Secangkir Kopi Pagi untuk Tuan Bima Arya

Secangkir Kopi Pagi untuk Tuan Bima Arya

Secangkir Kopi Pagi untuk Tuan Bima Arya

Tuan Bima Arya yang baik hatinya,

Rasanya agak basi jika saya mengajak Anda ngopi pagi ini jika hanya untuk bercerita tentang seseorang bernama Tsa’labah yang saleh namun miskin papa. Kisah ini sangat populer, meski dianggap kisah yang lemah alias dlaif.

Konon, sekira 1400 tahun yang lalu, Tsa’balah datang kepada Muhammad SAW untuk didoakan menjadi kaya raya. Cerita punya cerita, ia lalu mendapatkan seekor kambing yang kemudian beranak-pinak hingga kota Madinah rasanya tak cukup menampungnya. Setelah kaya raya, ia bahkan merasa tak mampu untuk sekadar membayar pajak atau zakat.

Tentu saja bukan kisah itu yang ingin saya bicarakan.

Rasanya juga menggarami lautan jika saya cerita ke Anda bahwa ada sebuah negara di dunia ini yang namanya Iran. 90-95% penduduknya adalah penganut Syiah. Jika saya boleh berandai-andai: jika kebetulan Anda dilahirkan di negeri itu, potensi Anda menjadi warga Syiah adalah 90-95%.

Tentu bodoh jika saya menganggap Anda tak tahu bahwa tradisi Asyura adalah tradisi milik semua muslim. Tradisi ini bahkan melekat dengan tradisi lokal di beberapa daerah, sehingga muncullah bubur Asyura di banyak daerah di Jawa, upacara Tabot di Bengkulu, atau Tabut di Pariaman.

Ah, tentu fakta itu pun tak relevan-relevan amat, karena Anda menulis surat edaran pelarangan bukan karena tradisi Asyuranya, melainkan karena pihak yang menyelenggarakan acara Asyura tersebut. Juga karena desakan sekelompok umat yang mungkin saja Anda anggap sebagai representasi seluruh umat Kota Bogor.

Dan bukan itu pula memang yang ingin saya sampaikan ketika saya mengajak Anda ngopi pagi hari ini.

Demi mendaftar kisah-kisah heroik Anda seperti menendang kios penjual miras atau melempar gelas di tempat hiburan malam, saya juga tak yakin apakah perlu memuji atau mencela Anda pagi ini.

Mungkin tak perlu juga saya menanyakan mengapa Anda tak membiarkan saja para jemaat GKI Yasmin beribadah di tanah yang mereka beli sendiri, daripada mereka beribadah sembunyi-sembunyi atau menggelar tikar di lapangan Monas seberang Istana Negara.

Otomatis, tak ada perlunya saya menceramahi Anda bahwa negeri ini dibangun di atas fondasi perbedaan. Bahwa negara dibuat untuk berdiri di atas dan melampaui segala perbedaan itu. Bahwa mengasumsikan semua warga negara menjadi satu dalam keseragaman sama halnya dengan mengandaikan Sisifus bertepuk dada sambil menghisap cerutu di atas puncak bukit.

Ya, akhirnya dengan bulat saya memutuskan, saya menunggu Anda sepagian di warung kopi ini hanya untuk satu cerita, bahwa saya memiliki daftar yang saya buat sendiri, dengan argumen-argumen yang saya susun sendiri—terinspirasi oleh Pak Tino Sidin. Daftar ini saya beri judul: Daftar Anak Muda Berbakat.

Nah, pagi ini saya mau kasih tahu, sekaligus mohon izin Anda, nama Anda yang sudah terlanjur saya masukkan dalam daftar itu akan segera saya coret.

Bukan apa-apa, ini karena semalam saya mimpi ketemu almarhum Abraham Lincoln yang kasih saya sesobek kertas lusuh yang ternyata bertuliskan: “Semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan. Tapi bila kau ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan.”

Exit mobile version