Berteman dengan Coki Pardede Adalah Jalan Ninjaku

Tentu, harus diakui bahwa tak mudah berteman dengan Coki Pardede atau yang akrab disapa “Dzulumat” alias Sang Kegelapan, eh maksud saya Coki.

Yang bikin berat adalah karena problemnya sebenarnya justru bukan di kami. Terus terang kami sangat enjoy dalam pertemanan ini. Hampir setiap kita bikin konten, lebih banyak ngobrol dan diskusinya dibanding bikin kontennya. Karena memang kami “teman karib” bukan “teman karier”.

Yang kalian simak di Kultum Pemuda Tersesat atau konten-konten lain saya dan Coki mentok hanya 20 persen dari apa yang kami sering obrolkan atau diskusikan. Yang dijadikan konten itu setelah melalui beberapa kali penyaringan seperti minyak goreng, makanya dikit.

Persis seperti kita kalau meeting, meeting-nya sih bentar, sedangkan yang lama adalah ngobrol ngalur-ngidul-nya.

Dari sana saja sebenarnya kalian sudah bisa menangkap pesan implisit bahwa Coki Pardede tak seburuk akhlaknya (su’ul adab) seperti pandangan sebagian orang. Dia masih agak bisa menjaga lisannya.

Meskipun kadang barbar dan saya pun tak pernah membenarkan itu. Toh kalau saya pun menasihati, itu kan baiknya dalam sunyi, bukan di media sosial. Kamu pun tak perlu tahu.

Mungkin kamu bertanya; Lah tapi kok nggak berubah? Wah, ya kalau itu sudah wilayah dia dan Tuhan, bukan wilayah saya. Pemberi hidayah itu hanya Tuhan, bukan kita yang penuh dosa, bahkan Nabi Muhammad Saw sekalipun tak bisa memberi hidayah.

Dalam salah satu event kami bertajuk “Deep Talk”, Coki Pardede pernah bercerita bahwa dia kagum bagaimana dia bisa duduk bersama, berdiskusi, bahkan berbagi bersama pada khalayak dengan saya, yang notabene “Habib”.

“Orang seperti saya ini yang dulu berperang dengan orang seperti Habib lho,” katanya. “Eh sekarang duduk bareng. Gokil!” lanjutnya dengan tawa kegelapannya itu.

Tentu Coki salah. Dulu, yang berperang bukan orang seperti saya dan Coki. Islam tak pernah menganggap musuh pada orang yang non-muslim, kafir, agnostik, atau ateis sekalipun. Yang dinilai musuh adalah yang memerangi.

Adapun yang damai seperti Coki, tetap kita hidup berdampingan seperti perintah Surat Al-Mumtahanah ayat 8. Bahkan, Nabi Ibrahim pernah ditegur Tuhan karena tak mau berbagi makanan pada orang majusi lantaran agama orang itu, karena meski majusi toh Tuhan tetap kasih dia makan.

Tak pernah ada laporan orang diboikot rezekinya oleh Tuhan dan mati karena agamanya bukan Islam atau tak beragama sama sekali. Tuhan tak begitu. Yang begitu biasanya manusia yang sok jadi Tuhan. Persis kayak Fir’aun yang marah, kejam, hingga memboikot orang-orang yang tak mau menuhankannya.

Beratnya berteman dengan Coki Pardede justru karena pihak ketiga, yaitu oknum teman-teman saya dan Coki. Saya tak jarang ditegur oknum teman saya karena berteman dengan Coki dengan berbagai argumen.

Ada yang khawatir pada wibawa saya bisa tergadaikan, dan biasanya saya jawab dengan sopan bahwa saya terlanjur janji sama diri saya sendiri bahwa siap jadi badut demi suksesnya dakwah Islam.

Saya malu sama Kanjeng Nabi Saw kalau sama urusan ke Coki aja sampai harus mundur, mengingat Kanjeng Nabi saja dulu rela mau dihina-hina hingga dilempar batu di Thaif demi dakwah Islam.

Ada pula yang khawatir justru saya yang malah ke-coki-coki-an. Untuk mereka ini biasanya saya jawab bahwa rumusnya jelas, kalau menurutnya saya cahaya dan Coki kegelapan, maka tak ada ceritanya cahaya kalah pada kegelapan.

Kalau cahaya datang, justru kegelapan sirna. Tak jarang pula yang lantaran pesimis pada Coki akan berubah jadi baik.

Pada mereka, saya bilang bahwa pintu hidayah atau tobat tak pernah tertutup kecuali oleg pesimisme atau keputus-asaan, dan saya malu pada Kanjeng Nabi Saw yang sampai akhir hayatnya menyeru… “Ummatku! Ummatku! Ummatku!”

Adapun oknum teman Coki biasanya khawatir kalau Coki dekat-dekat saya akan terus jadi masalah karena bikin konten yang ada irisan dengan agama.

Tapi, Coki selalu berkata bahwa dia ingin dakwah saya sukses karena kalau orang beragama kayak saya ini mayoritas, dia jadi aman untuk berkeyakinan dan berekspresi.

Coki pernah bertanya, “Kenapa loe mau berteman dengan gue, Bib?”

Saya jawab sambil ketawa bahwa agar iman saya bisa teruji, karena kata Tuhan, saya takkan dibiarkan mengklaim beriman sebelum diuji. Namun, lalu dengan agak serius saya jelaskan bahwa saya sebagai muslim diajarkan untuk menjadi rahmat bagi semesta (ramatan lil ‘alamin), bukan hanya untuk umat Islam (lil muslimin) tapi juga lil Coki.

Dan tepat dengan mencintai (merahmati) Coki, kemurnian cinta itu diuji, yakni tetap cinta meski dia agnostik.

Sekaligus juga saya ingin memastikan bahwa Coki memiliki referensi yang tepat untuk mengenal Islam. Karena Coki tentu tak membaca Al-Quran atau sabda Nabi Saw.

Dia akan belajar Islam dari melihat akhlak umat Islam atau bertanya pada seorang Muslim. Yang pertama tak mungkin saya kontrol, tapi yang kedua bisa. Malah yang kedua bisa mengklarifikasi yang pertama kalau ada oknum-oknum muslim yang wadididaw.

Yaaah, minimal saya jadi alasan bagi Coki untuk tak salah paham pada Islam.

Oleh sebab itu, berteman dengan Coki semacam “jalan ninja” (mujahadah) saya. Tapi, saya kira berbanding lurus dengan hikmahnya.

Bersama Coki selama lebih dua tahun ini, bermodal ketulusan kami berdua, dan tentu juga Tretan Muslim, kami bahkan telah memiliki yayasan yang telah membantu beberapa “Pemuda Tersesat”.

Jangankan Anda, saya saja tak mengira akan sejauh dan sebesar ini. Percayalah, bahwa ketulusan mujahadah dalam satu hal akan menuntun pada musyahadah alias melihat keindahan di depan mata kalian.

Meski begitu, sampai detik-detik ini kadang saya masih suka ditanya, “Kapan Coki mualaf, Bib?”

Dalam hati saya berkata, “Tampaknya pertanyaan Anda deh yang perlu dimualafkan.”


Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin FaizMuh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap hari.

Exit mobile version