MOJOK.CO – Bermalas-malasan pun perlu ketekunan dalam level istikamah yang advanced. Khususnya ketekunan pemalas dalam beristirahat dan berpikir santuy.
Di zaman yang industrialistik ini, umumnya orang berpendapat bahwa untuk bisa sukses, atau bahkan sekadar bertahan hidup saja, orang harus bekerja keras. Berbagai glorifikasi untuk gaya hidup bekerja keras pun ditebar tanpa henti bahkan sejak usia dini.
Tentunya dibarengi berderet kisah sukses para juragan tajir-melintir yang konon bisa jadi sekaya itu karena kerja kerasnya. Manusia dicitrakan tercipta untuk jadi pekerja keras, bukan bermalas-malasan.
Bersamaan itu, mengalir deras pula penanaman nilai bahwa kemalasan adalah biang dari segala kegagalan dan kehinaan. Para pelakunya, yakni para pemalas, acapkali didemonisasi sedemikian rupa dan ditempatkan sebagai kerak sampah peradaban.
Padahal, kan, seharusnya pemalas itu berhak mendapat respek lebih.
Taruhlah klaim soal manusia ditakdirkan untuk menjadi pekerja keras itu benar adanya, maka implikasinya adalah apa yang para pemalas perjuangkan itu bukan main-main: menentang takdir.
Bayangkan betapa beratnya seorang manusia berjibaku melawan dorongan dari dalam dirinya sendiri untuk bekerja keras. Itu nggak semua manusia bisa, lho.
Bermalas-malasan pun perlu ketekunan dalam level istikamah yang advanced. Khususnya ketekunan dalam beristirahat dan berpikir santuy.
Apalagi jika kita bicara sifat dasar manusia yang cinta pada kesenangan itu. Coba ingat-ingat lagi, apa motivasi manusia pada umumnya dalam bekerja keras?
Yup, tujuannya adalah agar dia dan keluarganya kelak bisa hidup senang dan bergelimang akses dan fasilitas yang memudahkan bagi dia dan keluarganya itu sehingga bisa hidup lebih santai dan tak perlu lagi bekerja terlalu keras, kan?
Jadi sebenarnya bisa dikatakan bahwa sebenarnya kita ini cinta kemalasan, hanya saja kita tidak menyadarinya atau enggan mengakuinya.
Padahal, ibarat orang, kalau udah kenyang ngapain juga makan lagi? Jika sudah punya kemalasan itu, lantas buat apa lagi bekerja keras?
Lagian kan belum tentu juga orang yang tidak terlalu gemar bekerja keras itu benar-benar segabut itu sampai nggak berhak punya tempat terhormat dalam peradaban. Wong nggak sedikit juga kemajuan dunia ini justru datang secara langsung dan nggak langsung berkat kemalasan manusia.
Sepeda motor matic, misalnya. Dulu orang ke mana-mana jalan kaki. Lama-lama bikin sepeda. Tapi, lama-kelamaan males juga ngayuh sepeda naik-turun gunung, maka bikinlah sepeda motor manual. Masih males juga mindah-mindahin perseneling, sekarang bikin yang matic.
Mungkin nantinya bakal ada motor matic yang ngisi bensinnya nggak perlu lagi buka tengki apalagi pake acara nuntun dan buka jok sambil ngantri di pom bensin, rangkaian kegiatan yang mungkin pada saatnya nanti juga akan dianggap melelahkan itu.
Mesin cuci juga gitu. Orang ngerasa ribet kalo harus nyuci baju pake tangan, maka bikinlah mesin cuci. Karena dirasa kurang memanjakan, dibuatkanlah sak pengeringnya. Tapi lama-lama masih malas juga mindah-mindahin cucian dari bak cuci ke pengering, sekarang sudah ada mesin cuci yang sekaligus ada mode pembilas dan pengeringnya.
Di masa depan mungkin bakal ada mesin cuci yang lengkap sak pengering, penjemur, penyetrika, dan pelibat bajunya. Bayangin, deh. Nyenengin, kan?
