Belum juga semua pemenang Indonesian Movie Awards (IMA) puas cengar-cengir sebanyak tiga kali dalam sehari di layar televisi melalui berbagai acara infotainmen, ternyata udah muncul isu baru lagi tentang IMA—atau lebih tepatnya isu tak sedap tentang pemenangnya.
Isunya sih, salah satu pemenang terfavoritnya ternyata sempat tidak muncul di jajaran nominasi. Si pemenang ini ujug-ujug namanya nyempil sebagai nominee saat mendekati malam penganugerahan IMA. Menggenapkan jumlah nominee yang awalnya cuma 5 di setiap kategori menjadi berjumlah 6 untuk satu kategori itu saja.
Bahkan kabarnya, di daftar nominee yang diberikan ke undangan IMA terdapat pembaharuan menggunakan stiker untuk kategori tersebut. Kalo stikernya dibuka, efeknya sama seperti nasib rambut kita ketika diajak sowan ke bawah pohon rindang dengan satu cermin kecil yang menggantung di badan pohonnya. Terpangkas! Dan menariknya, justru si pemenang ini yang namanya terpangkas atau raib dari daftar nominee tanpa stiker.
Munculnya lakon ajaib seperti itu bukanlah hal baru di dunia persilatan Indonesia. Di berbagai perguruan pasti ada. Mulai dari jaman masih nangis gegara rebutan mainan sampai akhirnya ke era rebutan gebetan, pasti kita pernah tau ada teman/kenalan kita yang mendadak menjadi ‘bintang’.
Jarang masuk kelas, gak ikut mengumpulkan tugas, ujian nyontek, tapi nilainya top. Gak pernah ikut latian rutin basket, eh pas kompetisi tiba-tiba namanya nyempil di jajaran starting lineup. Gak pernah keliatan PDKT atau nganter-jemput gebetan, eh lha kok tiba-tiba “in a relationship with” aja sama doi. Nyebahi tenan tho? Kalo kata orang Surabaya sih, Njancuki puol!
Sebenarnya, dalam kasus-kasus seperti itu bisa saja ‘bintang’ dadakan ini tadi memang berkualitas oke, sehingga tanpa perlu ribet ini-itu dia tetap mendapatkan posisi yang menguntungkan. Bisa jadi dia berotak jenius, skillful dalam olahraga, atau memang jauh lebih ganteng daripada pria-pria yang terperangkap dalam supir-zone itu.
Tapi kebanyakan manusia memang lebih mudah memproses hal yang negatif daripada melihat hal positif yang sudah ada. Salah seorang bhiksu dari Vietnam, Nhat Nanh, mengungkapkan, “People deal too much with what is wrong”.
Ketika mendapatkan sebuah berita, orang cenderung akan lebih sibuk membahas dari sisi negatifnya, seperti “Kok nilainya bisa bagus sih?” atau “Kok dia yang ada di starting lineup?”. Bisa jadi iri atau malah merasa lebih baik, yang jelas, siapapun pasti akan ditimpa isu miring karena adanya golongan-golongan yang merasa dirugikan.
Pikiran-pikiran negatif itu pun biasanya disambut hangat oleh hembusan gosip pembelian nilai, affair pelatih, dan tetek bengeknya. Selanjutnya sih jangan ditanya, alih-alih disebut sebagai pribadi yang jenius atau atlet kece, justru cap sebagai pembeli nilai atau penjilat pelatih yang lebih melekat.
Begitu pula dengan pemenang salah satu kategori terfavorit di IMA kemarin. Bukannya berpikir kalau memang banyak yang mengidolakan, yang muncul di permukaan justru berbagai konspirasi di balik layar. Mbok ya paham, sangat banyak fans garis keras yang rela berbuat apa saja asal idolanya senang.
Lagian, apa kalian ini gak tau kalo nominasi itu cuma buat Muggle? Bagi yang sakti kayak Auror, ya cukup ucapkan mantra dan semua beres. Wong Voldemort aja bisa dibuat modyar, apalagi cuma selevel menangin IMA. Pasti bisa terpenuhi dengan sebuah mantra, seperti: “Pah, Mama pengen lagu ciptaan Mama dapet award deh.”
Nah, sim salabim, dapet deh.