Mari kita jujur-jujuran saja. Berlebaran di kampung halaman, yang selama ini dianggap sebagai tradisi besar yang menyumbang napas kebudayaan lebaran, kini terasa semakin berkurang esensi dan sensasinya seiring dengan berkembangnya zaman, lebih-lebih seiring dengan berubahnya sebutan parcel lebaran menjadi hampers.
Sebagai instrumen yang lahir dari semangat tradisi, berlebaran di kampung halaman semakin kehilangan tradisionalitasnya. berlebaran yang sekarang kita jalani tak lagi menjadi berlebaran yang kita jalani saat kita masih anak-anak dulu.
Dulu, lebaran di kampung menjadi penantian panjang bagi banyak orang untuk bisa menghabiskan waktu bersama sanak famili, bertemu kawan lama, saling ngobrol panjang lebar tentang apa saja, makan bersama di tengah ruang makan untuk kemudian menerima tamu dan saling bertamu antar tetangga.
Namun kini, teknologi membuat hal tersebut terasa semakin jauh. Saat berkumpul, hampir semua anggota keluarga lebih sering memainkan ponselnya. Mengunjungi saudara yang tidak terlalu dekat agar status “tidak terlalu dekat” itu tidak berubah menjadi “jauh” kini semakin tidak dipilih seiring dengan mudahnya menggantikan kunjungan dengan sebaris-dua baris pesan singkat WhatsApp.
Kemodernan menjadikan nuansa tradisional lebaran yang sejatinya penuh dengan hal-hal baik menjadi terasa semakin terpinggirkan.
Dalam kondisi seperti itulah, ketupat hadir sebagai tembok pertahanan tradisionalitas ini. Di tengah gempuran sajian-sajian modern, dengan segala sikap baru dalam merayakan lebaran, ketupat tetap hadir menjadi penanda bahwa masih ada “setitik” nuansa ketradisionalan yang layak untuk dipertahankan.
Posisinya yang penting ini membuat ketupat terjebak dalam kondisi yang serba genting. Ia harus bertahan sebagai pemikul tradisi di saat banyak anak muda —yang kelak bakal menjadi pelaku tradisi— mulai tak tertarik dengan ketupat.
Saya pun mencoba mengulik lebih jauh bagaimana ketupat merespons hal tersebut. Melalui perantara seorang pembikin bungkus ketupat dari Pasar Klewer Manisrenggo, saya akhirnya berhasil mewawancarai ketupat walau dalam durasi yang tak lama.
Apa kabar, Bung?
Kabar baik, Mas. Alhamdulillah.
Sibuk apa sekarang?
Tentu saja sekarang sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut lebaran. Saya harus mulai mempercantik diri agar orang-orang tetap tertarik untuk mengolah saya.
Mempercantik diri? Berarti Anda ini perempuan ya? Maaf kalau tadi saya memanggil Anda dengan panggilan Bung.
Bukan, saya lelaki. Tapi memang saya punya sisi feminin yang cukup besar dalam diri saya. Tak masalah kalau Mas memanggil saya dengan panggilan Bung. Saya suka. Terdengar sangat Soekarno. Sangat Manipol Usdek.
Oh, oke. Bung. Begini, Bung. Kita semua tahu bahwa Bung sekarang punya tugas berat sebagai penjaga tradisi lebaran, apakah Bung suka dengan tugas ini?
Pada dasarnya, saya selalu siap dengan tugas apa saja, entah itu tugas kultural atau malah tugas spiritual sekalipun. Hanya saja, khusus untuk tugas penjaga tradisi ini, saya merasa agak keteteran, ini tugas yang berat, seharusnya saya punya tandem. Tapi pada kenyataannya, tak banyak makanan yang sanggup dan bersedia menemani saya untuk menanggung tugas berat ini.
Dalam titik inilah saya agak kurang suka dengan tugas ini, walau saya siap menerimanya.
Sebentar, opor ayam tak pernah Bung anggap sebagai tandem?
Dia memang kerap bersama saya, namun dia bukan tandem saya. Dia tak pantas menanggung tugas berat ini, sebab dia bukan makanan lebaran, dia makanan yang disantap saat lebaran ataupun tidak. Dia makanan biasa.
Kalau itu alasannya, bukankah Bung juga demikian? Bung juga banyak disantap saat tidak sedang lebaran, bukan?
Ya. Tapi pernahkah Mas melihat orang-orang menjadikan makanan selain saya untuk ditempel di kartu pos lebaran? Pernahkah Mas melihat foto si opor ayam yang genit itu di spanduk atau banner dalam rangka menyambut hari lebaran? Pasti tak pernah. Semuanya pasti pakai foto saya. Bahkan operasi pengamanan lalu lintas saat lebaran yang dilakukan oleh polisi-polisi itu pun diberi nama sesuai nama saya: operasi ketupat. Tak pernah saya tahu mereka pakai nama operasi opor ayam, operasi nastar, operasi kacang telur, atau operasi-operasi lainnya.
