Mahaberat Hidup Aktivis Mahasiswa Selepas Wisuda

MOJOK.CO Romo Mangun hanya menulis buku Menjadi Generasi Pasca-Indonesia—tidak ada buku lain yang membahas tentang bagaimana bertahan hidup bagi para aktivis mahasiswa.

Di banyak kampus, para aktivis mahasiswa adalah golongan elite. Alasannya tentu saja adalah pikiran kritis mereka, narasi-narasi antikemapanan, serta kemampuan kelompok ini melihat setiap hal yang populer dari sudut pandang yang berbeda.

Saya mengetahui beberapa aktivis mahasiswa yang skeptis dengan smartphone. Segala kemudahan yang ditawarkan teknologi hebat itu adalah jalan yang terlalu singkat. “Membuat orang tidak berjuang. Membuat para mahasiswa tidak pandai berpikir kritis,” kata mereka. Karena itulah banyak di antara aktivis mahasiswa yang mengaku lebih senang mencari informasi di buku-buku.

Ya, di tangan mereka selalu ada buku. Lebih tepatnya, buku-buku kiri. Nama-nama seperti Paulo Freire, Karl Popper, dan Michael Lowi selalu dipercakapkan. Mereka hafal judul-judulnya, lalu sesekali bertukar koleksi buku. Ada beberapa judul wajib. Mungkin termasuk The Communist Manifesto-nya Karl Marx dan Friedrich Angels, meski ketika ditanya tentang isi buku tersebut, mereka memilih untuk memberi saran agar kita membacanya sendiri. Apakah karena mereka ingin kita menjadi cerdas atau karena mereka justru tidak tahu isinya? Wallahu a’lam.

Mereka berdiskusi. Sesekali juga meledek artikel-artikel di media daring dengan tawa yang sengaja dilembutkan, tetapi siapa saja yang ada di situ dan telah kadung percaya pada Google tahu itu adalah tawa sinis. Untuk membentuk kecerdasan, mereka tidak percaya shortcut. Semua orang harus membaca secara dalam pikiran-pikiran orang-orang cerdas terdahulu. Ya, Freire dan kawan-kawannya tadi.

Tetapi untuk perubahan, mereka percaya revolusi. Demikianlah para aktivis mahasiswa akan turun ke jalan, berdemonstrasi, menuntut perubahan segera.

Hmmm… Ada dua hal yang menghadap ke sisi yang berbeda, bukan? Tidak ada jalan pintas kecuali untuk perubahan. Standar ganda? Debatable.

Skema dasarnya kira-kira begini:

Semua mahasiswa adalah manusia yang memakai standar ganda dalam hidupnya. Sementara itu, mahasiswa adalah aktivis mahasiswa. Maka, aktivis mahasiswa memakai standar ganda dalam hidupnya. Begitu. Berdebatlah.

Persoalan kemudian muncul ketika mereka akhirnya diwisuda, para aktivis mahasiswa itu. Melalui proses yang panjang, melibatkan percakapan “kapan selesai” atau “ndang mari-o”, yang berulang-ulang dari orang tua selaku penyandang dana, mereka memakai toga, maju, membiarkan rektor menggeser tali itu. Pak Rektor pasti senang sekali melakukannya.

Setelah seluruh prosesi, toga disampirkan begitu saja di sebelah singlet. Tak ada perayaan, karena perayaan berupa pesta dan makan-makan hanya boleh dilakukan pemuja kemapanan—bukan para aktivis mahasiswa. Mereka harus segera bergerak dengan modal idealisme yang luar biasa, mengubah dunia yang semrawut.

Tetapi, mulai dari mana?

Di luar sana, lowongan pekerjaan perusahaan ternama mengutamakan calon tenaga kerja berpengalaman, minimal dua tahun. Ada syarat minimal umur juga: 25 tahun.

Mereka—mantan aktivis mahasiswa—jelas dihadang soal pertama. Soalnya, banyak aktivis mahasiswa yang lulusnya lama. Tetapi, ya sudah, tidak apa-apa. Toh, kerja di perusahaan besar hanya untuk para penggemar kemapanan.

Masih ada juga perusahaan yang mencari fresh graduate. Tetapi, syarat minimal umurnya malah lebih kecil lagi, ditambah syarat lain yang lumayan berat. IPK minimal pun terasa terlalu maksimal. Lagi pula, banyak perusahaan yang tidak terlampau menyukai mantan aktivis mahasiswa karena khawatir ide-ide progresif mereka mengganggu ritme.

