Memperlakukan Opor Ayam dengan Adil seperti Poligami

Esai Opor Ayam Mojok

Esai Opor Ayam Mojok

Jika berpuasa adalah diet yang terselubung, maka Lebaran adalah pelampiasan yang sehormat-hormatnya. Dengan ketupat, opor ayam, dan sambel goreng hati yang menjadi peraduan.

Ketika tengah menyantap hidangan Lebaran, pada titik tertentu, Anda tak akan dibilang rakus karena banyak makan. Paling banter cuma dilirik sinis, dan saudara Anda membatin, “Nggak jadi tak maafin.”

Karena biasanya, dan saya memang pakai patokan saya sendiri, setiap kali Lebaran, hati ini jadi tak karuan. Bimbang, antara mau menggasak oplosan ketupat dan opor ayam, atau ketupat dengan sambel goreng hati yang, seperti kata Bung Hadi “Ahay” Gunawan komentator sepak bola handal itu: masyaallah pedas gurihnya seperti serangan tujuh hari tujuh malam timnas Vietnam ke gawang Indonesia.

“Kenapa Sampeyan gak ngoplos opor sama sambel goreng, ja?”

Ha bararti situ belum memahai estetika, terutama untuk makanan, yang bunyinya kira-kira begini: Estetika juga memiliki relativitas tersendiri di dalam hubungannya dengan manusia (makanan). Setiap kelompok manusia (makanan) memiliki definisi tersendiri tentang estetika yang memunculkan budaya-budaya yang sangat beraneka ragam, dan di dalam keanekaragaman tersebut muncul pula varian keindahan (opor ayam) yang sifatnya lebih personal.

Betul, ini sangat personal. Warna kuning tidak muda opor ayam yang luhur itu memang tak seharusnya dibaurkan dengan warna merah pekat sambel goreng hati yang menantang itu. Keduanya seperti dua kutub yang berseberangan, seperti pernikahan dua agama di Indonesia. Ribet dan ujungnya tangis-tangisan. #Uhuk

Ya, kalau Anda mau nyampurin opor ayam sama sambel goreng hati yang nggak apa-apa juga. Tapi ingat, hati yang terlanjur sakit seperti diiris-iris di sambel goreng akan susah disatukan dengan ayam yang mulus di opor. Bukan muhrim.

Jika dilihat lebih seksama, opor ayam ini seperti Persib Bandung.

“Lho, kok Sampeyan malah ngomongin Balbalan?”

Haes, iyik. Daripada ngomongin orang. Nanti malah enak.

“Jadi, mangsut Sampeyan sama Persib Bandung itu gimana?”

Begini. Meracik ketupat dan opor ayam itu ritual yang luhur, Bung. Seharusnya sama kayak nyusun skuat balbalan. Pertama, Anda ambil pisau untuk merobek kulit ketupat. Terdengar bunyi, “Sreet …. Sreekk .… Sreeek .…” yang merdu di telinga. Anda potong-potong itu ketupat dengan ukuran yang presisi, boleh vertikal mutlak, atau diagonal.

Setelah ditampung di atas piring, kuah opor Anda siramkan di atasnya. Ingat, kuahnya dulu, ayam belakangan. Kenapa? Biar basah dulu jadi lebih ena untuk dipenetrasikan ke dalam lobang … mulut.

Setelah basah paripurna, ambil potongan ayam yang mulus itu, lalu letakkan di sisi, jangan di tengah. Jangan jadikan ayam semata sebagai pusat perhatian opor Anda. Opor ayam harus menyeluruh, semua mendapat kasih sayang yang merata. Ya seperti poligami. Harus adil rohani-jasmani.

Kalau ada bawang goreng, saya sarankan, jangan dicampur. Kuah opor akan membuat bawang goreng menjadi melendut, kehilangan kekrispiannya yang menyenangkan di mulut Anda.

Setelah racikan komplet, coba Anda amati. Ketupat yang putih pucat, berpadu dengan kuah kuning tidak muda dan potongan ayam di tepi piring. Perpaduan antara kemolekan jasmani dan keluhuran rohani. Untuk kadar tertentu, opor ayam adalah pengantar masuk surga yang hakiki.

Betul, di awal musim ini, Persib Bandung bersolek secara meriah. Mendatangkan dua marquee player, Michael Essien legenda AC Milan dan Charlton Cole legenda West Ham yang harganya bisa buat bangun stadion; atau pesantren, biar terdengar islami.

Nama “Persib” saja sudah menjadi gambaran tentang sejarah agak panjang sepak bola Indonesia. Ya kalau mau dikategorikan klub besar, ya bolehlah. Ditambah dua marquee player, jadi makin aduhai.

Tapi nyatanya, keduanya sudah kehilangan sentuhan bermain bola di level tertinggi. Keduanya sudah terlalu gemuk dan melendut untuk meladeni pemain-pemain Indonesia yang lebih suka gaprakan kaki, ketimbang merebut bola.

Dua marquee player Persib jadi seperti Anda kalau kebanyakan menuangkan kuah untuk opor. Terlalu basah, lembek, dan terlalu berkuah. Ingat, Anda mau makan opor, bukan sop.

Atau bisa juga, Essien dan Cole seperti ketika Anda menggamit terlalu banyak ayam ke dalam piring. Perhatian terlalu terpusat ke ayam, padahal tanpa kuah dan ketupat, opor tak akan sama lagi seperti kamu yang dulu. Rasa opor jadi bikin enek dan tidak menggairahkan. Keluhurannya lesap. Keseimbangan kosmisnya terganggu.

Persib tak membutuhkan dua pemain mahamahal itu. Talenta-telanta urang Bandung lokalan pun tak kalah kasep. Asal bermain dengan skema yang tepat dan segar, Persib akan jauh lebih baik. Lebih sehat, dan seimbang, seperti opor ayam yang diracik secara ahay!

“Lalu gimana dengan sambel goreng hati?”

Ini sudah 700 kata, bung. Nanti kepanjangan. Redaktil Mojok sekarang cenderung galak, enggak nakal. Sukanya motongin panjang naskah. Ha curhat kok dipotong, emangnya siaran pers?

Lagi pula ini bukan rubrik Smokol.

Exit mobile version