Kutukan Scopus Bikin Dosen Menderita Sama Kayak Mahasiswa dengan Skripsinya

MOJOK.CO – Jangan dikira yang pusing penelitian skripsi di kampus cuma mahasiswa. Para dosen punya kegelisahan juga lewat momok penelitian yang harus terindeks Scopus.

Bagi kalian yang tengah berjuang dan bergelut menghadapi skripsi serta drama-drama di dalamnya, sekarang nggak usah sedih lagi. Kamu nggak sendirian menghadapi rumitnya penelitian sampai jadi sebuah mahakarya adiluhung (oke, fiks ini lebay) dalam wujud skripsi.

Paling tidak kalau Bapak-Ibu tanya tentang skripsimu, kamu bisa ngeles bajaj kayak begini; “Itu loh, si Kokom yang IP-nya hampir 4 juga kesusahan ngerjain skripsinya juga loh Pak, Bu.”

Meski kelihatannya proses penyusunan skripsi jadi horor bagi kita, kadang hal itu jadi common enemy juga buat sebagian dosen juga loh. Nggak percaya?

Jadi begini, beberapa pekan lalu, seorang kawan yang mengajar di sebuah kampus swasta ternama di bilangan Jakarta Barat curhat mengenai kebijakan tempatnya bekerja; satu Universitas 1.000 Scopus—atau kira-kira senada itulah.

Kebijakan tersebut sebenarnya nggak buruk-buruk amat. Sebagai dosen, ia dan dosen lainnya diminta aktif mempublikasikan penelitian yang dihasilkan di forum-forum ilmiah berskala internasional.

Ohya, Scopus sendiri dalam dunia persilatan kampus atau kalangan dosen dan peneliti sudah akrab di telinga sejak ada Permendibud No. 92 tahun 2014 tentang syarat menjadi profesor.

Nama Scopus semakin familiar 2-3 tahun belakangan ini saat Kemenrisetdikti mengeluarkan peraturan menteri nomor 20/2017 yang di dalamnya diatur syarat tunjangan dosen dan profesor hanya dapat diberikan jika salah satunya mampu menulis dalam jurnal berskala dunia. Bahkan konon hal ini juga menjadi salah satu poin penilaian dalam sertifikasi dosen.

Nah, Scopus ini semacam pusat data literatur ilmiah yang bisa melacak penelitian-penelitian dari seluruh dunia. Mekanisme kerja Scopus mirip-mirip Google sebagai mesin pencarian paling terkenal di internet.

Penelitian-penelitian yang bisa terindeks Scopus ini cuma penelitian-penelitian yang telah diseminarkan dan/atau direview oleh para ahli yang mumpuni di bidang keilmuan tertentu. Ini bisa terjadi kalau penelitian-penelitian ini muncul di jurnal-jurnal bereputasi baik yang punya tim reviewer kece di tingkat dunia. Dan, tentu saja penelitian-penelitian ini berbahasa Inggris.

Sekarang pertanyaannya, memang kenapa Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi itu mensyaratkan dosen-dosen kita untuk bikin penelitian—bahkan kalau mau dapat uang saku tambahan (baca: tunjangan)— sampai tingkat internasyenel?

Hal ini katanya sih sebagai tolok ukur untuk menilai seberapa bermanfaat sih bidang keilmuan yang dikaji oleh dosen-dosen kita itu. Pun, seberapa mampu kajian-kajian tersebut—dalam konteks ke-Indonesiaan atau realitas sekitar yang digali oleh dosen-dosen kita—dikenali dunia.

Logis sih. Karena tugas kampus itu sebenarnya hasil perkawinan antara janji suci Dasa Dharma dan Tri Satya di Pramuka. Eh, maksudnya fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi itu ya enggak jauh-jauh dari pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat.

Hal ini juga menjelaskan kenapa sih tugas-tugas mahasiswa di kampus selain kuliah ada juga KKN lah, disuruh menulis skripsi berdasarkan riset-lah.

Dear, mahasiswa-mahasiswi yang suka bikin IG-story yang masang muka close-up dosennya lagi ngajar, tolong diingat-ingat ya! Jangan bertanya lagi kenapa harus ada KKN sampai ke pelosok desa atau bikin penelitian di akhir masa perkuliahan.

Tugas-tugas ini nggak cuma dibebankan pada mahasiswa semata. Seluruh penghuni kampus (minus staf tata usaha, tukang parkir, satpam, OB, dan mbok-mbok kantin sih), kena kewajiban Tri Dharma perguruan tinggi itu. Artinya, dosen-dosen kita juga kebagian getahnya untuk menjalankan tiga kewajiban ini.

Khusus untuk poin penelitian dan pengembangan, serius deh, bukan hanya mahasiswa yang mengalami kerumitan dalam meneliti. Sebagian besar dosen kita sesungguhnya berat juga untuk menunaikan kewajiban ini.

Bukan saja karena penelitian ilmiah itu membutuhkan usaha yang serius; harus banyak baca buku dan update baca jurnal, belum lagi pilah-pilih (dan menjalankan) metode untuk bisa ditelusuri jejak validitasnya. Wah, pokoke penelitian itu memang membutuhkan proses yang nggak simpel sama sekali.

Ibarat mau ngomong “tempe yang beredar saat ini setipis ATM” itu perlu dicek lagi, tempe di mana yang setipis ATM?