Untunglah ada pilihan lain yang lebih luwes: menjadi jurnalis! Tetapi, masa-masa awal di pekerjaan ini adalah yang paling berat. Jika sebelumnya mereka terbiasa menjadi narasumber, berbicara tentang kebenaran dan keadilan, kini mereka harus mewawancara dan menulis komentar orang lain, tanpa boleh mengubah bentuk. Lah, bagaimana kalau narasumber itu pendapatnya cetek?

Situasi sulit ini tidak sampai di situ saja. Sang jurnalis baru yang mantan aktivis mahasiswa itu berhadapan dengan kerumitan editorial, agenda setting, dan—ehm—kepentingan media. Berontaklah mereka karena merasa media tempat mereka bekerja tidak lagi memegang teguh vox populi vox dei. Jelas, pilihan terakhir adalah berhenti. Tak ingin jadi pelacur intelektual!

Lalu, mantan aktivis mahasiswa ini memutuskan membuat media daring sendiri. Kemudahan mendirikan perusahaan pers, plus Dewan Pers yang anggotanya sangat sedikit, membuka selebar-lebarnya jalan baru itu. Tetapi, seperti semua telah tahu, media-media daring yang baru muncul itu sedang menjalankan peribahasa “hidup enggan, mati tak mau”.

Maka atas nama idealisme, didekatilah kelompok-kelompok oposisi (atau kelompok apa saja yang berduit) untuk membiayai media daring. Untung, rencana ini berjalan baik, sebelum akhirnya menjadi media pengujar kebencian. Kepentingan pemilik modal telah ada di atas segalanya sebagaimana mestinya.

Tidak apa-apa. Toh, sama-sama antikemapanan. Hmmm.

Eh, tapi ada juga mantan aktivis mahasiswa yang sudah memperkirakan situasi ini bakal terjadi. Maka, mereka pun memilih jalan lain: menjadi aktivis di luar kampus. Tugasnya? Menggalang dukungan publik dengan menjual ide-ide Karl Marx, meski yang umumnya dijual adalah tentang kesamaan hak beroleh kesejahteraan—yang adalah permukaan dari ide-ide besar Marx.

Kita semua berhak sejahtera. Demikian tagline itu berkumandang dan mendapat dukungan.

Suara-suara itu mengganggu pemangku kepentingan. Si aktivis diajak masuk. Duduk. Menjadi bagian dari sistem. Menjadi pegawai honorer. Gaji yang lumayan. Kepada masyarakat yang sebelumnya diajak bergerak, mantan aktivis ini berkewajiban memberi penjelasan. “Saya akan melanjutkan perjuangannya dari dalam,” katanya.

Kita tahu, bagaimana nasib orang seperti ini di dalam sistem. Menjadi notulen? Itu keuntungan yang besar sekali. Biasanya, mereka malah diorientasi dulu sebagai pengantar surat. Bisa bertahun-tahun masa orientasinya.

Sebagian besar aktivis mahasiswa tahu betul situasi ini. Pernah, mereka diskusikan di parkiran kampus, tentang mengapa orang-orang potensial itu tidak berdaya di dalam sistem. Mereka menolak menjadi bagian dari para mantan aktivis mahasiswa yang menyerah dalam pelukan sistem.

Yang sadar situasi ini lalu memilih bergabung ke partai politik, menjadi caleg. Mereka menyerukan perubahan di masa kampanye, terpilih, dan kemudian mengerti bahwa ada sistem yang lain lagi. Sebagai anggota legislatif, di pundak mereka sekarang ini bertengger tanggung jawab berat. Garis-garis besar haluan partai, menjadi kelompok pemenang, bla bla bla.

Kepada masyarakat pemilih, mereka akan bilang: “Kita harus bersabar. Perubahan sedang dilakukan, tapi tidak bisa segera. Pembangunan bukan revolusi. Itu evolusi. Waktunya bisa selama yang dibutuhkan seekor monyet milik Darwin untuk menjadi manusia. Atau monyet milik Eka Kurniawan yang bermimpi menjadi penyanyi dangdut?”

Hmm. Apakah mantan aktivis mahasiswa yang demikian sedang menjilat ludah sendiri?

Agaknya, tidak juga. Hidup itu butuh proses, bukan? Yang paling penting adalah CV: aktivis mahasiswa di era sekian. Itu lumayan.

Begitulah perjalanan karier mereka selepas wisuda. Mahaberat memang. Tetapi, mau bilang apa lagi? Lagi pula, Romo Mangun hanya menulis buku berjudul Menjadi Generasi Pasca-Indonesia—tidak ada buku lain yang membahas tentang bagaimana bertahan hidup pasca-aktivis.

Kalau toh buku seperti itu ada, para aktivis mahasiswa selalu menghindari bacaan-bacaan yang berisi tips-tips. Ingat rule pertama? Tidak ada shortcut, Bro. Mamam!

Exit mobile version