Itu belum termasuk fakta sejarah bahwa Sir Isaac Newton dapat inspirasi soal hukum gravitasi pas lagi leyeh-leyeh di bawah pohon apel. Atau, soal Archimedes yang mendadak nemu insight soal hukum Archimedes dan jeritan ”Eureka!”-nya yang melegenda itu pas lagi pengen nyantuy di bak mandinya gara-gara keletihan memikirkan persoalan yang dibebankan oleh Raja Hieron II.
Kedua tokoh itu bukan pemalas juga, sih, sebenarnya. Tapi, setidaknya dari kisah mereka kan kita jadi tahu bahwa bermalas-malasan itu terkadang juga bisa sangat bermanfaat jika dilakukan dengan nawaitu yang lurus dan prosedur yang benar.
Dan, coba bayangkan akan bagaimana jalan ceritanya sejarah dunia andai saja dulu itu Hitler terlalu malas untuk menjalankan politik fasis dan holocaust-nya, atau Nero lebih memilih liburan aja daripada membakari kota Roma? Bagaimana jika para zionis dan penyokongnya terlalu malas buat menganeksasi wilayah mana pun di muka bumi ini?
Atau, jika para pejabat di seluruh dunia enggan korupsi karena merasa betapa korupsi itu adalah sebuah perilaku yang melelahkan? Betapa akan damainya jika dunia ini didominasi oleh manusia-manusia yang woles, qana’ah, nggak baperan, dan males berperang.
Bayangkan juga bagaimana jika orang-orang sedunia ini malas bergunjing, mencela, membanding-bandingkan, dan menghakimi orang lain?
Pasti dunia akan jauh lebih membahagiakan, dan televisi serta media online akan lebih banyak dijejali konten-konten yang lebih melegakan, bukan? Eh, tapi itu juga kalo produser sama krunya nggak keburu malesan juga sih, ya.
Jika sudah begitu, siapa yang bakal berani bilang kalo kemalasan itu nggak berfaedah sama sekali?
Lagian, nggak usah terlalu terbuai deh, oleh segunung kisah sukses para tajirwan-tajirwati yang konon pekerja keras banget itu. Posisi mereka itu secara sosial sedang “menang”, sehingga sangatlah wajar jika kemudian mereka mendapat privilese untuk bercerita hanya aspek-aspek heroik dan romantis dalam perjalanan hidup dan bisnis mereka dalam bingkai seakan-akan mereka itu suci.
Nggak bakalan deh ada yang berani secara terbuka bercerita soal bagaimana dirinya menghalalkan segala cara supaya memenangkan persaingan bisnis, misalnya. Atau memanfaatkan relasi keluarganya untuk bikin imperium bisnis menggurita.
Atau, soal bagaimana mereka mempermainkan regulasi, menyuap dan mengendalikan oknum aparat atau pejabat, merusak alam, menipu konsumen ataupun mitra mereka, menggelapkan pajak, mencuci uang, hingga menimbun kekayaan secara ilegal di rekening tak tersentuh di negeri-negeri nun jauh di sana itu.
Ya, kan?
Maka, berhentilah berpikir dikotomis seakan yang giat itu pasti baik dan yang malas itu pasti nggak guna. Karena jika kemalasan itu diibaratkan energi, maka baik atau tidaknya dia hanyalah soal bagaimana dia diberdayakan saja.
Jika diberdayakan secara negatif, jadinya ya kayak yang sekarang makin memayoritaskan diri ini. malas mikir, malas cross-check alias tabayun, malas buang sampah ke tempatnya, malas mikir kritis terhadap tokoh politik idolanya, dan lainnya.
Sebaliknya, jika bisa dikelola secara positif, maka kemalasan justru bisa menghasilkan kebermanfaatan. Bahkan, pada level kemalasan yang paripurna, penganutnya bisa jadi sangat produktif dan progresif pada taraf yang ekstrem: Dia menjadi teramat giat berkarya, belajar, beribadah, beramal baik, dan berpikir nyaris sepanjang waktu.
Kenapa bisa demikian? Karena, saking malasnya dia sampai-sampai sekadar untuk jadi kaum rebahan pun dia malas.
BACA JUGA Bisakah Aku Mengkapitalisasi Hobi Rebahanku? atau tulisan Is Harjatno lainnya.