Indonesia Adalah Negara Tanpa Logika dan Semaunya Sendiri ketika Menentukan Jurusan LPDP bagi Mahasiswa Tanpa Mendengarkan Kritik dan Masukan

LPDP Ditentukan Negara, Bukti Logika Pemerintah Memang Cacat MOJOK.CO

Ilustrasi LPDP Ditentukan Negara, Bukti Logika Pemerintah Memang Cacat. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO –  Giliran ada anak bangsa yang niat kuliah ke luar negeri lewat beasiswa LPDP, eh pemerintah malah membatasi jurusan. Cacat logika.

Mari kita blak-blakan saja. Pemerintah ini sebenarnya maunya apa? Katanya anak bangsa harus kreatif, inovatif, jadi pemimpin global, memajukan bangsa, bla bla bla. 

Tapi, giliran ada anak bangsa yang niat kuliah ke luar negeri lewat beasiswa LPDP, eh pemerintah malah membatasi jurusan. Lalu, mahasiswa mau menyalurkan minat dan kreativitasnya lewat mana? Pemerintah pengin anak muda itu inovatif, tapi mereka memagari bidangnya sejak awal. Sebuah ironi.

Kepala Divisi Hukum dan Komunikasi LPDP, Mohammad Lukmanul, mengatakan secara terang-terangan bahwa mulai 2026 skema LPDP akan berubah. “Jika Kemdikbud Saintek melihat program beasiswa LPDP perlu difokuskan pada bidang tertentu yang perlu diakselerasi, kami mendukung. Penyesuaian mungkin dimulai tahun 2026,” kata Lukmanul saat ditemui di Sabuga ITB, Bandung (9/8/2025).

Fokus negara

Selain itu, dia juga menegaskan bahwa negara ingin fokus ke Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM). Mahasiswa, konon, masih boleh mendaftar jurusan lain. Namun, mereka yang mendaftar di jalur STEM, punya peluang yang lebih besar untuk tembus beasiswa.

“Tidak serta merta diterapkan sistem kuota yang kaku. Tapi ada formula, orang yang lulus seleksi itu jumlahnya akan lebih besar STEM daripada yang non-STEM. Ada penilaian berbeda antara yang STEM dan non-STEM. Pendaftar akan diarahkan untuk memilih bidang-bidang keahlian yang dibutuhkan negara,” ujarnya.

Fokus riset dan pengembangan dalam bidang STEM meliputi pangan, energi, kesehatan, pertahanan, maritim, hilirisasi dan industrialisasi, digitalisasi (termasuk AI dan semikonduktor), serta material dan manufaktur maju. 

Untuk rincian jurusan spesifik maupun kampus tujuan, LPDP menyerahkannya kepada Kemendiktisaintek dan Kemenko PMK. “Pak Brian (Mendiktisaintek) dan Pak Pratikno (Menko PMK) yang akan menentukan sekolah mana yang akan menjadi destination dan bidang apa,” lanjutnya.

Meski ada penyesuaian skema, Lukmanul memastikan dana LPDP untuk beasiswa tetap tersedia. Dengan adanya dana abadi, pengguliran beasiswa maupun riset tidak akan berhenti, meskipun terjadi efisiensi anggaran.

Baca halaman selanjutnya: Kadang-kadang nggak ada logika.

Logikanya tuh di mana?

Yang bikin saya geleng-geleng kepala adalah logika di balik semua ini. Negara berlagak seolah-olah paling tahu masa depan anak mudanya. Padahal, dunia kerja sendiri berubah lebih cepat dari regulasi birokrasi. 

Hari ini negara bilang AI, semikonduktor, dan hilirisasi adalah kunci, tapi siapa yang menjamin lima tahun lagi dunia tidak berubah lagi arahnya? Apakah mahasiswa LPDP yang terpaksa “dijodohkan” dengan jurusan tertentu ini tidak akan jadi korban salah prediksi?

Masalahnya bukan “STEM vs non-STEM”, ini soal kebebasan intelektual. Ilmu pengetahuan bukan pasar swalayan yang bisa diatur supply-demand

Di dalam kepala saya betul-betul banyak pertanyaan. Misalnya, siapa yang menentukan bidang “strategis” dan atas dasar apa? Apakah pemetaan Kemendiktisaintek cukup akurat untuk menakar kebutuhan nasional selama bertahun-tahun? Kalau mahasiswa diarahkan memilih jurusan tertentu, apakah ada mekanisme untuk menilai bahwa pilihan itu benar-benar relevan dengan kapasitas individu, atau sekadar memenuhi target statistik? 

Dan yang paling menggelikan, bagaimana definisi “keahlian yang dibutuhkan negara” itu diukur? Apakah ada indikator objektif, atau hanya slogan birokrasi yang terdengar ilmiah?

Kalau kita bedah sampai ke tulang, keinginan rakyat sering seperti angin lalu di telinga pemerintah. Sementara itu, kemauan pemerintah sering terasa ora umum bagi rakyat. 

Mana prosesi dialektis yang harus ada itu!? Mahasiswa pengin kuliah sesuai passion dan kapasitas, tapi LPDP bilang, “Tidak, kamu harus ke jalur yang menurut ‘strategi nasional’ paling menguntungkan.” 