Mungkin kalau penelitiannya di Jakarta, maka perlu diambil contoh-contoh bentuk dan wujud tempe dari berbagai pasar, minimal pasar sepekanlah; Pasar Senen, Pasar Rebo, Pasar Kamis, Pasar Jumat, sampe Pasar Minggu. Eh, Pasar Selasa dan Pasar Sabtu kok nggak ada? Ya, ganti pake Pasar Pagi dan Pasar Malam, deh.

Tahu kan kenapa hal ini harus dilakukan, mylov?

Yaps! Apalagi kalo bukan untuk mendapatkan fenomena yang sifatnya umum?

Sehingga, saat menyatakan “tempe yang beredar di pasaran saat ini setipis ATM” itu memang realitas yang ditemui di sebagian besar pasar. Bukan cuma tafsir-tafsir personal, apalagi karena baru lihat tempe yang dipotong-potong untuk dibikin kripik tempe, misalnya.

Saya sih menduga regulasi pemerintah lewat peraturan menteri soal “iming-iming” tunjangan bagi dosen dan profesor itu dibuat untuk mendorong iklim meneliti dosen kita yang cukup lemah. Menurut laporan yang diterima Kemenrisetdikti di awal 2017 lalu, konon hasil penelitian dosen-dosen di Indonesia cukup tertinggal dengan negara tetangga.

Penelitian-penelitian ilmiah dari seluruh kampus di Indonesia yang berhasil dipublikasikan dalam skala internasional saat itu baru sekitar 5.000-an aja. Kalah jauh dari Malaysia yang sudah di angka 25.000-an atau Thailand yang berhasil mempublikasikan temuan-temuan ilmiahnya sebanyak 17.000-an. Singapura? Nggak usah ditanya deh!

Kenyataan ini bisa jadi menunjukkan dua hal; sebagian dosen kita yang memang capek kalau diminta meneliti karena saking sibuknya ngajar sambil membimbing mahasiswa yang dikejar masa studi, atau karena standar penelitian di kampus-kampus Indonesia yang standarnya ketinggian.

Kabar baiknya, setelah adanya kebijakan Permenristekdikti itu, hasil-hasil penelitian para dosen kita yang terindeks Scopus, konon meningkat tajam. Bahkan sampai mampu menyalip Singapura dan hampir menyusul Malaysia. Barangkali, kita perlu apresiasi prestasi para dosen kita itu. Meski, curhatan kawan saya yang dosen juga perlu diwaspadai oleh seluruh mahasiswa sejagat Indonesia.

Kembali pada keluh kesah kawan saya yang dosen di kampus swasta ternama itu. Menurutnya, dampak dari kebijakan pemerintah soal publikasi ilmiah terindeks Scopus atau pusat data ilmiah internasional lainnya, semua kampus jadi berlomba-lomba main banyak-banyakan penelitian dosennya terindeks Scopus melalui kebijakan yang macam-macam.

Di kampus kawan saya, misalnya, hal yang membuat kawan saya sedikit mengeluh adalah kebijakan kampus meminta penelitian mahasiswanya untuk diterbitkan dengan menyandingkan nama dosen pembimbingnya sebagai peneliti juga.

“You know kan arahnya?”

Ya bisa jadi penelitian-penelitian mahasiswa yang ditulis untuk skripsi itu—termasuk mungkin skripsimu, barangkali—rentan diklaim oleh dosen pembimbingnya sebagai hasil penelitiannya.

Memang sih, dosen pembimbing punya andil dalam penelitian itu. Minimal doi jadi proofreader naskah skripsi mahasiswanya. Tapi kan yang berdarah-darah sampai revisi ke-35 tetep mahasiswanya. Lah, artinya itu skripsi magnum opus mahasiswa-lah!

Lagi-lagi, di sini mahasiswa punya posisi tawar yang lemah. Kadang, supaya cepat lulus dan memang biar lulus, mahasiswa kerap manut aja sama arahan dosen pembimbingnya.

Yang bikin sakit hati kan, ada juga oknum dosen yang enggak lagi pake ijin buat menerbitkan hasil penelitian mahasiswanya dan seenak udel dewek menghapus nama mahasiswa dalam karya tersebut seolah itu adalah karya tunggalnya. Hadeh!

Memang, kelakuan dosen di negara berflower kayak Indonesia nggak banyak yang begitu. Masih banyak kok dosen-dosen yang tekun meneliti dan menelaah sesuai dengan realitas-realitas yang terjadi di sekitarnya. Demi kemajuan ilmu pengetahuan yang juga berdampak bagi masyarakatnya. Pake dana sendiri, nggak celamitan nunggu hibah-hibah dari pemerintah yang kadang-kadang jadi penelitian aspal dan abal-abal. Sampai melahirkan magnum opus-nya buah pemikirannya sendiri.

Nah, buat kamu-kamu mahasiswa akhir yang drama skripsinya masih berkutat di sulitnya hubungi dosen pembimbingmu, coba pesan Wasapmu dikasih variasi sedikit dengan bilang, “Pak, Bu, mau saya sumpahin nanti penelitiannya susah masuk jurnal terindeks Scopus, ya? Kok susah banget diajak ketemuan kayak mantan saya aja!”

Coba aja! Kalau sampai dimarahin balik, minimal dosen pembimbingmu membalas pesan, kan?

Exit mobile version