Berkali-kali nonton live race MotoGP di Sepang, Malaysia, bertubi-tubi pula keyakinan saya menebal bahwa Valentino Rossi (VR46) telah benar-benar mencapai level rider-makrifat. Orang boleh memekikkan nama Jorge Lorenzo, Marc Marquez, atau Dani Pedrosa sebagai junjungannya, serupa kaum muda memuja Agus Mulyadi, tetapi jika landasan teorinya adalah hierarki “syariat-tarekat-hakikat-makrifat” dalam jagat mistisisme MotoGP, hanya VR46 pencapai tertingginya.
Marc, misalnya, nyaring disebut-sebut sebagai penantang serius VR46. Dua musim berturut Marc menyikat gelar juara dunia balapan roda dua kelas premier itu. Tahun 2013 dan 2014. Ke mana VR46 dalam kurun dua musim itu?
Selama di Ducati (2011-2012), VR46 memang tak menangguk capaian podium istimewa. Akan tetapi, jika Anda berhenti pada pandangan slapstik demikian, yakinlah bahwa Anda termasuk orang yang belum move on dari label syariat dalam melihat segala sesuatu.
Cobalah beranjak ke level tarekat saja di sini, Anda akan melihat betapa VR46 telah menghibahkan impresi-impresi investatif untuk masa depan Ducati. Pada awal-awal musim balap tahun ini, Ducati melejit tak terduga dengan tiga torehan podium via Andrea Dovizioso. Jangan lupakan pula Andrea Iannone yang hanya berjarak seiprit poin dari Marc. Semua itu buah lezat dari impresi investatif yang diwariskan VR46.
Lantas, dengan timing yang ciamik, tahun 2013 VR46 hijrah ke Yamaha, pulang penuh semringah. Ia dan YZR-M1 pun kembali menyatu.
Wahdatul Wujud YZR-M1 dan VR46
Dalam jagat sufisme, puncak capaian seorang salik (penempuh sufisme) adalah wahdlatul wujud (peleburan Diri dan Tuhan), seperti Al-Hallaj dengan ittihad-nya, Abu Yazid al-Bushtami dengan “la ilaha illa ana”-nya, Rabi’ah al-Adawiyah dengan takhalli-nya, Maulana Rumi dengan dervish dance-nya, ataupun Siti Jennar dengan Manunggaling Kawula-Gusti-nya.
Seseorang baru akan disebut murad, bukan murid, bila sudah berhasil ber-musyahadah pada Wujud Allah; dalam segala hal lagi ihwal. Melebur, menyatu, berittihad dalam ketunggalan. Manunggaling.
VR46 dan motor yang menjadi tunggangannya, YZR-M1, telah melebur sedemikian rupa hingga tak ada lagi jarak antara keduanya. Yang paling kasat mata, setiap akan start, VR46 selalu melakoni ritual khusyuk di sebelah YZR-M1; keduanya seolah saling berbicara, mendengar, menatap, hingga kemudian melesat.
Sampai di sini, dibandingkan Lorenzo dan Marc yang menjadikan motor sebagai kuda besi belaka, VR46 sudah sangat jauh melampaui. Dalam setiap race, mau tercecer di posisi berapa pun saat kualifikasi dan start, VR46-YZR-M1 selalu padu dan melesat-kilat setahap demi setahap memamah setiap rider di depannya. Termasuk Lorenzo dan Marc, apalagi Pedrosa yang masih gagap sama hafalan doa junub.
Coba bandingkan dengan sosok Marc. Ia selalu bicara tentang data, data, dan data, khas modernis-Cartesian. Setiap jelang free practice dan kualifikasi, betapa sibuknya Marc dengan kalkulasi komputer, statistik, analisis data, history race, dan kesesuaian sirkuit dengan motor. Marc terlihat betul bak pelaku syariat yang selalu sibuk dengan bacaan, tata gerak, rukun, bahkan syarat sah, sampai lupa menyelami hakikat bacaan dan gerakan ritualnya. Ia belum beranjak sama sekali ke ranah makrifat, ranah manunggaling.
Maka maklumi saja bila kemudian Marc kerap memperlihatkan sentimen negatif kepada VR46, seperti ketika ia disalip di tikungan terakhir di sirkuit Assen, Belanda, pada Juni kemarin. Bejibun klaim intoleran dilesatkan, persis orang yang baru tahu syarat dan rukun ibadah. Tak ada pemaknaan substantif sama sekali, yang niscaya akan lebih menenangkan hatinya.
Di sebelah Marc, meski lebih dewasa, Lorenzo tak jauh beda levelnya. Memang ia lebih matang secara emosional, tetapi tetap saja ia belum beranjak ke jenjang hakikat—masih jauh makrifat. Lorenzo masih mengeram di sarang tarekat belaka; jalan pintas-praktis.
Tak heran, dalam setiap race, Lorenzo ngibrit sekencang-kencangnya sejak start, berusaha melebarkan jarak sejauh mungkin dengan para rider lainnya. Ia begitu terobsesi dengan “jalan pintas”. Jika Lorenzo start di pole position, ah sudahlah, dapat diduga race bakal berjalan dengan sangat membosankan.
Tapi ya maklumi saja, memang begitulah lelaku orang yang belum naik ke level hakikat, apalagi makrifat. Abai terhadap kepuasan penonton, asyik dengan diri sendiri, dan isi kepala hanya tentang menang dan menang belaka. Di wilayah sepak bola, sosok Jose Mourinho adalah kembaran mental Lorenzo yang paling identik.
Jika kemudian hasil race tak sesuai skenario ngibritnya, dengan ringan lidah Lorenzo akan menyalahkan banyak hal. Helm yang berembun; gaya balap almarhum Marco Simoncelli yang membahayakan; dan sebagainya. Sampai-sampai Danilo Petrucci, cah cilik dari tim Pramac Racing Team, sempat meledek Lorenzo dalam helatan MotoGP Inggris, Agustus kemarin. Petrucci bilang, bahwa saat akan menyalip seniornya itu di Silverstone, ia sangat takut justru pada komentar Lorenzo nantinya, bukan balapannya. Pebalap 25 tahun itu pun berhasil menjadi runner up dengan catatan waktu 46 menit 18.627 detik.
Ngenyek Lorenzo banget to kowe ki, Ci.
Begitulah, di MotoGP, hanya VR46 satu-satunya pembalap yang sudah makrifat sehingga selalu sukses menyuguhkan aksi-aksi yang memesona. Kalau kalah, tak sekalipun ia menyalahkan siapa-siapa seperti Lorenzo; tak pula ia menggebu-gebu memaksakan motor over limit sampai terjengkang di Silverstone ala Marc; tak pula ia bergaya biar lambat asal selamat seperti tulisan di bak truk Magelangan yang khas Pedrosa.
VR46-YZR-M1 adalah sintesis “manunggaling pembalap dan motor”. Sensasi latest breaking, sliding, taking over, cornering, wet/dry race, hingga desain helm, semuanya lebur-tunggal-suwung dalam jagat kemakrifatan.
Sebagai rider makrifat, Valentiono Rossi selalu sangat asyik untuk ditonton dan dijunjung. Maksud saya, bila ada orang yang mengaku salik, murad, seyogianya ia pun sangat asyik untuk dilihat, diajak bicara, dikawani. Sebab seorang salik sudah pasti merasa malu untuk berkeras-keras hati kayak yang itu-itu.