Karena Memberi Sumbangan di Jalan Raya adalah Amal yang Membahagiakan

MOJOK.COSaya juga tidak menafikan diri bahwa saya sangat senang didoakan petugas sumbangan di jalan raya. Hahaha!

Seandainya diadakan polling di negara Indonesia—atau dibahas dalam rubrik Sensus di Mojok—mengenai siapa orang yang paling pelit, rasa-rasanya tentu saya akan mendapatkan nomor urut pertama! Apa pasal? Saya, terus terang saja, adalah orang yang paliiiing ogah jika dimintai sumbangan yang tidak jelas duduk perkaranya. Ya monmaap nih, tapi bagaimana saya mau sakkal-sakkal nyumbang kalau saya tahu dengan pasti bahwa dalam struk gaji bulanan saya saja sudah jelas tertera beberapa pasal yang disebut sebagai “sumbangan wajib” melalui agenda potong gaji?

Memang, apa saja, sih, “sumbangan wajib” itu? Mereka-mereka ini di antaranya adalah: Satu, sumbangan debagai donatur GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh); Dua, sumbangan untuk keperluan ZIS (Zakat, Infak, dan Sedakah); dan Tiga, dana sosial untuk lingkup intern lembaga dengan nominal yang sudah ditentukan, yaitu dua puluh ribu rupiah sekali kegiatan sosial. Keperluannya untuk apa? Ya untuk bermacam-macam agenda, seperti mengunjungi teman sakit, hajatan, dan lain sebagainya. Nah, jika dalam sebulan ada tiga kali kegiatan, ya tinggal mengalikan saja!

Sebagai informasi, sumbangan-sumbangan di atas belum semuanya. Kadang, malah ada pula tarikan sumbangan insidental alias biaya tak terduga, misalnya menyumbang untuk keperluan bantuan bencana alam. Menghadapi sumbangan semacam ini, biasanya saya mengambil dana dari amplop penyisihan gaji yang saya tandai sebagai keperluan sosial. Acapkali, pos ini juga saya pakai untuk mbecek atau buwuh (kondangan).

Selain itu? No, thanks!

Saya ini bahkan terkenal paling dingin jika ada orang datang ke rumah membawa map dan meminta sumbangan amal. Ada yang bilang dananya akan dipakai untuk pembangunan inilah, derma itulah, kegiatan sosial di lokasi antah berantahlah, blablabla. Tanpa banyak babibu, dengan tegas saya akan menolaknya. Satu alasan jujur yang juga bukan pembohongan publik adalah: saya ini sudah ditarik sumbangan di tempat kerja, loh!

Saya juga selalu menutup mata dan telinga tiap kali ada pengamen dan pengemis datang ke rumah. Biasanya, jika terdengar genjrang-genjreng di teras, saya akan mengeluarkan kalimat klasik, “Prei, Mas!” Hehehe. Bahkan, pengemis pun akan berputar haluan 180 derajat jika saat mau masuk ke halaman, pintu depan saya tutup perlahan.

Eh tapi, mosok saya se-nyambah (pahit bin medit) itu? Beneran?

Yaaah, sebenernya sih tidak juga. Sebuah anomali bisa saja terjadi, apalagi tiap kali saya bertemu pos amal jariyah alias petugas sumbangan di jalan raya!

*jeng jeng jeng*

Sekiranya teman-teman masuk wilayah Jawa Timur, terus ke arah timur, di antaranya melewati kota Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, hingga Jember, tentu tidak akan asing dengan pemandangan kegiatan penarikan amal di sepanjang jalan raya. Dari rumah hingga tempat kerja saya yang berjarak 5 km, saya bersua dengan lima pos penarikan amal! Kebetulan, kelima-limanya dikhususkan untuk penggalangan dana pembangunan masjid yang lokasinya berdekatan dengan tempat penarikan.

Terus, apa yang menarik dari kegiatan tersebut? Pembaca tak akan bisa merasakan sensasinya sebelum benar-benar melewatinya. Sungguh! Saya selalu merasa bagai seorang artis, orang penting, atau si kaya raya yang sangat dimuliakan. Bahkan, saya juga didoakan dengan penuh rasa hormat. What? Chauvinis biaanget, sih?!