Lah, strateginya buat siapa, coba? Apakah ada yang tanya: “Eh, minatmu apa, kemampuanmu di mana?” Jadinya, kebijakan ini seperti orkestra besar yang main tanpa peduli nada-nada pemainnya sendiri, dan kita disuruh tepuk tangan.

Ah, memang benar rasanya pendidikan di Indonesia ini seperti serial tanpa akhir. Belum selesai satu episode soal kualitas guru, datang episode fasilitas bobrok, atau kurikulum yang membingungkan, tiba-tiba ada plot twist baru soal skema LPDP 2026.

Pemerintah jangan cuma menentukan LPDP, sekalian jodoh saya dong

Saya jadi ingin ikut “merepotkan” sedikit. Kalau negara merasa paling tahu masa depan anak muda, sekalian dong pilihkan jodoh saya juga, biar hidup benar-benar terarah. Tidak ada lagi salah langkah, tidak ada lagi salah pilihan. 

Mau cinta atau karier, semua sudah ada rumusnya. Toh, kalau cita-cita bisa ditentukan untuk memenuhi kebutuhan negara, kenapa urusan hati tidak bisa disusun juga sesuai “visi besar bangsa”?

Seharusnya pemerintah tuh ….

Seharusnya pemerintah tuh hadir sebagai mediator dan katalis intelektual, bukan malah berlaga seperti diktator agenda akademik. Kalau seperti ini, apa bedanya dengan mesin produksi SDM yang mengikuti peta kebutuhan birokrasi semata. 

Skema LPDP 2026 seharusnya dibangun melalui kajian empiris yang sistematis, dialog publik, dan konsultasi lintas disiplin. Semata agar keputusan yang diambil tidak terasa arbitrer dan menjauh dari realitas sosial. 

Jika suara mahasiswa, akademisi, dan komunitas ilmiah hampir tidak terdengar, bagaimana kebijakan itu bisa dianggap representatif?

Konsekuensinya, kita kini melihat kebijakan yang seolah-olah menjawab kebutuhan nasional, yang sebenarnya malah mengabaikan dinamika sosial dan intelektual yang berkembang. Misalnya, alokasi anggaran pendidikan dalam RAPBN 2026 sebesar Rp757,8 triliun, dengan hampir separuhnya, yakni Rp335 triliun, dialokasikan untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Program ini, meskipun memiliki dampak positif terhadap peningkatan gizi peserta didik, namun menimbulkan pertanyaan serius mengenai prioritas anggaran pendidikan. Apakah program ini sebanding dengan kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan dan riset di perguruan tinggi?

Soal LPDP, Pemerintah tidak pernah mau mendengar

Lebih lanjut, kebijakan LPDP 2026 yang memfokuskan beasiswa pada bidang STEM dan prodi tertentu, tanpa melibatkan partisipasi aktif dari civitas akademika, menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan dan kebutuhan riil di lapangan. 

Penentuan jurusan dan kampus tujuan oleh pemerintah, tanpa konsultasi yang memadai, berpotensi menciptakan ketimpangan dalam distribusi sumber daya pendidikan dan mengabaikan keberagaman minat serta potensi mahasiswa. 

Dalam konteks ini, pemerintah seharusnya lebih mendengarkan dan melibatkan berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan. Tanpa pendekatan yang inklusif dan berbasis pada dialog, kebijakan pendidikan akan kehilangan arah dan relevansi dalam menghadapi tantangan zaman.

Bakat pemerintah untuk semaunya sendiri

Pemerintah memang punya bakat alami untuk “semau gue”. Bukannya menengahi atau memfasilitasi, kebijakan sering dibuat di ruang tertutup, diam-diam, lalu diumumkan seolah tak ada ruang protes. Skema LPDP 2026 jadi contoh terbaru: jurusan ditentukan tanpa tawar-menawar. Mahasiswa hanyalah pion di papan strategi nasional.

Akibatnya, calon penerima beasiswa terpaksa menari mengikuti irama yang ditabuh birokrasi. Pilihan yang dulu terasa seperti hak, kini berubah menjadi daftar antrean: “Silakan pilih, tapi pilihannya sudah ditentukan.” Kreativitas yang katanya harus dimunculkan anak muda malah disandera prosedur dan regulasi.

Yang lebih lucu, mahasiswa belajar beradaptasi untuk menyesuaikan impian, menyesuaikan narasi diri, bahkan kadang menyesuaikan identitas agar cocok dengan “visi besar bangsa”.

Dan untuk kalian, apakah semangat untuk mengejar beasiswa LPDP masih tersisa? Apakah masih ada gairah untuk menulis proposal penelitian yang benar-benar kita impikan, atau semua aspirasi sudah direduksi menjadi kotak-kotak yang mesti dicentang sesuai “kebutuhan negara”? Coba pikir ulang.

Penulis: Sayyid Muhamad

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Sulitnya Jadi Mahasiswa Penerima Beasiswa LPDP, Dituntut Banyak Ekspektasi padahal Nggak Bahagia di Luar Negeri dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version