Yang Maha-berfirman Versi Al-Ghazali

MOJOK.COTuhan berbicara dengan prosedur yang sama sekali berbeda dengan manusia. Menurut al-Ghazali, Tuhan bicara tidak secara jasmaniah.

Bagaimana manusia berbicara adalah suatu peristiwa yang tidak sederhana. Perkembangan mutakhir dalam ilmu neuroscience dan psiko-linguistik mengenai kesadaran mungkin untuk sebagian bisa menjelaskan fenomena ini.

Tetapi, apapun penjelasannya, tindakan berbicara pada manusia dieksekusi melalui medium yang bersifat jasadiah: mulut, bibir, lidah, rongga tenggorokan, rongga hidung dan pita suara—apa yang oleh para ulama tajwid disebut dengan “makharij al-huruf” (tempat keluarnya huruf).

Tuhan berbicara tentu dengan prosedur yang sama sekali berbeda. Mengikuti prinsip “tanzih” (baca: menjauhkan Tuhan dari kemungkinan serupa dengan manusia) yang dikemukakan oleh al-Ghazali, Tuhan berbicara tidak secara jasmaniah melalui makharij al-huruf itu. Dalam Ihya’, al-Ghazali menjelaskan kalam Tuhan dengan ungkapan berikut:

Wa-annahu ta‘ala mutakallimun, amirun, nahin, wa‘idun, mutawa‘‘idun bi-kalamin azaliyyin, qadimin, qa’imin bi-dzaitihi, la yusybihu kalama-l-khalqi.”

Kalimat yang tampak sederhana dari al-Ghazali ini amat sulit diterjemahkan dengan “bahasa Malioboro” (maksudnya: bahasa awam), sebab mengandung beberapa konsep kunci dalam ilmu kalam (teologi Islam) yang membutuhkan penjelasan panjang.

Saya akan mencoba sebisa mungkin menerjemahkannya sebagai berikut:

“Dan sungguh Tuhan berbicara/berfirman, memerintah, melarang, memberikan janji, dan mengancam dengan kalam yang bersifat azali (abadi ke masa lampau), dan kalam itu menetap pada dzat-Nya (tidak berada di luar, terpisah dari dzat Tuhan), dengan cara yang tidak menyerupai kalam makhluk (maksudnya: tentu manusia).”

Ada tiga gagasan penting dalam penjelasan al-Ghazali di atas.

Pertama: Tuhan berbicara, berfirman, karena berbicara adalah tanda dari wujud yang berkualitas tinggi. Ini sudah jelas.

Kedua: isi pembicaraan Tuhan itu secara garis besar berisi dua hal: perintah dan larangan (saya akan menulis secara terpisah mengenai tema ini di seri depan).

Ketiga: bagaimana Tuhan berbicara adalah sebuah “misteri agung” yang tak akan bisa diungkap oleh manusia. Paling jauh, manusia hanya bisa menjelaskan dengan cara umum saja: Tuhan berbicara dengan cara yang tak sama dengan manusia (la yushbihu kalama-l-khalqi). Itu saja.

Bagaimana Tuhan berfirman, tak mungkin diketahui oleh manusia, sebab Tuhan adalah Tuhan yang “tan kinaya ngapa”, tak tergambarkan. Meski demikian, al-Ghazali sebagai manusia dan sebagai seorang mutakallim, ahli teologi, tetap mencoba menggambarkannya dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh bahasa manusia dan, tentunya, dalam koridor “bundelan” atau akidah Asy‘ariyyah: bahwa kalam Tuhan bersifat azali. Istilah ini akan menjadi jelas kalau kita sandingkan dengan lawannya, yaitu: hadits.

Hadits, dalam pengertian para teolog Muslim klasik, adalah segala sesuatu yang terjadi dalam waktu, sesuatu yang temporal, yang memiliki tempo. Segala sesuatu yang terjadi dalam waktu memiliki watak khas: ada permulaan, ada akhir.

Start dan finish adalah ciri-ciri sesuatu yang temporal. Salah satu premis yang dikemukakan para teolog Muslim adalah: kullu ‘alamin haditsun—seluruh alam raya ini adalah temporal, dalam pengertian: bermula di titik waktu tertentu di masa lampau, dan akan berakhir di titik tertentu pula di masa depan.

Amat interesan bahwa astronomi modern menengarai permulaan munculnya alam raya dengan momen “singularitas” yang disebut Big Bang (ledakan besar). Dengan penemuan ini (secara empiris terbukti pada 1927, setahun setelah NU berdiri, melalui teleskop Edwin Hubble), terpatahkan pandangan Ibn Rusyd yang mendukung ide para filsuf Yunani tentang “qidam al-‘alam” (alam raya yang abadi ke masa lampau, tidak bermula pada titik waktu). Pandagan al-Ghazali, sebagai lawan debat Ibn Rusyd, terbukti benar: alam raya adalah “hadits,” bermula dalam waktu (temporally created).

Kalam atau ujaran yang diproduksi manusia bersifat “hadits”, temporal, karena memiliki awal dan akhir. Setiap ujaran pastilah ada titik akhirnya, selain titik awalnya. Tetapi kalam Tuhan tidak demikian: firman Tuhan bersifat azali, a-temporal. Sebab Tuhan tidak berada di dalam, dan dikurung oleh waktu. Karena itu, firman Tuhan tidak berlangsung dalam dan melalui waktu. Bagaimana kalam berlangsung di luar waktu, kita tak akan pernah tahu. Ini, lagi-lagi, adalah misteri yang sulit diungkai. Ini adalah sirr.

Apa manfaat “bundelan” atau akidah semacam ini?

Bagi saya, ide tentang kalam azali ini mengajarkan kepada kita satu hal penting: segala bentuk kalam dan ujaran yang diproduksi oleh manusia (entah berupa pidato, ceramah, karangan, novel, puisi, dsb.), betapapun hebat dan mengagumkannya, ia tetap sesuatu yang hadits, terjadi secara temporal.

Setiap hal yang hadits, bersifat rapuh dan keropos jika tidak memiliki dasar pada sesuatu yang azali. Ingat kaidah ini: yang zahir tidak akan kokoh tanpa topangan yang batin.

Fondasi semua kalam manusia adalah kalam Tuhan yang azali itu. Dari sanalah berasal segala kemampuan berbicara pada manusia. Dari sanalah bermula segala kalam dan firman. Dialah sangkan-paran-nya segala kalam!


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

Exit mobile version