Koalisi Politik Kaleng Khong Guan untuk Indonesia Isi Rengginang

Jika Jalan Rusak Memakan Korban, Pemerintah Bisa Dipidana MOJOK.CO

Jika Jalan Rusak Memakan Korban, Pemerintah Bisa Dipidana MOJOK.CO

MOJOK.COKoalisi Politik Khong Guan Jokowi-Ma’ruf-Prabowo-Sandi adalah ide brilian. Rakyat tengah terlilit kesulitan memang butuh hiburan.

Dul Gepuk sekarang punya banyak waktu. Sejak pandemi. Pembeli sepi. Dia pedagang pasar. Mau gimana lagi? Selain punya banyak waktu, tentu dia jadi punya banyak kecemasan. Artinya Dul Gepuk juga butuh lebih banyak hiburan.

Untung ada HP. Untung Dul Gepuk orang Indonesia. Di negeri ini apa yang tak bisa ditertawakan? Hidup adalah soal pilihan. Seperti apapun situasinya. Supaya tetap bahagia, apa yang membuat orang lain mengeluh, Dul Gepuk memilih untuk menjadikannya sebagai alasan untuk tertawa.

Reshuffle Kabinet Jokowi misalnya. Di HP-nya muncul macam-macam meme. Jokowi-Ma’ruf duduk mesra dengan Prabowo-Sandi. Happy Ending. Coblos 01 dapat 02.

Poster Capres Prabowo-Sandi bertulis “Toss… Kita Anak Buah Presiden Jokowi”. “Perkenalkan, Kami Adalah Menterinya Presiden Jokowi”. Khon Guyon Bersama. Foto akrab keempat orang itu dipajang mirip gambar keluarga di kaleng Khong Ghuan. Kaleng tipu-tipu tiap lebaran.

Bungkusnya biskuit, dalemnya rengginang. Kampanyenya saling gigit, kebijakannya bikin meriang.

Meski begitu, kalau dilihat secara rileks, ini semua adalah ide brilian. Rakyat tengah terlilit kesulitan. Pemimpin harus bisa menjadi hiburan. Dul Gepuk paham, hiburan tak perlu masuk akal seperti sajian kaleng Khong Guan. Kalau perlu, hiburan harus bisa menjungkirbalikkan akal. Semakin koprol, semakin menyegarkan.

Orang kecil punya nalar. Orang besar punya logika. Nalar orang kecil beda dengan logika orang besar. Keduanya tak harus saling sejalan. Nggak perlu dipaksakan.

Belajarlah dari sekring listrik. Kalau listriknya cuma berkekuatan 900, jangan coba-coba pakai microwave 1000 watt. Njeglek! Bisa-bisa kongslet. Masih untung kalau tidak kebakaran.

Bagi Dul Gepuk. Gambar Koalisi Politik Khong Guan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi jelas tidak masuk akal. Tak apa. Dia hanyalah orang kecil. Hanya punya nalar orang kecil.

Waktu Pilpres 2019 dia mendukung Jokowi. Capres 01. Dia tak memilih Prabowo.

Kata orang-orang, capres 02 itu dikelilingi kaum radikal. Kalau sampai Prabowo menang, gawat. Indonesia bisa bubar. Dul Gepuk membela Jokowi mati-matian. Jokowi yang nasionalis, Pancasilais, dan menghargai keragaman.

Semua tahu. Ada tiga golongan manusia yang mustahil mendengar pendapat orang lain: orang yang sedang jatuh cinta, pendukung capres dan penjudi. Apapun kata orang, nggak bakal mereka berubah pikiran. Begitu pula Dul Gepuk.

Pilpres sudah berlalu. Orang-orang kecil masih jothakan. Sampai sekarang. Pilpres mengubah sebagian teman, tetangga dan saudara jadi lawan. Di mata Dul Gepuk, Abu Jambul, pedagang pasar yang lain, bukan cuma kampret. Dia adalah bagian dari kaum radikal.

Sebaliknya, bagi Abu Jambul, Dul Gepuk bukan cuma cebong, tapi anti-Islam. Beda pilihan telah membuat orang saling berseberangan. Siapa beda pilihan adalah lawan, sekaligus musuh yang berbahaya.

Hubungan pertemanan Dul Gepuk dengan sejumlah orang di pasar retak. Sampai hari ini. Demi Jokowi. Silaturahmi lebaran pasca-pilpres dulu pun bikin grogi. Keluarga mertuanya rata-rata kaum kampret yang nyinyir setengah mati.

Nggak pernah ada konflik terang-terangan. Tapi begitu dia ikut ngumpul, keluarga mertuanya selalu bicara tentang kriminalisasi ulama dan bahaya PKI.

Meski tak berjenggot dan berjidat hitam, Dul Gepuk itu muslim juga. Merasa dikomunis-komuniskan sungguh menyakitkan. Memang menderita jadi minoritas. Untung itu cuma terjadi beberapa hari, selama lebaran.

Kini Prabowo-Sandi sudah bermesraan dengan Jokowi-Ma’ruf. Tapi hubungan Dul Gepuk dengan sejumlah orang tetap runyam. Inilah beda nalar orang kecil dan logika orang besar.

