MOJOK.CO – Beda dengan pilpres. Modal duit besar di pilkada banyak tidak jaminan menang. Nama besar? Hm, belum tentu juga, Sayang.
Banyak yang mengira bahwa banyaknya perolehan suara paslon cagub, cawalkot, dan cabup di daerah berbanding lurus dengan banyaknya gelontoran dana yang dikucurkan. Banyak dana berarti banyak suara, banyak uang berarti semakin besar kemungkinan untuk menang.
Apakah benar demikian? Sayangnya tidak.
Banyak contoh calon kepala daerah di pilkada yang tidak menang walau memiliki kekayaan berlimpah ruah. Kalian bisa googling sendiri untuk mencari tahu siapa saja orangnya. Kalau ndilalah saat ini kalian sedang malas googling, kita ambil saja contoh Drakor Start-up yang baru minggu kemarin tamat.
Meski isi ceritanya tidak ada nyenggol-nyenggolnya blas dengan Pilkada, namun pesannya sama. Uang bukan satu-satunya faktor penentu bagi seseorang untuk memilih. Bila yang dijadikan patokan adalah uang, tentu saat ini Seo Dal Mi sudah memilih Han Ji Pyeong. Faktanya tidak.
Faktanya Seo Dal Mi lebih memilih Nam Do San dan keputusannya membuat #TimHanJiPyeong patah hati. Termasuk saya yang sampai saat ini masih mengutuk penulis naskahnya. Benar-benar gamashoook.
Di pilkada, aturan serupa juga berlaku. Uang memang perlu, tapi bukanlah faktor penentu. Bila uang bukanlah penentu buat menang, lalu apa? Apakah figur calonnya? Tidak juga.
Memang ada calon yang sudah dikenal sejak lama, tapi jumlahnya tidak seberapa. Kebanyakan dari calon kepala daerah itu, kita baru tahu pas hari-hari menjelang pilkada. Gara-gara gambarnya ada di mana-mana, juga karena para calon ini mendadak rajin menyapa dan berkunjung ke daerah kita biar bisa menang.
Mirip-mirip lah sama mahasiswa yang tiba-tiba akrab dengan dosen pembimbing pas skripsi. Tiba-tiba jadi hafal ulang tahun dosen dan memberi surprise pas hari H. Padahal selama empat tahun kuliah, jangankan memberi kejutan, memberi ucapan selamat ulang tahun saja nyaris tidak pernah.
Jangankan memberi ucapan selamat ulang tahun, menyapa sewaktu ketemu di jalan saja tidak pernah. Saya hafal betul kelakuan mahasiswa-mahasiswa ini karena saya adalah salah satunya.
Kira-kira apakah mahasiswa-mahasiswa ini melakukannya dengan tulus? Atau gara-gara mereka pengen cepet lulus? Kalian tentu sudah tahu jawabannya.
Ketika uang dan figur calon tidak bisa diandalkan, ada satu yang bisa. Timses. Sekelompok orang yang tujuannya memenangkan salah satu paslon ini, perannya sangat krusial dalam pilkada.
Secara tidak langsung, mereka adalah cerminan dari calon yang diusung. Ketika timses ini memiliki kepribadian yang baik, ramah dengan tetangga, ringan tangan saat dimintai apa-apa, tanpa menenunjukkan SKCK pun masyarakat bisa menilai bahwa calon yang diusung timses ini juga orang yang baik.
Para pemilih apalagi yang di desa-desa, jarang sekali memandang calon kepala daerah. Toh siapapun yang jadi, nasib mereka tetap begitu-begitu saja.
Pemilih bahkan kerap berujar bahwa para pemimpin itu beda tipis dengan Pil KB. Kalau Pil KB lupa (diminum), malah jadi (istri hamil), tapi kalau calon pemimpin begitu jadi (jadi DPR, Bupati, dan seterusnya) malah lupa (dengan pemilihnya).
Pemilih bukan memilih karena mendukung calon, atau menyukai program-programnya. Tapi lebih kepada balas jasa kepada timsesnya. Apalagi ketika timses ini di masyarakat dikenal sebagai ujung tombak dan ujung tombok sehingga banyak orang yang merasa berutang budi.
Setiap kali ada kegiatan di lingkungan, si timses ini hobinya tombak-tombok. Rela mengeluarkan tenaga dan biaya demi kepentingan bersama. Sudah berkorban banyak tanpa meminta apa-apa, lalu saat momen Pilkada tiba timses ini minta dukungan kita untuk mencoblos satu suara.
Apakah kira-kira kita akan menolaknya? Tentu sulit untuk mengatakan tidak. Timses tipe ini hampir bisa dipastikan akan mendulang banyak suara untuk calon yang diusung.
Begitu pula sebaliknya. Saat ada salah satu timses, yang kesehariannya njengkelke ati, tiba-tiba saat pilkada meminta bantuan pada kita untuk memilih calon yang diusungnya, kira-kira bagaimana respons masyarakat?
Dalam bibir bisa saja masyarakat berkata iya, dalam genggamam tangan bisa saja uang dari timses ini diterima, tapi di dalam TPS semuanya masih menjadi rahasia. Di atas kuitansi kampanye pilkada dikira menang, di bilik suara jumlah suaranya ternyata kayang.
Pemilih bilang iya bukan karena mereka mau, melainkan karena dalam kultur kita menolak permintaan orang lain masih dianggap sebagai hal yang tidak sopan. Sekalipun yang meminta bantuan orang yang njengkelke, tetep dianggap tidak sopan.
Timses tipe kedua ini, nyatanya jarang sekali mendulang banyak suara bagi calon yang diusungnya. Bahkan kerap malah tidak memperoleh suara blas. Tapi tentu saja itu baru berlaku kalau kamu bukan timsesnya Gibran Rakabuming Raka.
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Jokowi usai Kemenangan Anak dan Mantu atau tulisan Riyan Putra lainnya.