Tentang Kedermawanan Tuhan Menurut Al-Ghazali

MOJOK.COMenurut al-Ghazali, ganjaran bagi orang-orang baik itu diberikan Tuhan bukan atas dasar “keharusan moral,” seperti yang berlaku dalam pergaulan antar-manusia.

Pembahasan saya kali ini masih di sekitar isu tindakan Tuhan. Ada dua isu lain yang terkait dengan masalah ini.

Pertama berhubungan dengan masalah ini: Jika seseorang berbuat baik, apakah Tuhan “harus” mengganjarnya? Jika demikian, apakah ini, lagi-lagi untuk kesekian kalinya, tidak membatasi kebebasan-Nya?

Isu kedua terkait dengan sumber ajaran-ajaran moral-etis tentang baik-buruk yang juga merupakan manifestasi tindakan Tuhan: Apakah bisa diketahui secara otonom dengan akal manusia, atau harus menunggu konfirmasi oleh wahyu dari Tuhan?

Mari kita ikuti penjelasan al-Ghazali dalam Ihya’ sebagai berikut:

Wa-annahu yutsbitu ‘ibadahu al-mu’minina ‘ala al-tha‘ati bi-hukmi-l-karami wa-l-wa‘di, la bi-hukmi-l-istihqaqi wa-l-luzumi lahu, idz la yajibu ‘alaihi li-ahadin fi‘lun, wa-la yutashawwaru minhu dzulmun wa-la yajibu ‘alaihi li-ahadin haqqun.”

Saya terjemahkan sebagai berikut:

Tuhan menjadikan hamba-Nya yang beriman berbuat taat atas dasar kemurahan dan janji-janji-Nya, bukan karena hal itu merupakan hak yang harus diterima seorang hamba, juga bukan karena keharusan; sebab tak ada keharusan apapun bagi-Nya untuk melakukan sesuatu kepada seseorang; tak mungkin Dia melakukan kezaliman; dan tak ada seorang pun yang memiliki hak yang harus dipenuhi-Nya.

Ini adalah akidah penting dalam Asy‘ariyyah tentang Tuhan yang dikonsepsikan sebagai Tuhan yang bertindak dengan kebebasan penuh, tidak terikat oleh keharusan (luzum) apapun. Manusia tidak memiliki hak yang harus ditunaikan oleh Tuhan kepadanya (istihqaq; entitlement).

Sekali lagi, sesuai dengan konsepsi tentang Tuhan sebagai Yang Maha Sempurna, kemungkinan melakukan tindakan karena keharusan dan keterpaksaan jelas tidak layak dilekatkan kepada Tuhan. Hanya tindakan yang bebas, bukan karena keharusan, yang layak dinisbahkan kepada Tuhan.

Dengan demikian, tak ada keharusan bagi Tuhan untuk mengganjar manusia yang telah berbuat baik. Al-Ghazali bahkan mengemukakan sebuah pengandaian hipotetis: Andai Tuhan memasukkan orang-orang yang telah berbuat kebaikan ke neraka, mengazab mereka, itu bukanlah suatu kezaliman, melainkan keadilan.

Meskipun—tentu saja—hal ini tak akan terjadi; sebab Tuhan, dalam wilayah moral-etis, juga mengikuti “hukum” tertentu, yaitu: Barang siapa berbuat baik akan diganjar, yang berbuat jahat akan diazab (baca QS 99:7-8).

Sebagaimana dalam wilayah hukum alam Tuhan tidak “mau” bertindak arbitrer, begitu juga dalam wilayah hukum moral. Selalu ada kepastian dalam dua wilayah itu; bukan kepastian yang “memaksa” Tuhan, melainkan kepastian yang merupakan anugerah dari-Nya.

Demikianlah, menurut al-Ghazali, ganjaran bagi orang-orang baik itu diberikan Tuhan bukan atas dasar “keharusan moral,” seperti yang berlaku dalam pergaulan antar-manusia.

Dalam interaksi sosial antar-manusia, berlaku kaidah ini: Jika siswa bisa mengerjakan soal ujian, maka guru secara otomatis menanggung beban-moral untuk meluluskannya. Inilah “rule of the game” dalam pergaulan manusia. Ini tak berlaku bagi Tuhan. Tak ada keharusan yang bersifat otomatis bagi-Nya.

Sekilas, mungkin Anda akan melihat adanya kontradiksi dalam penjelasan model Asy‘ariyyah ini: seolah-olah Tuhan bisa berbuat semena-mena. Tetapi ini hanyalah kesan di permukaan saja.

Para ulama Asy‘ariyyah jelas tidak memiliki anggapan bahwa Tuhan bisa berlaku semaunya terhadap manusia. Tuhan bertindak mengikuti kaidah tertentu: orang baik akan dibalas baik, orang jahat akan diazab. Hanya saja, kaidah ini diikuti Tuhan bukan atas dasar keharusan, melainkan karena “tafaddul”.

Konsepsi Asy‘ariyyah ini memang mengandung sedikit masalah. Jika kita lihat dengan cermat, akidah Asy‘ariyyah terlalu terobsesi dengan masalah tanzih: melindungi sebisa mungkin kesempurnaan Tuhan, dan menjauhkan segala atribut yang mengesankan defisiensi atau kekurangan dari-Nya. Tuhan haruslah Maha Sempurna, sementara manusia adalah makhluk yang serba-kurang dan lemah.

Hassan Hanafi, filsuf Mesir, pernah melontarkan kritik semacam ini terhadap akidah Asy‘ariyyah yang ia anggap terlalu teo-sentris, dan mengabaikan dimensi manusia. Hanafi menghendaki rumusan akidah yang juga sedikit membela kebebasan dan otonomi manusia, dan saya setuju.

Isu kedua, menyangkut sumber ajaran moral mengenai baik-buruk, posisi al-Ghazali segaris dengan posisi Asy‘ariyyah yang menegaskan bahwa: ajaran tentang baik dan jahat, hanya bersumber dari wahyu, bukan dari akal manusia.

Ini bukan berarti bahwa manusia, melalui penalarannya, tidak bisa mengetahui baik-buruknya sesuatu. Jelas, ini “counter-factual,” berlawanan dengan kenyataan riil. Dalam kenyataannya manusia menalar hampir setiap saat tentang perkara baik dan buruk. Dengan nalarnya sendiri, misalnya, manusia toh tahu bahwa membunuh adalah jahat, ada atau tidak ada wahyu.

Posisi Asy‘ariyyah yang diikuti oleh al-Ghazali ini hanya mau menegaskan: hasil penalaran manusia mengenai baik-buruk tidak “legitimate” kalau belum mendapatkan “stempel” dari wahyu Tuhan. Segala hal menyangkut hukum moral belum sah dalam pandangan keimanan jika tidak dilandasi oleh “tindakan” Tuhan yang tertuang dalam bentuk wahyu dalam Kitab Suci.

Akal sama sekali tidak diabaikan dalam cara-berpikir Asy‘ariyyah; akal tetap memiliki peran besar, hanya saja akal yang “divinely bound,” terikat dengan wahyu ketuhanan—suatu pandangan yang tentu saja berlawanan secara kontras dengan gaya berpikir humanisme-sekular murni.

Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

Exit mobile version