratkan sebagai klub sepak bola, partai politik atau pejabat pemenang kontes juga memberi saf khusus bagi para pencetak gol (baca: tokoh kunci seperti Pangeran dan Tsamara Amany). Jumlah gol kerap dijadikan klausul dalam kontrak seorang pemain.

Kampiun dua musim terakhir, kita tahu, telah mengganjar para striker dengan jabatan komisaris di perusahaan-perusahaan BUMN. Beberapa striker itu antara lain Abdee Slank, Kartika Djoemadi, hingga yang senior seperti Fadjroel Rachman.

Inilah eksperimen politik. Bahtera bisa berputar dari haluan karena satu insiden penting. Pangeran dan Tsamara Amany adalah komunikator politik jempolan. Sama-sama menimba ilmu komunikasi, keduanya adalah selebriti internet yang mampu mengakumulasi komentar, like, serta pengikut ke dalam brankas modal sosial-politik.

Euforia singkat

Saya khawatir eksperimen ini akan menjadikan mereka tipikal penggemar karbitan atau glory hunter yang saya kemukakan di atas. Sebab, gaya dan cara Pange dan Tsamara Amany bergerak memijak pada politik ketokohan. 

Orang pasti mati, sementara ide tidak. Kita sama-sama menyemayamkan Mohammad Natsir pada 1993 lalu, tapi idenya mengenai formalisme politik Islam tetap berdetak kencang.

Semoga saja ini cuma kegelisahan saya. Terlepas dari hal-hal di atas, Gerakan B.E.D.A. yang mereka inisiasi telah membuat gempa kecil tersendiri. Seandainya Erick Thohir kalah, gema gerakan akan tetap terasa. Modal politik atau minimal simpati publik terhadap Pangeran dan Tsamara akan bertambah.

Namun, sepak bola terlampau sering membuat kecewa. Dan kita, ironisnya, adalah pecinta yang tangguh, yang teramat bersetia.

Mohamad Fuad, asisten manajer PSMS Medan mengungkapkan kekecewaannya. Fuad kecewa setelah melihat Yunus Nusi dalam barisan Erick. 

“Jadi apa yg B.E.D.A wahai kalian yg kemaren sibuk deklarasi??? Tau kan itu sekjen PSSI siapa dan bagaimana?” kritiknya dalam cuitan bertarikh 29 Januari 2023.

Erick nggak bakal bisa lepas dari “orang lama”

Konsekuensi dari pertemuan Erick Thohir dengan wajah-wajah lama adalah kesangsian masyarakat bola. Pertemuan yang bikin masyarakat bola pasti meragukan niat Erick. Apakah dia ikhlas dan niat mengubah atau memperbaiki organisasi sepak bola nasional yang busuk itu? Apakah persepakbolaan, termasuk kompetisi dan pembinaan pemain muda, akan tuntas direformasi?

Kita sama-sama tahu bahwa pemetintah nggak bisa mengintervensi PSSI. Namun, mengingat Erick akan merangkap jabatan menteri dan Ketum PSSI, boleh dong saya meragukan efektivitas perannya dalam memperbaiki organisasi?

Jangan lupakan Tragedi Kanjuruhan

Menteri BUMN adalah jabatan publik. Akan sangat wajar bagi kita untuk mempertanyakan cita-cita Erick Thohir membawa perusahaan-perusahaan plat merah go global

Apalagi jika dia benar-benar berkontestasi di ajang Pilpres 2024. Sekarang saja beliau sudah sangat sibuk. Apa yang terjadi ketika Erick menambah kesibukannya dengan kampanye dan silaturahmi politik?

Apakah masa jabatan yang singkat (2023–2024) itu cukup untuk membenahi segala borok dan mala? Jangan-jangan dia mau double job, merangkap sebagai ketum PSSI dan wakil presiden?

Sepak bola dan khususnya PSSI telah kerap menjadi karpet merah bagi mereka yang ngebet menduduki jabatan publik. Oleh sebab itu, kita harus aktif mengingatkan siapa saja yang ingin menjadi Ketum PSSI. Bahwa saat ini karpet merah itu sudah berwarna gelap. Pekat oleh darah dan luka para korban Tragedi Kanjuruhan. Ingat itu!

BACA JUGA PSSI Adalah Batu Loncatan Politik Ideal bagi Erick Thohir dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Fajar Martha

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version