Dul Gepuk mengira memilih jago capres bukan cuma soal orang.  Memilih capres adalah soal genting. Pilihan yang menentukan masa depan bangsa. Beda visi-misi, beda prinsip dan orientasi. Itu yang dikatakan para jurkam.

Sebagai orang kecil Dul Gepuk ikut saja. Dapat kaos, lumayan. Lha kok sekarang semua gandengan tangan tanpa beban?

Pemilu terjadi setiap lima tahunan. Bagi orang seperti Dul Gepuk, lima tahun adalah waktu yang terlalu panjang. Irama hidupnya adalah Senen-Kemis. Setelah pemilu, dia tak peduli politisi. Toh, tak ada politisi yang peduli orang seperti dirinya.

Tapi jangan salah, Dul Gepuk adalah manusia Indonesia. Dia tak mau mengeluh dan memilih untuk tetap tertawa. Dia tak banyak berharap kecuali pada apa yang bisa dilakukannya. Dia rakyat yang tekun dan setia.

Dengan sekuat tenaga Dul Gepuk terus berjuang sendiri merawat nyala kompor gas agar tak padam. Agar periuk nasi tak guling sebelum matahari terbenam. Pendeknya, dia terlalu sibuk untuk mengingat hal-hal yang tak kongkrit seperti politik.

Lagi pula, saking banyaknya informasi, berondongan berita terlalu membingungkan untuk dicerna. Bagi orang kecil, mengingat selalu jauh lebih sulit ketimbang melupakan. Mengingat lebih sering menyakitkan.

Celakanya, ada hal yang sulit Dul Gepuk lupakan. Yaitu kebencian. Meski sebab perselisihan bisa saja dengan mudah hilang terguyur hujan, luka kebencian yang diakibatkannya tidaklah demikian. Hubungan runyam Dul Gepuk dengan sejumlah orang tadi salah satu contohnya.

Karena itu, reshuffle kemarin sungguh membingungkan. Tapi nalar orang kecil memang sulit mencerna logika orang besar. Itulah sebabnya, Dul Gepuk memilih tertawa. Semakin koprol nalarnya, semakin dia terpingkal-pingkal gembira.

Dul Gepuk jadi teringat ayam. Ayam selalu bertengkar tanpa alasan. Ayam besar neladung yang lebih kecil. Ayam lebih kecil ngecrohi yang lebih kecil lagi. Yang paling kecil lari terbirit-birit ketakutan. Bagi ayam-ayam, sesengit apapun pertengkaran, semua langsung terlupakan selagi semua sibuk nothol makanan.

Dul Gepuk terhibur membaca pesan WA dari anak milenialnya: “Tetaplah hidup walau tak berguna.” Entah kenapa, di matanya pesan itu malah jadi terbaca: “Tetaplah menjabat walau tak berguna.”

Dul Gepuk hanya heran. Kalau akhirnya cuma koalisi politik model begitu, kenapa dulu harus menghambur-hamburkan biaya begitu besar? Kenapa harus membuat rakyat gontok-gontokan saling bermusuhan, berubah jadi cebong dan kampret, sampai ada nyawa melayang?

Banyak yang tak bisa move on sampai sekarang. Kenapa tidak ngobrol rileks saja, omong-omongan. Kalau mentok, bisa pingsut atau sepakat gantian? Kalau perlu, bikinlah slogan yang lebih elegan, seperti “Khong Guan Isi Rengginang: Koalisi Politik Menuju Indonesia Terpingkal-Pingkal”.

Biaya pemilu 2019 sekitar 25 triliun. Dana kampanye pilpres 800 milyar lebih. Itu duit semua. Bayangkan jika dana itu dibagi-bagi untuk modal pedagang kecil seperti Dul Gepuk.

Berapa banyak orang yang bisa mentas dari kemiskinan? Atau jika uang itu dipakai untuk menyekolahkan anak-anak secara gratis sampai lulus kuliah. Betapa banyak sarjana-sarjana pintar dalam berbagai bidang yang akan lahir dan memajukan bangsa.

Kalau sampean nggak paham nalar orang kecil seperti Dul Gepuk, silakan bersyukur. Artinya sampean itu orang besar. Atau punya saudara orang besar? Atau teman orang besar? Atau tetangga orang besar? Atau berbakat, atau bercita-cita jadi orang besar? Atau pengin didoakan jadi orang besar?

Dan kalau sampean nggak paham nalar orang kecil kayak Dul Gepuk, sekali lagi silakan bersyukur. Itu artinya sampean tak pernah merasa mendapat satu-satunya harapan, dijanjikan dapat kesempatan, tapi ternyata ketipu sama kaleng kemasan.

Biskuitnya dibagi-bagi di kalangan orang besar sampai kenyang, dan Dul Gepuk cuma pantas kebagian rengginang.

BACA JUGA Sudah Saatnya Konsep ‘Yang Menang Pilpres Jadi Presiden dan yang Kalah Jadi Menteri’ Diinstitusionalkan.

Exit mobile version