Ah, iya juga.
Itulah, Mas. Bisa Mas bayangkan, betapa berat menanggung tugas ini.
Apakah Bung optimis Bung bisa mengemban tugas sebagai penjaga tradisi lebaran ini?
Saya tak bisa terlalu banyak berharap. Namun yang jelas, satu per satu, kawan-kawan saya sesama penjaga tradisi lebaran, utamanya di bidang selain makanan, sudah mulai hilang dan menyerah.
Mercon, yang dulu hampir selalu identik dengan tradisi lebaran, kini mulai dilarang oleh polisi karena banyaknya kasus orang terkena ledakan, bahkan saat mereka belum dinyalakan. Dan lagi, anak-anak sekarang mulai tak tertarik dengan ledakan mercon, mereka lebih tertarik meledakkan sesuatu di Pabji atau di game-game smartphone lainnya. Keparat.
Atau baju baru, yang dulu bahkan hampir tidak bisa dipisahkan dari lebaran, kini perlahan mulai tidak diperhatikan orang seiring dengan makin maraknya gaya hidup minimalis ala-ala Marie Kondo itu. Kalaupun masih ada orang yang suka beli baju baru, mereka kini tak lagi beli baju khusus saat lebaran. Mereka lebih memilih momen 12-12 atau saat flash sale untuk beli baju baru.
Satu per satu, kawan saya tumbang. Melihat hal tersebut, jujur saja saya sedih sekaligus terpacu untuk berusaha sebaik mungkin, hanya saja, saya tak tahu, sampai berapa tahun lagi saya bisa bertahan.
Bung takut karena anak-anak sekarang mulai tidak doyan ketupat?
Ya, itu salah satu kekhawatiran terbesar saya. Saya ini berada di posisi yang genting. Sebagai makanan dengan rasa netral, posisi saya ini tidak sestrategis nasi biasa. Nasi biasa, senetral dan sehambar apa pun rasanya, toh ia tetap bakal menjadi pilihan, beda dengan saya.
Anak-anak sekarang punya lidah yang sensitif. Mereka terlalu pemilih. Tak banyak anak jaman sekarang yang besar dalam lingkungan hidup masa kecil yang sulit dan penuh dengan penderitaan dan kelaparan. Beda dengan orang-orang jaman dulu yang kerap hidup dalam laku prihatin, sehingga makanan seperti saya ini tetap terasa nikmat di lidah mereka, bahkan walau hanya dengan kuah opor yang minim bumbu sekalipun.
Kalau begitu, apa saja yang bisa dilakukan untuk membuat Bung tetap lestari.
Tentu saja inovasi. Sekarang kan sudah era 4.0, kita harus pandai berinovasi. Slogannya jelas, inovasi atau mati.
Apa saja inovasi yang menurut Bung bisa dilakukan oleh para pembuat ketupat.
Dari segi visual, mungkin bisa dengan membikin kupat dengan janur bermotif batik. Atau yang paling sederhana, membikin ketupat dengan janur dengan warna selang-seling, hijau tua dipadupadan dengan hijau muda. Itu pasti menarik. Itulah kenapa pertandingan yang digelar di Old Trafford akan selalu lebih enak ditonton ketimbang yang digelar di Gelora Bung Karno. Rumput Old Trafford warnanya menarik, selang-seling.
Sedari kecil kita diajari bikin anyaman warna-warni saat pelajaran kertangkes atau saat mau bikin prakarya, masak kita nggak bisa kupat dengan anyaman warna-warni, itu justru menjadi bukti kemunduran pendidikan kita.
Ketupat dengan visual menarik adalah harga mati.
Itu dari segi visual, kalau dari segi rasa?
Ketupat itu memang pada dasarnya makanan dengan basis rasa netral. Jadi tak perlu banyak perubahan. Hanya saja, bisa dicoba olahan ketupat beranak. Kita tahu, sekarang sudah mulai inovasi bakso beranak. Bakso biasa yang ketika dibelah ternyata ada isinya. Kadang telur puyuh, kadang daging, kadang bakso-bakso lain yang ukurannya kecil-kecil. Dan mereka berhasil. Banyak warung bakso jadi viral.
Ini inovasi yang saya pikir cocok kalau mau diterapkan pada ketupat. Orang itu suka sensasi menebak-nebak. Sensasi penasaran. Nah, inovasi macam ini yang bisa dimanfaatkan. Isinya bisa daging atau ttelur puyuh.
Bagaimana dengan ketupat mozarella, atau ketupat campur boba.
Kalau untuk yang satu itu, saya lebih mati, Mas, daripada harus berkompromi dengan hal-hal ganjil macam itu. Inovasi ya inovasi, tapi tidak harus seliberal itu.