Maha-mendengar dan Maha-melihat

MOJOK.COMaha-melihat dan maha-mendengar, dalam makna yang lazim kita pahami sehari-hari, cenderung membawa pengertian yang “physical”.

Dalam akidah Islam, Tuhan digambarkan dengan sejumlah sifat yang kadang-kadang menimbulkan pertanyaan: apakah sifat-sifat itu tidak membuat Tuhan menjadi mirip manusia? Salah satu sifat yang bisa menyarankan kesan seperti ini adalah dua sifat ini: mendengar (al-sam‘) dan melihat (al-bashar).

Tuhan adalah Maha-mendengar dan Maha-melihat.

Melihat dan mendengar, dalam makna yang lazim kita pahami sehari-hari, cenderung membawa pengertian yang “physical”, badaniah: mendengar dengan telinga, melihat dengan mata.

Para mutakallimun, teolog Muslim klasik berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan pengertian yang antropomorfis (maksudnya: pengertian tentang Tuhan yang menyerupai manusia) semacam ini. Karena itu, dalam kitab Ihya’, al-Ghazali mencoba menepis kesan-kesan seperti ini, dan menjelaskan dua sifat Tuhan tersebut sebagai berikut:

Wa-yara min ghairi hadaqatin wa ajfanin, wa-yasma‘u min ghairi ashmikhatin wa adzanin, kama ya‘lamu bi-ghairi qalbin wa-yabthisyu bi-ghairi jarihatin.”

Saya terjemahkan secara bebas sebagai berikut:

Tuhan melihat tanpa melalui kelopak mata, mendengar tanpa melalui telinga, sebagaimana Dia mengetahu tanpa melalui pikiran, atau “memukul” (maksudnya: menimpakan adzab) tanpa melalui anggota badan.

Kita masih ingat, prinsip pertama dalam memahami Tuhan sebagaimana diajarkan al-Ghazali, dan sudah saya bahas dalam bagian sebelumnya, adalah “tanzih”—Tuhan yang tak menyerupai apapun; sebab Tuhan adalah dzat yang “tan kinaya ngapa”, tak bisa digambarkan dengan bahasa manusia. Tuhan adalah “ineffable”.

Di kalangan ulama Asy‘ariyyah, kecenderungan untuk “tanzih,” menjauhkan Tuhan dari kemungkinan serupa dengan manusia, sangat kuat sekali. Boleh jadi ini mereka lakukan untuk membedakan diri dari kelompok lain yang cenderung memahami Tuhan sebagai “Tuhan yang mirip manusia”. Kelompok ini biasa disebut sebagai “mujassimah”—kaum antropomorfis. Perdebatan berlangsung “panas” sekali antara dua kelompok ini di era klasik.

Sikap ulama Asya‘ariyyah (juga kelompok Mu‘tazilah yang sering disebut sebagai “kaum rasionalis Islam”) yang terlalu terobsesi dengan “tanzih” ini dikritik oleh Ibn ‘Arabi (w. 1240), seorang sufi besar dari Andalusia.

Ibn ‘Arabi cenderung mengambil jalan yang unik dalam memahami sifat-sifat Tuhan: ia menggabungkan antara “tanzih” dan “tasybih” sekaligus—Tuhan ya mirip dan tidak mirip manusia. Sebab, pada manusia ada hampir semua sifat-sifat Tuhan, meski dalam derajat yang lebih rendah. Dalam diri manusia memang terdapat unsur ilahiah (nafkhah, tiupan Tuhan).

Kenapa Ibn ‘Arabi sampai kepada pemahaman seperti ini?

Saya kira karena ia menggunakan sudut pandang “puitis” dalam memahami sifat-sifat Tuhan; Ibn Arabi menggunakan “dzauq”, intuisi, perasaan. Sementara ulama Asy‘ariyyah (termasuk di dalamnya adalah al-Ghazali) lebih cenderung menggunakan pendekatan “dialektis”, akal.

Saya melihat cara pandang Ibn ‘Arabi lebih pas untuk cita-rasa keimanan seorang beriman yang awam.

Jika kita mau ringkaskan pandangan Ibn ‘Arabi, kira-kira demikian: Ada momen-momen dalam hidup manusia di mana Tuhan begitu dekat, amat dekat sekali, begitu rupa sehingga ia seperti merasakan kehadiran seorang sahabat, atau bahkan kekasih.

Inilah momen “puitis,” momen di mana Tuhan begitu dekat kepada manusia; bahkan lebih dekat daripada urat lehernya sendiri, sebagaimana digambarkan dalam Qur’an: wa-nahnu aqrabu ilaihi min habli-l-warid (QS 50:16)—Aku lebih dekat kepada manusia tinimbang urat lehernya.

Inilah momen “tasybih”, saat-saat ketika Tuhan “turun” menyapa manusia, begitu dekatnya hingga ia tergoda untuk menggambarkan-Nya secara jasmaniah; ia secara spontan ingin menggambarkan Tuhan secara “jasadiah” sehingga mirip (tasybih) dengan makhluk. Momen seperti ini, bagi seorang beriman, justru merupakan saat-saat yang membahagiakan. Inilah “momen jamal”—momen keindahan Tuhan yang mendekat kepada manusia.

Ada pula momen lain ketika manusia harus kembali kepada “kesadaran nalar”-nya, seperti seseorang yang siuman dari “mabuk”, lalu menyadari kembali bahwa sedekat-dekatnya Tuhan kepada manusia, Ia adalah dzat yang tak mungkin serupa dengan makhluk.

Pada momen ini, Tuhan kembali menjadi dzat yang agung, tinggi, dan jauh dari segala penggambaran manusia. Inilah “momen jalal”, keagungan Tuhan. Manusia, dari segi pengalaman relijius, terombang-ambing antara dua pendulum ini: tanzih dan tasybih. Pengalaman relijus manusia tidaklah tunggal, tetapi kompleks.

Seseorang yang mengalami momen “puitik” seperti dialami para sufi (mereka yang oleh Ibn ‘Arabi disebut sebagai ahlu-l-adzwaq—orang-orang yang memiliki kepekaan rasa), akan mampu menembus “hijab”, tirai, dan melihat misteri sifat-sifat Tuhan yang seolah-olah saling bertentangan: Tuhan yang tampak (al-dzahir), tetapi juga sekaligus rahasia (al-bathin). Tuhan adalah Maha-mendengar dan Maha-melihat dengan cara yang “misterius” yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang terus mengasah dzauq-nya, intuisi dan mata batinnya.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

Exit mobile version