Sampai malam ini saya masih berpikir keras sebetulnya pesan apa yang ingin disampaikan Prabowo Subianto yang mendadak menyinggung gaji wartawan. Saking kerasnya saya berpikir, terpaksa ibadah seperempat malam saya tunda dulu.
Okelah, biar otak tidak makin miring kayak penghuni gedung parlemen yang konon miring itu, mari kita uji kebenaran pernyataannya.
Berita pernyataan Prabowo ini di-share di grup-grup wartawan, dan bikin baper banyak rekan-rekan saya. “Kita belain para wartawan. Gaji kalian juga kecil, kan? Kelihatan dari muka kalian,” kata Prabowo, lalu disambut tawa para pemburu berita itu.
Saya kok curiga, tawa rekan-rekan yang di TKP itu pastilah dipaksakan atau minimal tawa kecut.
Masih ada sambungannya, Pak Prabs sekonyong-konyong mengatakan, “Dari muka kalian kelihatan nggak belanja di mal. Betul ya? Jujur, jujur.” Ya, betul, Pak … apalagi ke salon dan Starbucks. Jauh.
Pernyataan jenderal pecinta kuda ini jleb banget. Saking jlebnya, seandainya saya ada di sana, pasti saya sudah tidak tahan untuk tidak mengumpat, ‘Bajinguk! Kok bener?”.
Semakin lama, karisma Pak Prabs sebagai pria jomblo yang agung semakin terasah. Kepala Suku Mojok yang terkenal punya ilmu laduni sampai-sampai berani memprediksi beliau sudah hampir pasti jadi presiden 2019.
Tapi bukan soal apakah dia akan jadi presiden atau peternak kuda yang ingin saya sampaikan di sini, saya sih tidak peduli. Saya hanya ingin mengatakan, apa yang dikatakan Prabowo itu warbiyasa.
Meski kehidupan wartawan tidak separah sampai harus mengisi botol sampo yang sudah habis dengan air agar keluar busanya, memang sih kehidupan mereka tidak jauh dari kelompok pengisi botol sampo tadi.
Mari kita mulai dari gaji. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pernah melakukan survei mengenai upah layak wartawan di Jakarta. Pada 2016, upah layak wartawan pemula yang sudah diangkat sebagai karyawan adalah Rp7,54 juta. Tapi ketanyaannya, menurut survei AJI, gaji rata-rata mereka di kisaran Rp4-5 juta.
Itu di Jakarta, dan masih mending. Kalau bung dan nona semua pengin tahu gaji wartawan di daerah, alamak, Pak Prabs pasti tambah terkagum-kagum. Sebuah media lokal di Denpasar, sebagai contoh, bahkan menggaji wartawannya Rp1,5 juta. Sudah begitu ada yang sampai ditunda sampai tiga bulan nggak digaji.
Saya sendiri pernah terlibat langsung dalam survei upah layak oleh AJI Denpasar pada 2010 silam. Upah layak di Denpasar saat itu minimal Rp3 juta. Ada pelbagai komponen yang disurvei, dari kebutuhan makan-minum sehari-hari, sampai piknik untuk wartawan jomblo.. Namun, di tahun itu, rata-rata gaji wartawan masih di angka Rp1 juta.
Tenang … itu 7 tahun lalu.
Sekarang gimana? Gaji wartawan di Denpasar ya masih banyak yang di bawah Rp 2 juta. Telek, kan?
Saya kira ini juga terjadi di daerah lain. Perusahaan media di Indonesia paling kecil dalam mengeluarkan upah untuk wartawannya di Asia. Malaysia mengupah jurnalis dengan 18,3 persen dari total pengeluaran, Singapura 29,3 persen, 37,12 persen di Australia. Indonesia? 8 sampai 12,39 persen.
Nah, di titik inilah apa yang dikatakan Prabowo itu benar. Gaji wartawan memang kecil.
Sekarang pernyataannya yang kedua, mengenai wartawan yang tidak pernah ke mal.
Jadi begini, Pak Prabowo … eh, situ kan masih jomblo ya? Biar lebih akrab saya panggil Bung Prabowo saja, ya.
Begini, Bung Prabs …. Wartawan itu setiap pagi itu makannya ke restoran mahal. Lha gimana, pagi-pagi sudah banyak mengundang seminar di hotel-hotel mewah. Kami sarapan plus dapat berita yang tentunya ‘mewah’ juga. Itu kalau pagi.
Kalau siang sedikit, kadang ada juga undangan jumpa pers dan makan siang—gratis, tentunya. Nah, menjelang sore, sebetulnya masih banyak undangan juga; dari anggota dewan yang rapatnya sering di luar gedung parlemen.
Jadi, kalau Anda bilang wartawan jarang ke mal, sebetulnya ya bukan level kami ke mal yang banyak barang diskonan itu.
Ngomong-ngomong, tipe wartawan yang kalau pagi sering ke hotel mewah, siang makan enak di restoran, dan sore kongkow bareng anggota dewan itu, malamnya gimana? Ngetik berita dong.
Setelah itu?
Ya, kami kembali ke dunia kami sesungguhnya. Hidup di kos-kosan di derah pinggiran yang murah, yang dapurnya dipenuhi aneka pilihan mie instan yang jauh dari yang kami dapat dari pagi hingga sore hari tadi.
Kebanggaan memang kadang memiskinkan. Terlebih bagi jurnalis yang masih memegang prinsip teguh idealismenya. Idealisme yang menjadi kemewahan terakhir kami. Bukan mal, bukan salon, bukan pula tampang perlente. Gaji layak? Aduh, itu sih bukan kemewahan, Bung! Itu kewajiban pemilik media.
Maka maha benar Prabowo Subianto dengan segala selorohnya.