Malas dan lapar adalah dua hal yang sering cekcok di diri kita. Terlebih di musim penghujan seperti ini. Kita sering malas keluar untuk makan malam. Tiba-tiba hari telah jauh malam dan perut keroncongan. Kebanyakan dari kita kemudian punya solusi yng hampir sama: memasak mie instan.
Mie instan, apapun yang mau dibilang orang tentang makanan satu ini, toh tetap bagian dari solusi ketika menghadapi urusan perut seperti di atas. Murah, mudah, cukup mengganjal perut. Sehingga kita bisa segera tidur, lalu berharap ketika bangun sudah tidak ada perasaan malas untuk berburu makanan yang kita bayangkan semalaman namun malas untuk kita beli: nasi padang, nasi gudeg, pecel, soto dll.
Mie instan juga sering menjadi penyelamat di saat situasi tidak bersahabat. Bayangkan, Anda lapar, di luar hujan sedang sangat deras. Hari sudah malam. Mau keluar kebayang jalanan yang banjir, warung makan yang sudah tutup, penglihatan yang terhambat, dan dingin yang mencengkeram. Mie instan lagi-lagi menyelamatkan kita. Tapi jangan salah, dalam situasi seperti itu, makan mi instan bisa jadi tragedi. Berikut yang sering terjadi:
1. Gas habis
Kita sudah mempersiapkan semua: sebungkus mie instan yang sudah kita buka dan kita ambil sedikit lalu kita klethusi sambil merajang cabe rawit, membersihkan telor, menyiapkan mangkuk.. Lalu klek! Ceklek! Ceklek! Pukimaaaaak! Gas habis!
Solusinya biasanya: mie instan itu kita makan mentah sambil menyimpan rasa gondok. Terlebih tidak bisa bikin teh anget atau kopi.
2. Telor busuk
Semua sudah kita siapkan seperti di atas. Klek! Ceklek! Hidup! Kompor hidup. Alhamdulillah. Sambil menyanyi satu lagu menunggu air mendidih. Ketika air sudah mulai bergelembung, mie instan kita masukkan. Saat mulai terburai, telor kita pecah di atasnya. Dan…. telornya bau! Hati kesal minta ampun sambil mengumpati para penjual telor dan supermarket. Dengan terpaksa membuang mie instan, membersihkan panci, merebus air lagi dan membuka lemari untuk mengambil sebungkus mie instan lagi. Ternyata sudah tidak ada stok lagi. Biasanya solusi menghadapi tragedi macam ini adalah nekat keluar hujan-hujan saking panasnya diri terbakar emosi, dingin udara dan air hujan menjadi tak terasa.
3. Kemasukan sesuatu
Semua sudah siap. Semangkuk mi instan revus dengan telut dan irisan cabe rawit plus irisan pete. Hmmm… nyam-nyam! Baunya, kata jurumasak Rahung Nasution: biadab! Air liur sudah menggenang di mulut.
Tapi sabar, mari siapkan dulu teh anget, agar ketika usai makan langsung bisa disempurnakan dengan menyeruput minuman anget.
Ketika segelas teh anget sudah siap, sendok dan garpu sudah mulai menari membolak-balik mi instan itu… Plung! Apa ini? Hitam kecil? Lihat ke atas, ke langit-langit, ada cicak. Faaaaaak!
Sambil gigi kerot-kerot menahan amarah, solusinya: dibuang! Mie instannya yang dibuang? Bukan! Lalu? Ya tai cicaknya, dong!
4. Ada telepon
Semua sudah tersaji. Mie instan rebus dan segelas teh anget. Sempurna. Pas baru usai satu sendok, telepon berdering. Menengok hape, duh… klien yang tadi siang mau pesan dituliskan buku. Terpaksa diangkat, mungkin penting.
Terjadilah obrolan panjang. Mau memotong obrolan tidak enak. Akhirnya setelah 30 menit, baru obrolan proyek buku usai. Mie instan sudah dingin dan gendut. Sudah tidak enak lagi. Tapi mau gimana lagi? Mengganjal perut lapar adalah urusan utama, rasa makanan adalah urusan kedua.
5. Terpeleset
Lagi-lagi, semua sudah siap. Semangkuk mie instan paket lengkap, segelas teh anget yang kemebul, dan tidak ada dering telepon. Tapi kayaknya lebih nikmat sambil nonton teve. Mangkuk mie diangkat. Baunya mengganggu konsentrasi. Saat berjalan menuju depan teve, kaki terpeleset. Krompyang! Pecah.
Ya memang yang pecah hanya mangkuknya. Mie-nya hanya terburai belaka di lantai. Telornya juga masih utuh di dekat sandal. Mau? Kalau seperti ini biasanya solusinya apa ya? Coba isi sendiri…