Jadi begini, loh, Saudara-saudara. Kita pasti sudah mafhum bahwa jarang-jarang kita bisa terkenal tanpa prestasi atau kelebihan di mata orang banyak, atau bahkan posisi penuh gengsi di tengah mesyarakat. Jangankan dikenal dan terkenal, lah wong orang yang mengenal kita pun belum tentu mau mendoakan kita tanpa sebab! Iya, kan?

Nah, posko-posko sumbangan di jalan raya itu berbeda, mylov. Mereka umumnya memasang loudspeaker besar sehingga saat ada orang beramal, orang-orang ini akan disambut dengan kalimat-kalimat mendoakan yang masih akan terdengar hingga berpuluh meter sesudahnya. Bahkan, beberapa istilah dalam bahasa Madura yang diucapkan pun membuat saya jatuh hati, misalnya: “Mator sakalangkong!” (terima kasih), “Mator kasoon!” (terima kasih), “Alhamdulillah pollee…” (alhamdulillah lagi), “Cemplungagi, cemplungagi…” (masukkan, masukkan), dengan nada panjang berirama. Enakkkk, gitu, di telinga!

Itu pun belum ditambah pemandangan yang menyejukkan. Si penerima amalnya bersarung, berbaju koko plus berkopyah, sopan dalam mengayunkan timba untuk dimasuki uang, plus berbonus senyum menawan. MC di pos pun tak kalah keren dengan tampilan serupa. Sungguh, tiada beban untuk beramal dengan jaminan doa yang bisa mendinginkan hati!

Kalimat doa yang hampir sama tiap hari ini pun berbaur antara bahasa Madura dan bahasa Jawa. Kurang lebih, isinya begini dalam Bahasa Indonesia.

Terima kasih banyak untuk amalnya ibu berbaju merah dengan sepeda motor nopol 1234567, semoga dimudahkan rezekinya, dijaga keselamatannya, dilancarkan pekerjaannya, diberikan anak yang saleh dan salehah, dimasukkan surga, Jannatul Firdaus nantinya.”

Olala, adem!~

Ya, benar, benar: mending beramal sumbangan di jalan raya! Cukup ngasih uang sekadarnya, semampu  yang saya punya. Seribu, dua ribu, atau paling banyak lima ribu. Ikhlas jugakah? Pastinya! Apalagi, berbonus doa puuaanjang. Saya juga tidak menafikan diri bahwa saya sangat senang didoakan semacam itu. Hahaha! Benna ta lah diarani riya’ (biar saja disebut riya’)!

Ngomong-ngomong soal amal, saya jadi ingat seorang teman pernah bilang begini, “Surga yang akan kita tuju itu jauh dekatnya bergantung amal kita. Jika beramal dengan nominal kecil, ya nyampenya luuaaama. Andaikan menuju surga itu ada tangganya, paling-paling amal tersebut belum cukup untuk njangkah ke tangga berikutnya!”

Tapi, yaaa biarlah. Barangkali, kemampuan saya dalam beramal sukarela baru sebatas mencapai tangga terbawah dari surga. Bagi saya, doa-doa yang dilafalkan petugas sumbangan di jalan raya itu sudah lebih dari cukup mengawal ketenangan hati saya berangkat dan pulang kerja. Perkara jauh dekatnya surga, itu urusan Allah Sang Maha Pengasih.

Bahkan nih ya, ketika saya sempat jatuh dari sepeda motor berulang kali dengan beragam sebab, saya senantiasa bersyukur:

“Ya Allah, andai saya tidak rajin ngamal uang kecil di jalan, barangkali ‘kejatuhan’ saya dari sepeda motor bisa jadi lebih parah dari sekadar begini!”

Benar, kan? Alhamdulillah luka yang saya alami hanya sekadar lecet ataupun babras, meskipun jatuhnya akibat terserempet truk gandeng. Pun, laptop saya utuh meski terlempar ke badan jalan, sementara biaya perbaikan kendaraan pun juga tidak seberapa!

Barangkali juga, kemudahan mutasi kerja dari tempat kerja berjarak 65 km tiap kali PP menjadi hanya 5 km dalam tempo singkat, merupakan barokah doa dari petugas amal di jalan yang saya lewati beserta doa-doa lain dari orang-orang yang mencintai saya. Wallahu a’alam bisshowab.

Exit mobile version